AL-QUR’AN
DASAR AJARAN ISLAM
(Studi Kritis Terhadap Tulisan Caesar F. Farah dalam
Karya : Islam Beliefs And Observences)
Oleh :
Mashudi Zusro,S.H., M.Si
Sekolah Tinggi Agama Islam Grobogan (STAIG)
Maszoesfizoes@ymail.com
Jl. Kapten Rusdiyat 1 Kablukan Danyang Kec.
Purwodadi Kab. Grobogan
ABSTRAK
Inti ajaran Islam adalah al-Qur’an,
kalam Tuhan. Islam adalah suatu agama yang tidak mengenal sistem kependetaan,
ritual mistik atau orang-orang suci yang menjadi tujuan para pelaku masihlah
menjadi tempat perlindungan dan sumber inspirasi utama bagi muslim, bahkan
lebih dari itu sebagai petunjuk kepada kebenaran. al-Qur’an bukan saja
merupakan referensi utama muslim bagi masalah spiritual, tetapi juga pedoman
kehidupan sehari-hari. al-Qur’an lebih sering dibaca dibanding buku sakral
lainnya. Bahkan diperintahkan untuk dihafal. Dan ketergantungan muslim terhadap
al-Qur’an ini, menjadikannya sebagai dasar utama bagi ritual keagamaan dan
penguasaan pengetahuan dasar. Menurut Islam, al-Qur’an mempunyai arti sejarah
dan sastra yang sangat tinggi, disamping telah menyajikan unsur-unsur ibadah,
syi’ar agama dan budi pekerti. Al-Qur’an merupakan gudang pengetahuan sejarah
yang dipaparkan dan ditampakkan Tuhan kepada golongan mu’minin sebagai
peringatan. Ia juga sebagai dasar acuan bagi para sarjana muslim yang belajar
bahasa arab. Sebagai bagian terindah dari karangan bersajak, ia menghasilkan
nilai estetika dan kebenaran falsafi. Bagi para penyusun kamus Arab, Ia
merupakan alat pelengkap bahasa, bagi para ilmuwan Ia petunjuk guna menggali
eksistensi manusia dan alam, bagi sejarawan Ia merupakan alat untuk memahami
tujuan hidup yang digariskan Tuhan kepada manusia. Menurut para ahli teologi Ia
adalah sumber pengetahuan keagamaan yang tak tertandingi, dan para hakim muslim
mendapatkan dalam al-Qur’an hukum-hukum dasar bagi pembangunan masyarakat
Islami. Intinya tidak ada buku yang dikultuskan, yang sangat bernilai bagi
jutaan manusia, kecuali Al-Qur’an.[1]
Key
Word : kitab al-Qur’an, kalam Tuhan, dasar ajaran Islam, kultus
I.
Pendahuluan
Inilah
untaian kata-kata indah Caesar F. Farah tentang al-Qur’an, yang sengaja penulis
nukil dari paragraf pertama dari tulisannya: “foundations of Islam The Qur’an”. Tentunya sangatlah obyektif dan bijaksana
dimana ia telah menempatkan al-Qur’an sebagai sumber utama Islam.
Akan
tetapi timbul beberapa pertanyaan, apakah dalam kajian-kajian berikutnya ia
juga obyektif ? bagaimanakah ide-ide Farah tentang al-qur’an dan sejarahnya
secara terperinci ? apa alasannya ?. Sebenarnya banyak masalah yang disentuh
Farah dalam beberapa tulisannya tentang al-Qur’an ini, seperti konsep
al-Qur’an, susunan dan corak ekspresinya, surat-surat makiyyah dan madaniyyah,
kodifikasi, penafsiran dan terjemahan serta kesamaan-kesamaannya dengan Bibble dan teks-teks kuno lain. Namun disini
penulis melihat bahwa kebanyakan gagasan-gagasannya hanya sekedar muqaddimah atau bukti-bukti rasional
empiris versi barat, kalau dikatakan praduga-praduga yang kesemuannya bermuara
pada suatu keyakinan pada Bashariyyah
al-Qur’an.
Oleh
sebab itu, penulis berusaha mencoba mengkritisi tulisan tersebut dan
mengkomparasikannya dengan ungkapan-ungkapan para intekletual muslim terkenal.
