Rabu, 07 Desember 2016



AL-QUR’AN DASAR AJARAN ISLAM
(Studi Kritis Terhadap Tulisan Caesar F. Farah dalam Karya : Islam Beliefs And Observences)

Oleh :
Mashudi Zusro,S.H., M.Si
Sekolah Tinggi Agama Islam Grobogan (STAIG)
Maszoesfizoes@ymail.com
Jl. Kapten Rusdiyat 1 Kablukan Danyang Kec. Purwodadi Kab. Grobogan

ABSTRAK
Inti ajaran Islam adalah al-Qur’an, kalam Tuhan. Islam adalah suatu agama yang tidak mengenal sistem kependetaan, ritual mistik atau orang-orang suci yang menjadi tujuan para pelaku masihlah menjadi tempat perlindungan dan sumber inspirasi utama bagi muslim, bahkan lebih dari itu sebagai petunjuk kepada kebenaran. al-Qur’an bukan saja merupakan referensi utama muslim bagi masalah spiritual, tetapi juga pedoman kehidupan sehari-hari. al-Qur’an lebih sering dibaca dibanding buku sakral lainnya. Bahkan diperintahkan untuk dihafal. Dan ketergantungan muslim terhadap al-Qur’an ini, menjadikannya sebagai dasar utama bagi ritual keagamaan dan penguasaan pengetahuan dasar. Menurut Islam, al-Qur’an mempunyai arti sejarah dan sastra yang sangat tinggi, disamping telah menyajikan unsur-unsur ibadah, syi’ar agama dan budi pekerti. Al-Qur’an merupakan gudang pengetahuan sejarah yang dipaparkan dan ditampakkan Tuhan kepada golongan mu’minin sebagai peringatan. Ia juga sebagai dasar acuan bagi para sarjana muslim yang belajar bahasa arab. Sebagai bagian terindah dari karangan bersajak, ia menghasilkan nilai estetika dan kebenaran falsafi. Bagi para penyusun kamus Arab, Ia merupakan alat pelengkap bahasa, bagi para ilmuwan Ia petunjuk guna menggali eksistensi manusia dan alam, bagi sejarawan Ia merupakan alat untuk memahami tujuan hidup yang digariskan Tuhan kepada manusia. Menurut para ahli teologi Ia adalah sumber pengetahuan keagamaan yang tak tertandingi, dan para hakim muslim mendapatkan dalam al-Qur’an hukum-hukum dasar bagi pembangunan masyarakat Islami. Intinya tidak ada buku yang dikultuskan, yang sangat bernilai bagi jutaan manusia, kecuali Al-Qur’an.[1]

Key Word : kitab al-Qur’an, kalam Tuhan, dasar ajaran Islam, kultus
I.              Pendahuluan
Inilah untaian kata-kata indah Caesar F. Farah tentang al-Qur’an, yang sengaja penulis nukil dari paragraf pertama dari tulisannya:  “foundations of  Islam The Qur’an”.  Tentunya sangatlah obyektif dan bijaksana dimana ia telah menempatkan al-Qur’an sebagai sumber utama Islam.
Akan tetapi timbul beberapa pertanyaan, apakah dalam kajian-kajian berikutnya ia juga obyektif ? bagaimanakah ide-ide Farah tentang al-qur’an dan sejarahnya secara terperinci ? apa alasannya ?. Sebenarnya banyak masalah yang disentuh Farah dalam beberapa tulisannya tentang al-Qur’an ini, seperti konsep al-Qur’an, susunan dan corak ekspresinya, surat-surat makiyyah dan madaniyyah, kodifikasi, penafsiran dan terjemahan serta kesamaan-kesamaannya dengan Bibble dan teks-teks kuno lain. Namun disini penulis melihat bahwa kebanyakan gagasan-gagasannya hanya sekedar muqaddimah atau bukti-bukti rasional empiris versi barat, kalau dikatakan praduga-praduga yang kesemuannya bermuara pada suatu keyakinan pada Bashariyyah al-Qur’an.
