MISTISISME (SUFISME) DALAM SEJARAH PERADABAN
ISLAM
Studi
Analisis A History of Islamic Philosophy karya Majid Fakhry, New York, Columbia
University Press
Oleh :
Mashudi Zusro,S.H., M.Si
Sekolah Tinggi Agama Islam Grobogan (STAIG)
Maszoesfizoes@ymail.com
Jl. Kapten Rusdiyat 1 Kablukan Danyang Kec.
Purwodadi Kab. Grobogan
Mistisisme
(Sufisme) dapat dianggap sebagai
desakan dalam sukma manusia untuk merengkuh yang tak terbatas. Bentuknya bisa
berupa kedekatan spiritual (communion)
atau persatuan intelektual sebagaimana dalam neoplatonisme atau melalui
iluminasi visioner (mukasyafah atau
isyraq), sebagaimana dalam mistisisme Islam yang moderat atau melalui
peniadaan identitas diri (fana’), sebagaimana
dalam Hinduisme dan Sufisme yang ekstrem. Tahap pertama perkembangan mistisisme
Islam yaitu pada awal abad ke-7, terkait erat dengan munculnya sufi-sufi yang
mengabdikan diri mereka bagi kesucian hidup (wara’), ketekunan beribadah (khusyu’)
dan perenungan (fikr) terhadap
keadaan manusia dan hubungan hamba dengan Tuhannya. Dalam al-Qur’an kelompok
ini dilukiskan sebagai, “mereka dekat dengan-Nya melebihi kedekatan urat leher
mereka dengan diri mereka sendiri” (QS, 50 : 16). Seperti sajak yang
diungkapkan seorang sufi, Rabi’ah al-‘adawiyah “Aku cinta kepada-Mu dengan dua
cinta, Cinta kasmaran dan cinta karena memang Kau layak dicintai, Cinta
kasmaran adalah keadaanku yang selalu mengingat-Mu, Sementara cinta kedua
karena Kau telah menyibakkan tabir hingga aku dapat melihat-Mu, Betapapun
cintaku tak berarti apa-apa bagi-Mu, Sementara cinta-Mu berarti segala-galanya
bagiku”.
Key
Word : Perkembangan, Mistisisme (sufisme), Sejarah Peradaban Islam
I.
Pendahuluan
Selama periode awal abad ke-7
bermunculan kelompok-kelompok sufi dan orang-orang yang menjauhi kemegahan
duniawi, semisal al-Hasan al-Bashri (w. 728). Oleh sumber-sumber sufi pada
periode berikutnya diriwayatkan bahwa al-Hasan al-Bashri pernah mengatakan
“sebutir pahala wara’ lebih berat daripada puasa dan shalat”. Kekhusyukan
baginya adalah menancapkan rasa takut dalam hati, sedangkan kezuhudan adalah
sikap mencela dunia dan apa-apa yang terdapat di dalamnya, apakah itu manusia
ataupun harta benda.[1]
Setelah itu, berkerumunlah para zahid
(ascetic) disekitar al-Bashri. Ada
yang laki-laki dan ada pula yang perempuan. Paling terkenal diantara yang
perempuan adalah Rabi’ah al-‘Adawiyah (w. 801), dialah zahidah yang terkenal
akan pengabdiannya pada kesucian diri dan meditasi. Untuk pertama kalinya dalam
sejarah muslim, Rabi’ah al-‘Adawiyah memperkenalkan konsep tentang Ilahi
sebagai sendi utama bagi kehidupan keagamaan. Suatu ketika, dia ditanya tentang
apakah dia mencintai Tuhan dan membenci setan, Rabi’ah pun menjawab, “cintaku
kepada Tuhan telah menghalangi hatiku untuk membenci setan”. Menurut versi lain
“cintaku kepada Tuhan telah memenuhi segenap hatiku sehingga tak tersisa lagi
ruang untuk mencintai atau membenci selain-Nya”.[2]
Dia juga mengungkapkan cintanya kepada Tuhan melalui beberapa bait sajak yang
indah berikut ini :
Aku
cinta kepada-Mu dengan dua cinta
Cinta
kasmaran dan cinta karena memang Kau layak dicintai
Cinta
kasmaran adalah keadaanku yang selalu mengingat-Mu
Sementara
cinta kedua karena Kau telah menyibakkan tabir hingga aku dapat melihat-Mu
Betapapun
cintaku tak berarti apa-apa bagi-Mu
Sementara
cinta-Mu berarti segala-galanya bagiku.[3]
Pada abad berikutnya, pusat gerakan
mistis berpindah dari Basrah ke Baghdad dan berhasil mencetak sejumlah figur
terkemuka pada awal sejarah mistisisme Islam atau sufisme. Paling terkenal
diantaranya adalah al-Muhasibi (w. 857) dan Abu al-Qosim al-Junaid (w. 911).