Kecuali dua tema terakhir, penafsiran dan terjemahan yang menurut hemat penulis
akan ada penulis lain yang akan membahasnya.
II.
Konsep al-Qur’an
Farah
mengatakan bahwa “kesucian al-Qur’an terletak pada pertimbangan muslim akan
teks al-Qur’an adalan ucapan Tuhan dan juga Nabi Muhammad SAW sebagai
penyambung wahyu dari langit melalui perantara Malaikat Jibril yang
membacakannya kepada Muhammad sedikit demi sedikit dari teks asli sama persis
dengan apa yang dilakukan orang-orang Yahudi dan Kristen, dimana ia juga
menerima teks asli melalui usaha-usaha para nabi yang ditulis guna menyampaikan
risalah Tuhan kepada manusia.[2]
Farah
juga menganggap bahwa Nabi Muhammad SAW diutus hanya untuk orang Arab. Ini
dikarenakan bahasa yang dipakai dalam kandungan teks al-Qur’an adalah bahasa
Arab. Sebagaimana dijelaskan dalam al-Qur’an,[3]
Ia menerjemahkan “Kami jadikan Qur’an
berbahsa Arab supaya kalian (orang Arab) bisa melihat kebenaran dan ini sungguh
ada di teks asli yang oleh kita sebagai sesuatu yang sangat tinggi dan
bijaksana”.[4]
Penulis
setuju dengan ungkapan Farah akan kesamaan proses penurunan wahyu melalui
perantara Malaikat Jibril sebagaimana firman Allah: “Dan sesungguhnya kami telah mendatangkan Al-kitab (Taurat) kepada Musa
dan kami telah menyusulkan sesudah itu dengan rasul-rasul. Dan telah kami
berikan bukti-bukti kebenaran kepada Isa putra Maryam dan kami telah
memperkuatnya dengan Ruh Qudus (Jibril).” [5]
Akan
tetapi, penulis tidak setuju ketika ia menyamakan Bibble sekarang yang telah
ditulis oleh Mattius, Yohana, Lucas, dan lain-lain dengan Al-Qur’an. Sebab qiyas dengan sesuatu yang berbeda adalah
bathil, demikian juga tuduhan kedua
bahwa Qur’an diturunkan hanya khusus Arab adalah disebabkan salah memahami
konteks ayat, sehingga terjadi menyempitan arti dan maksud
”.......................” yang khusus orang Arab, padahal ia umum bagi semua
orang yang mendengarkan. Kemudian dalam konsep background Qur’an ada
kontrakdiksi diantara para ahli teologi. Para ahli teologi ortodoks menyatakan
al-Qur’an tidak makhluk dan golongan mu’tazilah meyakini kemakhlukan al-Qur’an,
sedang aliran deconstrucionis modern yang kebanyakan sarjana Eropa
menganggapnya sebagai dokumen sejarah yang harus diuji melalui ide-ide analisa
kritik modern sebagaimana Bibble sewaktu-waktu lampau.[6]
Dalam
hal ini, Hasan Hanafi mempunyai pandangan berbeda , ia menyatakan sebagai ulama
klasik dan modern mengungkapkan bahwa masalah ini adalah tamprin aqly atau latihan memeras otak untuk tidak menyamakan
al-Qur’an dengan makhluk atau menyamakannya. Dan ia sebenarnya tidak ada
wujudnya sama sekali guna mempertahankan keesaan Tuhan melawan pluralitas-Nya
walaupun metode dan sarana yang ditempuh berbeda. Dan masalah ini juga tidak
ada gunanya untuk dibicarakan terus-menerus sebab ia hanyalah obyek linguistik,
dimana khayalan dan praduga tidak berfungsi di dalamnya.
Hal
demikian juga dilakukan gerakan reformasi Islam modern semisal Muhammmad Abduh
dan Rasyid Ridha. Mereka menolak berselisih di dalamnya dan berusaha
mengkombinasikan antara Qudum dan hudus, antara makna dan lafadz tanpa
penyerupaan, penyamaan yang berlebih-danya bahwa manusia sudah mendapatkan
petunjuk untuk menjelaskan ungkapan mereka kepada orang lain tanpa suara yaitu
dengan alat telegraf. Dan ini adalah contoh jelas, persamaan antara wahyu tanpa
menyamakan kalam Allah dengan kalam makhluk. Disusul kemudian penemuan baru
lainya, sebuah alat yang dapat
memindahkan suara-suara dari suatu daerah ke daerah lain dengan jarak yang
sangat jauh, yaitu radio. Dan mungkin permasalah ini dalam perkembangannya
adalah masalah politis belaka, yaitu pemerintah mengharapkan para oposisinya
terjebak ke dalam obyek-obyek teoritis serta jauh dari obyek-obyek praktis.