Oleh sebab itu, penulis berusaha mencoba mengkritisi tulisan tersebut dan mengkomparasikannya dengan ungkapan-ungkapan para intekletual muslim terkenal. Kecuali dua tema terakhir, penafsiran dan terjemahan yang menurut hemat penulis akan ada penulis lain yang akan membahasnya.

II.      Konsep al-Qur’an
Farah mengatakan bahwa “kesucian al-Qur’an terletak pada pertimbangan muslim akan teks al-Qur’an adalan ucapan Tuhan dan juga Nabi Muhammad SAW sebagai penyambung wahyu dari langit melalui perantara Malaikat Jibril yang membacakannya kepada Muhammad sedikit demi sedikit dari teks asli sama persis dengan apa yang dilakukan orang-orang Yahudi dan Kristen, dimana ia juga menerima teks asli melalui usaha-usaha para nabi yang ditulis guna menyampaikan risalah Tuhan kepada manusia.[2]
Farah juga menganggap bahwa Nabi Muhammad SAW diutus hanya untuk orang Arab. Ini dikarenakan bahasa yang dipakai dalam kandungan teks al-Qur’an adalah bahasa Arab. Sebagaimana dijelaskan dalam al-Qur’an,[3] Ia menerjemahkan “Kami jadikan Qur’an berbahsa Arab supaya kalian (orang Arab) bisa melihat kebenaran dan ini sungguh ada di teks asli yang oleh kita sebagai sesuatu yang sangat tinggi dan bijaksana”.[4]
Penulis setuju dengan ungkapan Farah akan kesamaan proses penurunan wahyu melalui perantara Malaikat Jibril sebagaimana firman Allah: “Dan sesungguhnya kami telah mendatangkan Al-kitab (Taurat) kepada Musa dan kami telah menyusulkan sesudah itu dengan rasul-rasul. Dan telah kami berikan bukti-bukti kebenaran kepada Isa putra Maryam dan kami telah memperkuatnya dengan Ruh Qudus (Jibril).” [5]
Akan tetapi, penulis tidak setuju ketika ia menyamakan Bibble sekarang yang telah ditulis oleh Mattius, Yohana, Lucas, dan lain-lain dengan Al-Qur’an. Sebab qiyas dengan sesuatu yang berbeda adalah bathil, demikian juga tuduhan kedua bahwa Qur’an diturunkan hanya khusus Arab adalah disebabkan salah memahami konteks ayat, sehingga terjadi menyempitan arti dan maksud ”.......................” yang khusus orang Arab, padahal ia umum bagi semua orang yang mendengarkan. Kemudian dalam konsep background Qur’an ada kontrakdiksi diantara para ahli teologi. Para ahli teologi ortodoks menyatakan al-Qur’an tidak makhluk dan golongan mu’tazilah meyakini kemakhlukan al-Qur’an, sedang aliran deconstrucionis modern  yang kebanyakan sarjana Eropa menganggapnya sebagai dokumen sejarah yang harus diuji melalui ide-ide analisa kritik modern sebagaimana Bibble sewaktu-waktu lampau.[6]
Dalam hal ini, Hasan Hanafi mempunyai pandangan berbeda , ia menyatakan sebagai ulama klasik dan modern mengungkapkan bahwa masalah ini adalah tamprin aqly atau latihan memeras otak untuk tidak menyamakan al-Qur’an dengan makhluk atau menyamakannya. Dan ia sebenarnya tidak ada wujudnya sama sekali guna mempertahankan keesaan Tuhan melawan pluralitas-Nya walaupun metode dan sarana yang ditempuh berbeda. Dan masalah ini juga tidak ada gunanya untuk dibicarakan terus-menerus sebab ia hanyalah obyek linguistik, dimana khayalan dan praduga tidak berfungsi di dalamnya.
Hal demikian juga dilakukan gerakan reformasi Islam modern semisal Muhammmad Abduh dan Rasyid Ridha. Mereka menolak berselisih di dalamnya dan berusaha mengkombinasikan antara Qudum dan hudus, antara makna dan lafadz tanpa penyerupaan, penyamaan yang berlebih-danya bahwa manusia sudah mendapatkan petunjuk untuk menjelaskan ungkapan mereka kepada orang lain tanpa suara yaitu dengan alat telegraf. Dan ini adalah contoh jelas, persamaan antara wahyu tanpa menyamakan kalam Allah dengan kalam makhluk. Disusul kemudian penemuan baru lainya, sebuah alat yang  dapat memindahkan suara-suara dari suatu daerah ke daerah lain dengan jarak yang sangat jauh, yaitu radio. Dan mungkin permasalah ini dalam perkembangannya adalah masalah politis belaka, yaitu pemerintah mengharapkan para oposisinya terjebak ke dalam obyek-obyek teoritis serta jauh dari obyek-obyek praktis. Kemudian dilemparkanlah isu problematika kemakhlukan al-Qur’an ke dalam opini masyarakat Islam.[7]

III.    Susunan dan Corak Ekspresi Al-Qur’an
Menurut Farah, karena ketidakserasian sejarah al-Qur’an, mengakibatkan susunannya menjadi sulit dipahami. Penyusunan surat tidak mengikuti kronologi penurunan, sehingga seorang pembaca pertama akan kebingungan dan terbentur dengan ketidaksinambungan tersebut. Sistem kronologi yang ketika itu memungkinkan dipakai, tidak dapat dilaksanakan akibat tanggal turunnya wahyu pertama tidak diketahui. Inilah yang menyebabkan para peneliti Barat cenderung menganggap penyusunan judul dan ayat tidak konsisten. Buktinya, dari surat yang satu ke surat yang lain, hanya dibedakan melalui basmalah. Penamaan surat dan pemberian nomor ayat tidak terdapat dalam naskah asli dan sampai sekarang masih merupakan bagian tidak integral dari kitab suci.
Menurut al-Zarqony, sesungguhnya perbedaan susunan al-Qur’an dan kitab-kitab lain bukan merupakan suatu aib, baik dari wahyu atau pemberian. Bahkan sebaliknya, bukti nyata bahwa ia bukan kitab konvensional. Dimana seseorang menjadikan kumpulan pengetahuan-pengetahuan yang berkesinambungan dalam satu sub-sub, kemudian merangkai kumpulan sub-sub yang berkaitan tersebut dalam satu bab, tetapi sebaliknya, Ia merupakan kumpulan wahyu Illahi.[8]
Wali al-Din al-Malawi menganggap salah jika seseorang mengatakan ayat-ayat al-Qur’an tidak perlu keserasian. Karena Ia turun sesuai dengan peristiwa-peristiwa, akan tetapi di lain pihak merupakan hikmah tersendiri kalau ayat-ayat tersebut rapi dan teratur. Toh, mushaf  sesuai dalam Lauh al-Mahfudz sesudah teratur surat-suratnya. Demikian juga ayat-ayatnya, secara taufiqi. Ungkapan Razi yang sangat menarik mengenai hal ini bahwa kemukji’atan al-Qur’an bisa juga dilacak lewat fasholah lafal-lafalnya dan kemulian kandungannya, bisa juga disebabkan karena cara penyusunannya.[9]
Sedangkan mode ekspresi yang mendasari al-Qur’an menurut Farah adalah paduan aneh dari suatu prosa puisi bersajak dari lirik lagu. Hal demikian amat sangat familier dengan mode ekspresi Arab pra Ilam. Dasar ini membuktikan bahwa teks sakral ini memang cocok secara khusus hanya untuk pembacaan lisan yang menggunakan kata-kata bersajak seperti al-Qur’an. Walau akhirnya Nabi Muhammad SAW secara sadar menolak adanya persamaan ini, karena perasaan antisipasinya pada penyair paganis. Tapi yang tidak bisa dipungkiri, bahwa sebagian perkataan Muhammad ketika mencela para penyair dan memisahkan dirinya dari mereka terekam al-Qur’an, seperti surat Al-Falaq, An-Annas atau Al-Lahab. Masih banyak surat lain dimana liriknya seperti karakter puisi atau sajak Nabi. Dari sini menunjukkan kontribusi Nabi yang sangat besar dalam pembuatan al-Qur’an.[10]
Sesungguhnya uslub atau corak ekspresi al-Qur’an sangat berbeda dengan mode ekspresi Arab pra Islam. Tetapi al-Qur’an membawa uslub tersendiri yang mampu menakjubkan para penyair dan ahli balaghah terkemuka seperti Walid bin Mughirah, Atabah bn Rabi’ah dan Labib bin Rabi’ah.