Kemudian dilemparkanlah isu problematika kemakhlukan al-Qur’an ke dalam opini
masyarakat Islam.[7]
III.
Susunan dan Corak Ekspresi Al-Qur’an
Menurut
Farah, karena ketidakserasian sejarah al-Qur’an, mengakibatkan susunannya
menjadi sulit dipahami. Penyusunan surat tidak mengikuti kronologi penurunan, sehingga
seorang pembaca pertama akan kebingungan dan terbentur dengan
ketidaksinambungan tersebut. Sistem kronologi yang ketika itu memungkinkan
dipakai, tidak dapat dilaksanakan akibat tanggal turunnya wahyu pertama tidak
diketahui. Inilah yang menyebabkan para peneliti Barat cenderung menganggap
penyusunan judul dan ayat tidak konsisten. Buktinya, dari surat yang satu ke
surat yang lain, hanya dibedakan melalui basmalah.
Penamaan surat dan pemberian nomor ayat tidak terdapat dalam naskah asli dan
sampai sekarang masih merupakan bagian tidak integral dari kitab suci.
Menurut
al-Zarqony, sesungguhnya perbedaan susunan al-Qur’an dan kitab-kitab lain bukan
merupakan suatu aib, baik dari wahyu atau pemberian. Bahkan sebaliknya, bukti
nyata bahwa ia bukan kitab konvensional. Dimana seseorang menjadikan kumpulan
pengetahuan-pengetahuan yang berkesinambungan dalam satu sub-sub, kemudian
merangkai kumpulan sub-sub yang berkaitan tersebut dalam satu bab, tetapi
sebaliknya, Ia merupakan kumpulan wahyu Illahi.[8]
Wali
al-Din al-Malawi menganggap salah jika seseorang mengatakan ayat-ayat al-Qur’an
tidak perlu keserasian. Karena Ia turun sesuai dengan peristiwa-peristiwa, akan
tetapi di lain pihak merupakan hikmah tersendiri kalau ayat-ayat tersebut rapi
dan teratur. Toh, mushaf sesuai dalam Lauh al-Mahfudz sesudah teratur surat-suratnya. Demikian juga
ayat-ayatnya, secara taufiqi. Ungkapan
Razi yang sangat menarik mengenai hal ini bahwa kemukji’atan al-Qur’an bisa
juga dilacak lewat fasholah lafal-lafalnya
dan kemulian kandungannya, bisa juga disebabkan karena cara penyusunannya.[9]
Sedangkan
mode ekspresi yang mendasari al-Qur’an menurut Farah adalah paduan aneh dari
suatu prosa puisi bersajak dari lirik lagu. Hal demikian amat sangat familier dengan mode ekspresi Arab pra
Ilam. Dasar ini membuktikan bahwa teks sakral ini memang cocok secara khusus
hanya untuk pembacaan lisan yang menggunakan kata-kata bersajak seperti
al-Qur’an. Walau akhirnya Nabi Muhammad SAW secara sadar menolak adanya
persamaan ini, karena perasaan antisipasinya pada penyair paganis. Tapi yang
tidak bisa dipungkiri, bahwa sebagian perkataan Muhammad ketika mencela para
penyair dan memisahkan dirinya dari mereka terekam al-Qur’an, seperti surat
Al-Falaq, An-Annas atau Al-Lahab. Masih banyak surat lain dimana liriknya
seperti karakter puisi atau sajak Nabi. Dari sini menunjukkan kontribusi Nabi
yang sangat besar dalam pembuatan al-Qur’an.[10]
Sesungguhnya
uslub atau corak ekspresi al-Qur’an
sangat berbeda dengan mode ekspresi Arab pra Islam. Tetapi al-Qur’an membawa uslub tersendiri yang mampu menakjubkan
para penyair dan ahli balaghah terkemuka
seperti Walid bin Mughirah, Atabah bn Rabi’ah dan Labib bin Rabi’ah.
Walid
pernah berkata kepada kaumnya, Bani Makhzum, setelah mendengarkan al-Qur’an
dari Nabi Muhammad SAW. “Demi Allah, aku telah mendengar dari Muhammad tadi, suatu
ungkapan yang tidak menyerupai ungkapan manusia atau jin sama sekali. Sungguh
ia sebenar-benarnya bacaan dan amat sangat manis. Atasnya berbuah, bawahnya
berakar sangat dalam. Ia tinggi dan tidak ada yang lebih tinggi darinya“. Juga
Atabah ketika bicara tentang al-Qur’an yang didengarkan dari Nabi Muhammad SAW:
“Demi Allah, aku telah mendengar perkataan yang belum aku mendengar perkataan
lain sepertinya. Demi Allah, Ia bukan syi’ir
dan sihir, bukan pula perkataan para peramal”.[11]
Demikian
pula halnya dengan Labib, seorang penyair Arab terkemuka yang salah satu
qasidahnya ditempelkan di Ka’bah. Ketika ditempelkan disampingnya surat
al-Baqarah, kemudian Labib yang kala itu Musyrik datang sendiri membacanya, ia
terpesona dengan ayat-ayat al-Qur’an dan seketika itu juga langsung masuk Islam
sambil berkata: “Sungguh ungkapan seperti ini tidak mungkin dilakukan manusia,
melainkan Ia datang dari seseorang yang diberikan wahyu kepadanya”.[12]
A.
Surat-Surat Makiyyah dan Madaniyyah
Pada
periode Mekkah, Muhammad lebih mengikat perhatian dengan membujuk kaum Quraisy
untuk lari dan menjahui tuhan-tuhan bodoh mereka kemudian menyembah kepada satu
Tuhan. Dalam mencapai tujuan dan sasaran yang sama, banyak argumen dan
usaha-usaha menyesuaikan diri digunakan diantaranya dengan akal, pembuktian
logika, peringatan juga ancaman-ancaman ajal yang akan datang. Tema tentang
periode ini adalah keagungan, kebaikan, kebenaran, dan keadilan Tuhan yang
termanifestasikan dalam alam, sejarah dan kenabian Muhammad. Tuhan digambarkan
dalam tema-tema yang sangat tinggi dan mulia, kemahakuasaan dan
kemahatinggian-Nya selalu ditekankan sebagaimana contoh surat al-Ikhlas. Dan secara
umum surat makiyah lebih pendek
dibandingkan dengan surat madaniyah.
Dan kebanyakan surat tidak diketahui tanggal penurunanya disebabkan kurangnya
hadist yang berbicara tentang subyek tema tersebut. Bagaimanapun juga hal
demikian secara moral melegetimasi bahwa cerita-cerita dan legenda-legenda
berhubungan dengan sumber-sumber Kristen dan Yahudi. Dan Muhammad mengambilnya
dari sejarah.
Di
periode ini Muhammad sering terbawa emosi. Banyak kata-kata keji digunakan
sepert celaan, kecaman dan penghinaan, tapi di periode Madinah, ia lebih lembut
penuh kasih sayang.[13]
Sedangkan
periode Madinah, al-Qur’an lebih mudah diterima, sebab kita dapat menelusuri
sebab-sebab turunnya wahyu, juga sedikit banyak mudah difahami karena
disertakannya banyak fakta dan kejadian. Namun ayat-ayat tersebut amat sangat
membosankan. Ia selalu merefleksikan kejayaan pemebentukan agama dan masyarakat
muslim Madinah, mereka selalu senada, lebih bersifat agresif dan menaklukkan.
Dalam
surat-surat madaniyah kita juga
mendapatkan teks al-Qur’an sama dengan tema-tema Bibble. Kita sudah memiliki
banyak ayat yang pararel dengan sumber-sumber Yahudi dan hanya sedikit yang
berkaitan dengan topik Kristen. Karena disebabkan relatif kurangnya penduduk
Madinah dan sekitarnya yang beragama Kristen kala Muhammad sebagai pemimpinnya.