Walid pernah berkata kepada kaumnya, Bani Makhzum, setelah mendengarkan al-Qur’an dari Nabi Muhammad SAW. “Demi Allah, aku telah mendengar dari Muhammad tadi, suatu ungkapan yang tidak menyerupai ungkapan manusia atau jin sama sekali. Sungguh ia sebenar-benarnya bacaan dan amat sangat manis. Atasnya berbuah, bawahnya berakar sangat dalam. Ia tinggi dan tidak ada yang lebih tinggi darinya“. Juga Atabah ketika bicara tentang al-Qur’an yang didengarkan dari Nabi Muhammad SAW: “Demi Allah, aku telah mendengar perkataan yang belum aku mendengar perkataan lain sepertinya. Demi Allah, Ia bukan syi’ir dan sihir, bukan pula perkataan para peramal”.[11]
Demikian pula halnya dengan Labib, seorang penyair Arab terkemuka yang salah satu qasidahnya ditempelkan di Ka’bah. Ketika ditempelkan disampingnya surat al-Baqarah, kemudian Labib yang kala itu Musyrik datang sendiri membacanya, ia terpesona dengan ayat-ayat al-Qur’an dan seketika itu juga langsung masuk Islam sambil berkata: “Sungguh ungkapan seperti ini tidak mungkin dilakukan manusia, melainkan Ia datang dari seseorang yang diberikan wahyu kepadanya”.[12]
A.      Surat-Surat Makiyyah dan Madaniyyah
Pada periode Mekkah, Muhammad lebih mengikat perhatian dengan membujuk kaum Quraisy untuk lari dan menjahui tuhan-tuhan bodoh mereka kemudian menyembah kepada satu Tuhan. Dalam mencapai tujuan dan sasaran yang sama, banyak argumen dan usaha-usaha menyesuaikan diri digunakan diantaranya dengan akal, pembuktian logika, peringatan juga ancaman-ancaman ajal yang akan datang. Tema tentang periode ini adalah keagungan, kebaikan, kebenaran, dan keadilan Tuhan yang termanifestasikan dalam alam, sejarah dan kenabian Muhammad. Tuhan digambarkan dalam tema-tema yang sangat tinggi dan mulia, kemahakuasaan dan kemahatinggian-Nya selalu ditekankan sebagaimana contoh surat al-Ikhlas. Dan secara umum surat makiyah lebih pendek dibandingkan dengan surat madaniyah. Dan kebanyakan surat tidak diketahui tanggal penurunanya disebabkan kurangnya hadist yang berbicara tentang subyek tema tersebut. Bagaimanapun juga hal demikian secara moral melegetimasi bahwa cerita-cerita dan legenda-legenda berhubungan dengan sumber-sumber Kristen dan Yahudi. Dan Muhammad mengambilnya dari sejarah.
Di periode ini Muhammad sering terbawa emosi. Banyak kata-kata keji digunakan sepert celaan, kecaman dan penghinaan, tapi di periode Madinah, ia lebih lembut penuh kasih sayang.[13]
Sedangkan periode Madinah, al-Qur’an lebih mudah diterima, sebab kita dapat menelusuri sebab-sebab turunnya wahyu, juga sedikit banyak mudah difahami karena disertakannya banyak fakta dan kejadian. Namun ayat-ayat tersebut amat sangat membosankan. Ia selalu merefleksikan kejayaan pemebentukan agama dan masyarakat muslim Madinah, mereka selalu senada, lebih bersifat agresif dan menaklukkan.
Dalam surat-surat madaniyah kita juga mendapatkan teks al-Qur’an sama dengan tema-tema Bibble. Kita sudah memiliki banyak ayat yang pararel dengan sumber-sumber Yahudi dan hanya sedikit yang berkaitan dengan topik Kristen. Karena disebabkan relatif kurangnya penduduk Madinah dan sekitarnya yang beragama Kristen kala Muhammad sebagai pemimpinnya.