Tuduhan
bahwa al-Qur’an mempunyai dua metode yang saling bertentangan, satu tidak
mempunyai hubungan dengan yang lain, yang berakibat meyakinkan bahwa al-Qur’an
tunduk oleh keadaan-keadaan berbeda dan terpengaruh oleh lingkungan-lingkungan
yang saling bersinggungan kurang beralasan. Sebab tidak semua ayat-ayat makiyah itu berisi kecaman dan
kekerasan, ada juga yang berisi kelembutan, toleransi dan pemberian maaf,
bahkan menyuruh membalas kejahatan dengan kebaikan. Allah berfirman dalam surat
Fussilat (Makiyah) “Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang
menyeru kepada Allah, mengerjakan amal shaleh dan berkata, “sesungguhnya aku
termasuk orang-orang yang berserah diri. Dan tidaklah sama kebaikan dan
kejahatan. Tolaklah kejahatan dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang
yang berada dintaramu dan diantara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi
teman setia”.[14]
Demikian juga sebaliknya, ayat-ayat Madaniyah ada yang bersifat keras.[15]
“Sesungguhnya orang–orang (mengambil) riba, tidak dapat berdiri melainkan seperti
berdirinya orang kemasukan syetan lantaran (tekanan) penyakit gila”.[16]
B.
Kodifikasi al-Qur’an
Sebanyak
114 surat telah diturunkan sepanjang dua dekade. Banyak dari wahyu
diperintahkan untuk dihafal. Dan banyak pula yang telah tertulis di berbagai
macam kulit hewan, daun kurma, dan batu halus. Saat penulisan, Nabi tidak
pernah menulis tapi selalu mewakilkan sekretarisnya, Zaid binTsabit. Dan ketika
Nabi Muhammad meninggal, tak ada kode atau pesan tertentu tentang teks sakral
ini. Para penghafal sudah banyak tetapi tak ada satupun diantara mereka yang
tahu keseluruhan al-Qur’an ini. Wahyu itu sendiri sudah bertebaran dan terancam
hilang. Penyaluran secara lisan, bagaimanapun adalah metode yang tidak cocok
guna pemeliharaan al-Qur’an ini, disebabkan terbukanya pintu pemalsuan,
kecerobohan dan pengubahan-pengubahan, perselisihan seputar substansi teks
al-Qur’an tidak diizinkan hingga mendapatkan dan memerlukan suatu kesepakatan
yang pada akhirnya disepakati untuk mengkodifikasikan al-Qur’an di zaman Abu
Bakar.[17]
Pendapat
seperti itu hanyalah praduga-praduga salah, sebab fakta membuktikan banyak
sekali sahabat yang hafal secara keseluruhan, diantaranya Abu Bakar, Umar Ali,
Zaid bin Tsabit dan lainnya, mereka semua hidup sampai era kodifikasi. Adapun
banyak yang meninggal akibat perang Yamamah melawan Musailamah. Hal ini bukan
berarti seluruh penghafal al-Qur’an sudah tidak ada lagi. Buktinya ucapan Umar.
“Saya takut penghafal di seluruh negara mati”. Ini berarti bukan seluruhnya
mati, tapi masalahnya adanya kekhawatiran, waspada dan ketakutan.
Sedangkan
penyaluran secara lisan kurang cocok, guna pemeliharaan al-Qur’an, sangat tidak
obyektif. Sebab pemeliharaan al-Qur’an dalam Islam dilaksanakan baik dengan
lisan maupun tulisan. Ayat dan surat telah di tulis kala turunnya. Dan Nabi
Muhammad SAW ketika turun wahyu bersabda, “ Letakkanlah ayat ini dalam tempat
ini..............dan surat ini...........”. Dan telah diriwayatkan bahwa Jibril
ketika menurunkan ayat demi ayat kepada Nabi berkata, “Wahai Muhammad
sesungguhnya Allah menyuruh untuk meletakkannya di tempat ini.........dan surat
ini......” karenanya para ulama sepakat bahwa kodifikasi al-Qur’an adalah taufiqi.[18]
IV.
PERSAMAAN AL-QUR’AN DENGAN BIBBLE DAN
KITB-KITAB KUNO
Orang
Yahudi dan Kristen mengetahui betul bahwa al-Qur’an sangat tergantung pada isi Bibble dan Talmud dengan pengecualian
beberapa cerita naratif yang memang asli dan Arab, seperti ; Ad. Thamud, Luqman dan
kisah-kisah tentang Dhu al-Qorman
dan Ashab al-Kahfi, sedangkan cerita lainnya sama persis dengan kandungan Bibble.
Kesamaan
ini tidak lepas dari internet Muhammad pada literatur sakral milik kaum Kristen
dan Yahudi, kemudian ia merefleksikan pada konsepnya sendiri tentang Islam,
yaitu sebuah agama ia dakwahkan sebagai agama penyempurna, dimana Tuhan
mewajibkan kaum Yahudi dan Kristen serta Arab sendiri untuk patuh kepada-Nya
dalam Islam. Akan tetapi dakwah Islam sebagai agama penyempurna tidak
beralasan. Sebab, jika Islam benar demikian niscaya ia mencakup segala apa yang
disebutkan dalam kitab perjanjian. Kenyataannya tidak demikian, tetapi hanya
menjadi kepentingan misi pribadi Muhammad sebagai nabi. Disamping kepentingan
misi tersebut, Muhammad juga menyebarkan kesalahan-kesalahan interprestasi yang
dilakukan Yahudi dan Kristen terhadap agama Allah. Dan lebih penting lagi, ia
menjustifikasikan pemutusan hubungan dengan musuh-musuhnya yang beragama
Yahudi.
Hanya
saja mereka melihat ketidakcocokan versi Bibble
dan versi al-Qur’an dalam tema cerita yang sama. Ini disebabkan adanya kurang
perhatian pada perincian tema tersebut. Konsep Islam Muhammad didasarkan pada
pengumpulan dan penggabungan tema-tema Bibble
dan al-Qur’an mengesahkan cerita penciptaan Adam dan penyembahan para
malaikat kepadanya. Cerita nabi Nuh dan banjir, Nabi Ibrahim dan keselamatannya
dari api raja Namrut, Yusuf dan saudara-saudaranya, Daud dan Sulaiman, dan
lain-lain. Semuannya ada hubungannya dengan perjanjian lama. Dalam perjanjian
baru, seperti cerita perjalanan Nabi Isa, masa kecilnya, penolakan akan penyaliban
dan bagaimana Isa memberi kabar kedatangan Muhammad, semuanya telah terekam
dalam al-Qur’an.[19]
Kesamaan
konsep-konsep Qur’an dengan Bibble,
bukan hanya nampak pada hubungan integral antara keduanya tetapi juga pada
indentifikasi Qur’an akan dasar ajaran Ketuhanan, mulai dari Tuhan sebagai
pencipta alam dan Adam sampai hari pembalasan. Tuhan al-Qur’an adalah Allah dan
tuhan Bibble adalah Jehouah atau God. Hanya saja ada perbedaan penting
yaitu Tuhan Muhammad tidak datang kepada manusia dalam wujud inkarnasi, tidak
ada perantara antara Dia dan manusia dan tidak juga sebagai Bapak. Dia tidak
beranak dan tidak diperanakan.
Demikian
konsep tentang pemerintahan absolut, semuanya datang melalui keputusan Tuhan.
Ide-ide tentang Qadla dan Qadar dan penghambaan pada Iradat Tuhan
juga sama. Tuhan dalam Qur’an dan Bibble juga ikut bermain dalam penentuan
jalan orang yang tidak beriman. Karenanya segala ketentuan Tuhan berharap
manusia dan alam tidak boleh dipertanyakan.
Konsep
kenabian Muhammad, mempunyai doktrin sama dengan kenabian bangsa Semit dan
Aryam. Skema boleh beda tetapi esensi dan tujuan tetap sama. Wahyu dibawa
melalui malaikat atau Ruh al-Qudus,
Nabi pilihan berbicara atas nama Tuhan bukan atas nama dirinya sendiri
sebagaimana Bibble menuliskan “ego
seorang nabi menghilang sebalum ego Tertinggi (Tuhan)”.