Tuduhan bahwa al-Qur’an mempunyai dua metode yang saling bertentangan, satu tidak mempunyai hubungan dengan yang lain, yang berakibat meyakinkan bahwa al-Qur’an tunduk oleh keadaan-keadaan berbeda dan terpengaruh oleh lingkungan-lingkungan yang saling bersinggungan kurang beralasan. Sebab tidak semua ayat-ayat makiyah itu berisi kecaman dan kekerasan, ada juga yang berisi kelembutan, toleransi dan pemberian maaf, bahkan menyuruh membalas kejahatan dengan kebaikan. Allah berfirman dalam surat Fussilat (Makiyah) “Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal shaleh dan berkata, “sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri. Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah kejahatan dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang berada dintaramu dan diantara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman setia”.[14] Demikian juga sebaliknya, ayat-ayat Madaniyah ada yang bersifat keras.[15] “Sesungguhnya orang–orang (mengambil) riba, tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang kemasukan syetan lantaran (tekanan) penyakit gila”.[16]
B.      Kodifikasi al-Qur’an
Sebanyak 114 surat telah diturunkan sepanjang dua dekade. Banyak dari wahyu diperintahkan untuk dihafal. Dan banyak pula yang telah tertulis di berbagai macam kulit hewan, daun kurma, dan batu halus. Saat penulisan, Nabi tidak pernah menulis tapi selalu mewakilkan sekretarisnya, Zaid binTsabit. Dan ketika Nabi Muhammad meninggal, tak ada kode atau pesan tertentu tentang teks sakral ini. Para penghafal sudah banyak tetapi tak ada satupun diantara mereka yang tahu keseluruhan al-Qur’an ini. Wahyu itu sendiri sudah bertebaran dan terancam hilang. Penyaluran secara lisan, bagaimanapun adalah metode yang tidak cocok guna pemeliharaan al-Qur’an ini, disebabkan terbukanya pintu pemalsuan, kecerobohan dan pengubahan-pengubahan, perselisihan seputar substansi teks al-Qur’an tidak diizinkan hingga mendapatkan dan memerlukan suatu kesepakatan yang pada akhirnya disepakati untuk mengkodifikasikan al-Qur’an di zaman Abu Bakar.[17]
Pendapat seperti itu hanyalah praduga-praduga salah, sebab fakta membuktikan banyak sekali sahabat yang hafal secara keseluruhan, diantaranya Abu Bakar, Umar Ali, Zaid bin Tsabit dan lainnya, mereka semua hidup sampai era kodifikasi. Adapun banyak yang meninggal akibat perang Yamamah melawan Musailamah. Hal ini bukan berarti seluruh penghafal al-Qur’an sudah tidak ada lagi. Buktinya ucapan Umar. “Saya takut penghafal di seluruh negara mati”. Ini berarti bukan seluruhnya mati, tapi masalahnya adanya kekhawatiran, waspada dan ketakutan.
Sedangkan penyaluran secara lisan kurang cocok, guna pemeliharaan al-Qur’an, sangat tidak obyektif. Sebab pemeliharaan al-Qur’an dalam Islam dilaksanakan baik dengan lisan maupun tulisan. Ayat dan surat telah di tulis kala turunnya. Dan Nabi Muhammad SAW ketika turun wahyu bersabda, “ Letakkanlah ayat ini dalam tempat ini..............dan surat ini...........”. Dan telah diriwayatkan bahwa Jibril ketika menurunkan ayat demi ayat kepada Nabi berkata, “Wahai Muhammad sesungguhnya Allah menyuruh untuk meletakkannya di tempat ini.........dan surat ini......” karenanya para ulama sepakat bahwa kodifikasi al-Qur’an adalah taufiqi.[18]

IV.    PERSAMAAN AL-QUR’AN DENGAN BIBBLE DAN KITB-KITAB KUNO
Orang Yahudi dan Kristen mengetahui betul bahwa al-Qur’an sangat tergantung pada isi Bibble dan Talmud dengan pengecualian beberapa cerita naratif yang memang asli dan Arab, seperti ; Ad. Thamud, Luqman dan kisah-kisah tentang Dhu al-Qorman dan Ashab al-Kahfi, sedangkan cerita lainnya sama persis dengan kandungan Bibble.