Kesamaan
juga terdapat dalam pemakaian terminologi proses ibadah, seperti sholat
(prayer), tazzaka (waspufided), abd (servant), dan lain-lain. Namun akhirnya
Farah menyimpulkan bahwa dari bahasa muncul ide-ide, apa yang dimaksud dengan
Nabi, Kitab suci, Wahyu, Sholat, Pujian, Malaikat, Syetan, Surga dan neraka,
semuanya telah diketahui Muhammad lewat macam media, melalui para penyair,
rahib, orang suci, dan para pedangang yang datang dari Hijaz yang tercerahkan
pada tempat-tempat peribadahan Kristen.[20]
Dalam
beberapa hal penulis sependapat dengan pendapat Farah yaitu adanya beberapa
kesamaan kandungan al-Qur’an dengan Bibble. Karena al-Qur’an adalah kitab
penyempurna kitab-kitab sebelumnya seperti, Zabur, Taurat, Injil. Tapi kalau
Farah kemudian menyebutkan bahwa demikian ini disebabkan karena Muhammad
mengadopsi sari kitab-kitab tersebut, ini sangat tidak rasional. Tetapi yang
masuk akal adalah karena kitab-kitab tersebut datang dari satu pencipta yaitu
Allah SAW. Ada pertanyaan, apakah sama Bibble
sekarang dengan Taurat dan Injil yang diturunkan Allah kepada Nabi Musa As dan
Nabi Isa As ? Tentunya tidak sama, sebab sudah banyak perubahan dalam Bibble sekarang yang dilakukan oleh kaum
Yahudi dan Kristen, sesuai dengan firman Allah :“Apakah kamu masih mengharapkan
mereka akan percaya kepadamu, padahal segolongan dari mereka mendengar firman
Allah, lalu mereka mengubahnya setelah mereka memahaminya, sedang mereka
mengetahui”.[21]
Benarkah
Nabi Muhammad SAW pengarang al-Qur’an dan perintis pertama pembuatnya ? Secara aqly maupun dalil-dalil naqly akan menolaknya. Di depan, penulis
telah memaparkan secara terperinci perbab. Tapi secara keseluruhan hal ini disebabkan:
1. al-Qur’an
dengan bentuknya, huruf-hurufnya, ungkapan-ungkapannya, kandungannya yang
universal, banyak berisi ilmu pengetahuan dan rahasia-rahasianya juga keindahan
dan kejelitaan kata walaupun kalimatnya dibuat atas kemampuan manusia. Apalagi
Nabi Muhammad SAW sendiri tidak bisa membaca dan menulis.
2. Andaikata
al-Qur’an adalah karangan Nabi Muhammad SAW, mengapa orang Arab tidak mampu
menghadirkan sesuatu sepertinya. Padahaln Rasul sebelum diutus sama sekali
tidak terkenal sebagai satu diantara para penyair dan ahli Balaghah Arab
terkemuka. Demikian sesuai firman Allah :“Dan kalau kamu masih ragu-ragu
tentang al-Qur’an yang telah kami turunkan kepada hamba kami, maka buatlah satu
surat saja seperti itu panggilah saksi-saksimu selain Allah, jika kamu tidak
dapat dan pasti kamu tidak kan membuatnya, maka hati-hatilah kamu dari api Neraka
yang dinyalakan (bahan bakarnya) manusia dan batu yang disediakan untuk
orang-orang kafir”.[22]
3. Andaikata
Muhammad mengarang al-Qur’an dan mengadopsinya dari teks-teks samawi Kuno. kenapa
di dalam al-Qur’an ada kisah Hud, Saleh, Kaum Ad dan Kaum Thamud yang tidak ada
dalam kitab-kitab tersebut ? dan kenapa juga ada di dalamnya kisah-kisah yang
bertentangan dengan kitab-kitab tersebut. Seperti al-Qur’an menyebutkan bahwa
wanita yang memperanakkan Musa As adalah istri Fir’aun. (QS. al-Qasas: 9)
sedangkan Bibble menyebutkan putri
Fir’aun bukan istrinya. Ini membuktikan bahwa al-Qur’an bukan hasil adopsi dari
kitab-kitab tersebut.
4. Kalau
Muhammad dianggap pengarang al-Qur’an niscaya tidak ada ayat-ayat yang
menegurnya. Tapi kenyataanya, banyak ayat-ayat tersebut ada dalam al-Qur’an
sepert QS. Al-Anfal 67, Al-Ahqaf 9, atau Abasa 1-4. “ Dia (Muhammad) bermuka
masam dan berpaling lantaran datang kepadanya seorang buta. Tahukah kamu,
barangkali dia ingin membersihkan diri (dari dosa). Atau dia ingin mendapatkan
pengajaran, lalu pengajaran itu memberi manfaat kepadanya”.[23]
V.