Kesamaan ini tidak lepas dari internet Muhammad pada literatur sakral milik kaum Kristen dan Yahudi, kemudian ia merefleksikan pada konsepnya sendiri tentang Islam, yaitu sebuah agama ia dakwahkan sebagai agama penyempurna, dimana Tuhan mewajibkan kaum Yahudi dan Kristen serta Arab sendiri untuk patuh kepada-Nya dalam Islam. Akan tetapi dakwah Islam sebagai agama penyempurna tidak beralasan. Sebab, jika Islam benar demikian niscaya ia mencakup segala apa yang disebutkan dalam kitab perjanjian. Kenyataannya tidak demikian, tetapi hanya menjadi kepentingan misi pribadi Muhammad sebagai nabi. Disamping kepentingan misi tersebut, Muhammad juga menyebarkan kesalahan-kesalahan interprestasi yang dilakukan Yahudi dan Kristen terhadap agama Allah. Dan lebih penting lagi, ia menjustifikasikan pemutusan hubungan dengan musuh-musuhnya yang beragama Yahudi.
Hanya saja mereka melihat ketidakcocokan versi Bibble dan versi al-Qur’an dalam tema cerita yang sama. Ini disebabkan adanya kurang perhatian pada perincian tema tersebut. Konsep Islam Muhammad didasarkan pada pengumpulan dan penggabungan tema-tema Bibble dan al-Qur’an mengesahkan cerita penciptaan Adam dan penyembahan para malaikat kepadanya. Cerita nabi Nuh dan banjir, Nabi Ibrahim dan keselamatannya dari api raja Namrut, Yusuf dan saudara-saudaranya, Daud dan Sulaiman, dan lain-lain. Semuannya ada hubungannya dengan perjanjian lama. Dalam perjanjian baru, seperti cerita perjalanan Nabi Isa, masa kecilnya, penolakan akan penyaliban dan bagaimana Isa memberi kabar kedatangan Muhammad, semuanya telah terekam dalam al-Qur’an.[19]
Kesamaan konsep-konsep Qur’an dengan Bibble, bukan hanya nampak pada hubungan integral antara keduanya tetapi juga pada indentifikasi Qur’an akan dasar ajaran Ketuhanan, mulai dari Tuhan sebagai pencipta alam dan Adam sampai hari pembalasan. Tuhan al-Qur’an adalah Allah dan tuhan  Bibble adalah Jehouah atau God. Hanya saja ada perbedaan penting yaitu Tuhan Muhammad tidak datang kepada manusia dalam wujud inkarnasi, tidak ada perantara antara Dia dan manusia dan tidak juga sebagai Bapak. Dia tidak beranak dan tidak diperanakan.
Demikian konsep tentang pemerintahan absolut, semuanya datang melalui keputusan Tuhan. Ide-ide tentang Qadla dan Qadar dan penghambaan pada Iradat Tuhan juga sama. Tuhan dalam Qur’an dan  Bibble juga ikut bermain dalam penentuan jalan orang yang tidak beriman. Karenanya segala ketentuan Tuhan berharap manusia dan alam tidak boleh dipertanyakan.
Konsep kenabian Muhammad, mempunyai doktrin sama dengan kenabian bangsa Semit dan Aryam. Skema boleh beda tetapi esensi dan tujuan tetap sama. Wahyu dibawa melalui malaikat atau Ruh al-Qudus, Nabi pilihan berbicara atas nama Tuhan bukan atas nama dirinya sendiri sebagaimana Bibble menuliskan “ego seorang nabi menghilang sebalum ego Tertinggi (Tuhan)”.
Kesamaan juga terdapat dalam pemakaian terminologi proses ibadah, seperti sholat (prayer), tazzaka (waspufided), abd (servant), dan lain-lain. Namun akhirnya Farah menyimpulkan bahwa dari bahasa muncul ide-ide, apa yang dimaksud dengan Nabi, Kitab suci, Wahyu, Sholat, Pujian, Malaikat, Syetan, Surga dan neraka, semuanya telah diketahui Muhammad lewat macam media, melalui para penyair, rahib, orang suci, dan para pedangang yang datang dari Hijaz yang tercerahkan pada tempat-tempat  peribadahan Kristen.[20]
Dalam beberapa hal penulis sependapat dengan pendapat Farah yaitu adanya beberapa kesamaan kandungan al-Qur’an dengan Bibble. Karena al-Qur’an adalah kitab penyempurna kitab-kitab sebelumnya seperti, Zabur, Taurat, Injil. Tapi kalau Farah kemudian menyebutkan bahwa demikian ini disebabkan karena Muhammad mengadopsi sari kitab-kitab tersebut, ini sangat tidak rasional. Tetapi yang masuk akal adalah karena kitab-kitab tersebut datang dari satu pencipta yaitu Allah SAW. Ada pertanyaan, apakah sama Bibble sekarang dengan Taurat dan Injil yang diturunkan Allah kepada Nabi Musa As dan Nabi Isa As ? Tentunya tidak sama, sebab sudah banyak perubahan dalam Bibble sekarang yang dilakukan oleh kaum Yahudi dan Kristen, sesuai dengan firman Allah :“Apakah kamu masih mengharapkan mereka akan percaya kepadamu, padahal segolongan dari mereka mendengar firman Allah, lalu mereka mengubahnya setelah mereka memahaminya, sedang mereka mengetahui”.[21]
Benarkah Nabi Muhammad SAW pengarang al-Qur’an dan perintis pertama pembuatnya ? Secara aqly maupun dalil-dalil naqly akan menolaknya. Di depan, penulis telah memaparkan secara terperinci perbab. Tapi secara keseluruhan  hal ini disebabkan:
1.    al-Qur’an dengan bentuknya, huruf-hurufnya, ungkapan-ungkapannya, kandungannya yang universal, banyak berisi ilmu pengetahuan dan rahasia-rahasianya juga keindahan dan kejelitaan kata walaupun kalimatnya dibuat atas kemampuan manusia. Apalagi Nabi Muhammad SAW sendiri tidak bisa membaca dan menulis.
2.    Andaikata al-Qur’an adalah karangan Nabi Muhammad SAW, mengapa orang Arab tidak mampu menghadirkan sesuatu sepertinya. Padahaln Rasul sebelum diutus sama sekali tidak terkenal sebagai satu diantara para penyair dan ahli Balaghah Arab terkemuka. Demikian sesuai firman Allah :“Dan kalau kamu masih ragu-ragu tentang al-Qur’an yang telah kami turunkan kepada hamba kami, maka buatlah satu surat saja seperti itu panggilah saksi-saksimu selain Allah, jika kamu tidak dapat dan pasti kamu tidak kan membuatnya, maka hati-hatilah kamu dari api Neraka yang dinyalakan (bahan bakarnya) manusia dan batu yang disediakan untuk orang-orang kafir”.[22]
3.    Andaikata Muhammad mengarang al-Qur’an dan mengadopsinya dari teks-teks samawi Kuno. kenapa di dalam al-Qur’an ada kisah Hud, Saleh, Kaum Ad dan Kaum Thamud yang tidak ada dalam kitab-kitab tersebut ? dan kenapa juga ada di dalamnya kisah-kisah yang bertentangan dengan kitab-kitab tersebut. Seperti al-Qur’an menyebutkan bahwa wanita yang memperanakkan Musa As adalah istri Fir’aun. (QS. al-Qasas: 9) sedangkan Bibble menyebutkan putri Fir’aun bukan istrinya. Ini membuktikan bahwa al-Qur’an bukan hasil adopsi dari kitab-kitab tersebut.
4.    Kalau Muhammad dianggap pengarang al-Qur’an niscaya tidak ada ayat-ayat yang menegurnya. Tapi kenyataanya, banyak ayat-ayat tersebut ada dalam al-Qur’an sepert QS. Al-Anfal 67, Al-Ahqaf 9, atau Abasa 1-4. “ Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling lantaran datang kepadanya seorang buta. Tahukah kamu, barangkali dia ingin membersihkan diri (dari dosa). Atau dia ingin mendapatkan pengajaran, lalu pengajaran itu memberi manfaat kepadanya”.[23]

V.      Kesimpulan
Farah dalam mengungkapkan gagasan-gagasannya banyak merujuk sejarah al-Qur’an yang tidak bereferensi juga menggunakan ayat-ayat yang pemahamannya berbeda dengan pemahaman umat Islam, ia juga sering menggunakan logika yang terputus. Walaupun demikian hasil pemikirannya merupakan fenomena yang perlu dikaji oleh umat Islam secara menyeluruh. Dan kajian ini tidak termasuk suatu kajian yang tidak sia-sia, baaahkan sebaliknya, ia mempunyai nilai ilmiyah tersendiri yaitu sebagai bahan literatur dan perbandingan bagi para sarjana muslim masa kini untuk lebih banyak menggali kandungan al-Qur’an secara mendalam.