Kesimpulan
Farah
dalam mengungkapkan gagasan-gagasannya banyak merujuk sejarah al-Qur’an yang
tidak bereferensi juga menggunakan ayat-ayat yang pemahamannya berbeda dengan
pemahaman umat Islam, ia juga sering menggunakan logika yang terputus. Walaupun
demikian hasil pemikirannya merupakan fenomena yang perlu dikaji oleh umat
Islam secara menyeluruh. Dan kajian ini tidak termasuk suatu kajian yang tidak
sia-sia, baaahkan sebaliknya, ia mempunyai nilai ilmiyah tersendiri yaitu
sebagai bahan literatur dan perbandingan bagi para sarjana muslim masa kini
untuk lebih banyak menggali kandungan al-Qur’an secara mendalam.
Akhirnya
al-Qur’an tetaplah al-Qur’an, sebuah
wahyu yang diturunkan Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW melalui perantaraan
malaikat Jibril. Ia tidak sama dengan Bibble dan tidak juga hasil adopsi
darinya. Ia mukjizat yang tak tertandingi dari segala segi. Ia petunjuk bagi
seluruh manusia.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an
Al-Zarqony, 1998. Manahul al-urfan fi Ulum al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Fikr)
Al-Suyuti, 1978. Al-Itqon
fi Ulum al-Qur’an, (Kairo, Maktabah Musthafa al-Bab al-Halbi)
Al-Zarkasy, 1957. Al- Burhan
Fi Ulum al-Qur’an (Kairo: tp)
Ali Ali Ali Sahin, 1998. Al-I’lam Binaqdi Ma Jaa fi Kitab “Maqalah fi
al-Islam” (Kairo: Dar al-Tiba’ah al- Muhammadiyah)
Al=Jaburi, Yahya, 1983. Hayat Labib fi al- Islami, (Kuwait: Dar
al-Qalam)
Farah, Caesar F., tt. Islam Beliefs and observenses,
(Minnesota: Barron’s)
Hanaf, Hasan, tt. Min
al-Aqidah Ila al-Thawaroh, (Kairo, Maktabah Madbuly)
Hadlari, Muhammad, tt. Nurul al-Yaqin fi Sirah Sayyid Al-Mursalin,
(Mesir,tp)
[1] Farah, Caesar F., tt. Islam Beliefs and observenses,
(Minnesota: Barron’s tt), h. 77-78
[2] Farah, Islam........h.78
[3] Al-Qur’an,
43:43
[4] Farah, Islam........h.79
[5] Al-Qur’an, 2:
87
[6] Farah, Islam......h.79
[7] Hanaf, Hasan,
tt. Min
al-Aqidah Ila al-Thawaroh, (Kairo, Maktabah Madbuly), h.503,504
[8] Al-Zarqony,
Mohammad Abd Al-Adhin, 1988. Manahil
al-urfar fi Ulum Qur’an, jilid 1, (beriut: Dar al-Fikr), h.79
[9] Al-arqony, Manahil.........h.80
[10] Farah, Islam...., h.82, 83
[11] Hadlari,
Muhammad, tt. Nurul al-Yaqin fi Sirah
Sayyid Al-Mursalin, (Mesir,tp), h.54-62
[12] Al-Jaburi, Yahya,
1983. Hayat Labib fi al- Islami,
(Kuwait: Dar al-Qalam), h.135
[13] Farah, Islam..., 87
[14] QS.41,33-34
[15] Al-Zarqony, Manahul al-urfan fi Ulum al-Qur’an,
(Beirut: Dar al-Fikr,1998), 207-208
[16] QS.2,275
[17] Farah, Islam....,95
[18] Al-Suyuti,
1978. Al-Itqon fi Ulum al-Qur’an,
(Kairo, Maktabah Musthafa al-Bab al-Halbi), h.48, 63, Al-Zarkasy, 1957. Al- Burhan Fi Ulum al-Qur’an (Kairo: tp),
h.234, 237, 241
[19] Farah, Islam......h.95
[20] Ibid. 91-93
[21] Al-Qur’an, 2:
75
[22] QS.2: 23-24
[23] Ali Sahin,
1998. Al-I’lam Binaqdi Ma Jaa fi Kitab
“Maqalah fi al-Islam” (Kairo: Dar al-Tiba’ah al- Muhammadiyah), h.191-196
Tidak ada komentar:
Posting Komentar