Akhirnya al-Qur’an tetaplah  al-Qur’an, sebuah wahyu yang diturunkan Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW melalui perantaraan malaikat Jibril. Ia tidak sama dengan Bibble dan tidak juga hasil adopsi darinya. Ia mukjizat yang tak tertandingi dari segala segi. Ia petunjuk bagi seluruh manusia.


DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an
Al-Zarqony, 1998. Manahul al-urfan fi Ulum al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Fikr)
Al-Suyuti, 1978. Al-Itqon fi Ulum al-Qur’an, (Kairo, Maktabah Musthafa al-Bab al-Halbi)
Al-Zarkasy, 1957. Al- Burhan Fi Ulum al-Qur’an (Kairo: tp)
Ali Ali Ali Sahin, 1998. Al-I’lam Binaqdi Ma Jaa fi Kitab “Maqalah fi al-Islam” (Kairo: Dar al-Tiba’ah al- Muhammadiyah)
Al=Jaburi, Yahya, 1983. Hayat Labib fi al- Islami, (Kuwait: Dar al-Qalam)
Farah, Caesar F., tt. Islam Beliefs and observenses, (Minnesota: Barron’s)
Hanaf, Hasan, tt. Min  al-Aqidah Ila al-Thawaroh, (Kairo, Maktabah Madbuly)
Hadlari, Muhammad, tt. Nurul al-Yaqin fi Sirah Sayyid Al-Mursalin, (Mesir,tp)





[1] Farah, Caesar F., tt. Islam Beliefs and observenses, (Minnesota: Barron’s tt), h. 77-78
[2] Farah, Islam........h.78
[3] Al-Qur’an, 43:43
[4] Farah, Islam........h.79
[5] Al-Qur’an, 2: 87
[6] Farah, Islam......h.79
[7] Hanaf, Hasan, tt. Min  al-Aqidah Ila al-Thawaroh, (Kairo, Maktabah Madbuly), h.503,504
[8] Al-Zarqony, Mohammad Abd Al-Adhin, 1988. Manahil al-urfar fi Ulum Qur’an, jilid 1, (beriut: Dar al-Fikr), h.79
[9] Al-arqony, Manahil.........h.80
[10] Farah, Islam...., h.82, 83
[11] Hadlari, Muhammad, tt. Nurul al-Yaqin fi Sirah Sayyid Al-Mursalin, (Mesir,tp), h.54-62
[12] Al-Jaburi, Yahya, 1983. Hayat Labib fi al- Islami, (Kuwait: Dar al-Qalam), h.135
[13] Farah, Islam..., 87
[14] QS.41,33-34
[15] Al-Zarqony, Manahul al-urfan fi Ulum al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Fikr,1998), 207-208
[16] QS.2,275
[17] Farah, Islam....,95
[18] Al-Suyuti, 1978. Al-Itqon fi Ulum al-Qur’an, (Kairo, Maktabah Musthafa al-Bab al-Halbi), h.48, 63, Al-Zarkasy, 1957. Al- Burhan Fi Ulum al-Qur’an (Kairo: tp), h.234, 237, 241
[19] Farah, Islam......h.95
[20] Ibid. 91-93
[21] Al-Qur’an, 2: 75
[22] QS.2: 23-24
[23] Ali Sahin, 1998. Al-I’lam Binaqdi Ma Jaa fi Kitab “Maqalah fi al-Islam” (Kairo: Dar al-Tiba’ah al- Muhammadiyah), h.191-196

Tidak ada komentar:

Posting Komentar