Al-Muhasibi dan al-Junaid layak disebut dua pemuka dalam sejarah tasawuf. Lahir
di Bashrah, al-Muhibi kemudian pindah ke Baghdad. Di Baghdad inilah dia
terlibat perseteruan sengit dengan para pengikut Imam Ahmad Ibn Hanbal,
gara-gara dia menentang penggunaan argumen-argumen teologis dalam
ceramah-ceramahnya. Mistisisme al-Muhibi didasarkan pada dua pilar, yakni
menghisab diri sendiri (Muhasabah)
yang sekaligus menjadi gelarnya dan kesediaan menanggung derita dan musibah
demi Tuhan, kekasih utamanya. Ujian keimanan yang sejati, menurut al-Muhibi
adalah kerelaan untuk mati dan ketabahan al-Muhibin (shabr) menanggung penderitaan yang sangat menyiksa.[4]
Abu al-Qosim al-Junaid murid
al-Muhibi al-Saqathi (w. 870) dan Abu Hafs al-Hadad (w. 873) sangat berpengaruh
terhadap perkembangan mistisisme Islam pada era selanjutnya. Pemikiran
al-Junaid ditandai oleh rasa (sense)
yang tinggi akan transendensi dan keesaan Tuhan. Juga tekad berpegang teguh
pada aspek ritual dari kehidupan religius yang telah digariskan oleh hukum
Allah (syari’ah). Bagi al-Junaid,
asas kehidupan spiritual yang melambari mistisisme adalah perjanjian (milsaq) yang telah ditetapkan oleh Allah
sebelum penciptaan manusia. Perjanjian ini disebut dalam al-Qur’an surat
al-A’raf (7) ayat 172, Tuhan berseru kepada umat manusia untuk memberi kesaksian pada diri mereka
sendiri, “apakah Aku Tuhanmu?” dan mereka menjawab “ya ! sesungguhnya kami
telah bersaksi atas-Nya”. Dari perjanjian ini menurut al-Junaid tampak bahwa
esensi kehidupan spiritual manusia adalah keinsafan hamba bahkan sebelum ia
tercipta, yaitu semasa ia berupa gagasan dalam pikiran Tuhan atas jarak yang
terbentang antara dirinya dan Tuhan Sang Pencipta. Al-Junaid menyebut keinsafan
ini sebagai pemisah (ifrad) yang
abadi dari yang fana’, sekaligus sebagai pengakuan atas keesaan Tuhan (tauhid).
Al-Junaid memberikan kejadian di atas sebagai “suatu keadaan manusia masih sebagai
ruh (sebelum mewadak) yang hadir
dihadapan Sang Maha Kuasa. Sesuai dengan belas kasih Tuhan, ia diperintahkan
untuk dengan tetap mengacu pada hukum-hukum yang terdapat di dalam labirin “lautan” ke-Esa-an-Nya – meniadakan diri (fana’) dan melupakan panggilan makhluk”,
sehingga pada akhirnya kelak ia akan tetap ingat pada “asalnya”, yakni
sebagaimana ia sebelum di dunia ini”.[5]
Ajaran peniadaan diri ini mencerminkan kuatnya pengaruh paham nihilisme Hindu
saat itu. Tidak lama berselang, ajaran itu memicu munculnya mistisisme
panteistik atau “Unifer” (Wahdah al-Wujud).
II.
Perbedaan
Aliran Mistisisme (Sufisme) di Kalangan Umat Islam
Dua eksponen mistisisme panteistik
yang mempunyai berbagai klaim hiperbolik adalah al-Bisthami (atau bisa disebut
al-Busthami) dari al-Hallaj. Kedua figur inilah yang mendorong ide peniadaan
diri manusia hingga keluar dari batas-batas logisnya, yaitu pada kesatuan
menyeluruh antara Tuhan dan makhluk (ittihad).
Para sufi sebelumnya, termasuk al-Junaid sendiri tidak pernah melewati batas
ini.
Abu Yazid al-Busthami dilahirkan di
kota Bistham (atau Basham) sebelah barat Khurasan. Konon al-Busthami belajar
tasawuf di bawah bimbingan seorang guru India, yaitu Abu Ali al-Sindi,
al-Busthami belajar mengenal rahasia ajaran peniadaan diri yang terkenal itu. Sejumlah besar celotehan mistis
(syathahat) al-Busthami terungkap
dalam berbagai sumber klasik. Diantara celotehan-celotehan tersebut ada yang
menyangkut konsep kasmaran (sikr)
hasrat mistis (wajd) atau penyatuan
diri manusia dengan Tuhan. Dalam celotehan-celotehan tersebut, tersirat pula
konsep tentang penuhanan diri (self
deification). Dalam salah satu celotehnya, seperti dilaporkan oleh seorang
sufi pada masa berikutnnya, al-Busthami menuturkan, “suatu ketika, Tuhan
mengangkatku kehadirat-Nya dan berkata, “Wahai Abu Yazid ! Makhluk-Ku ingin
melihatmu”, lalu kujawab, “Hiasi diriku dengan ke-Aku-an-Mu sehingga tatkala
mereka melihatku, mereka akan berkata, “kami telah melihat-Mu”, kemudian Kau
akan berada disana dan aku takkan ada disana”.[6]
Dalam
celotehan senada dia berkata, “Maha suci diriku, Maha besar aku!”, semua ucapan
yang dinisbatkan kepadanya mengungkapkan dengan tegas konsep tentang peleburan
total dengan sifat ketuhanan. Tidak sedikit contoh serupa yang terdapat dalam
kitab Vedanta dan Upanished.[7]
Mungkin ucapan al-Busthami yang paling dianggap sesat adalah ketika dia
berbicara tentang usahanya menemukan Tuhan dan karena gagal dia memutuskan
untuk menempati kedudukan-Nya dia atas ‘Arsy. Lantas dia bertutur “pernah
suatu kali, aku menyelami samudra
malakuti (angelic) dan menyibakkan
tabir-tabir ketuhanan (Lahut) hinggga
sampailah aku ke ‘Arsy. ‘Arsy itu kosong rupanya. Maka, kuhempaskan diriku di
atasnya sambil berseru “Tuhan, dimana aku bisa menemukan-Mu ?” lalu kusadari
Aku adalah Aku! Ya, Aku adalah Aku. Selanjutnya, Aku kembali pada apa yang
tengah kucari yang ternyata tak kutemukan kecuali Aku”.
Tokoh luar biasa kedua dalam
sejarah mistisisme panteistik adalah Husein Ibn Mansur al-Hallaj. Dia terlahir
di Baidha’, tempat yang terletak di tepian Teluk Persia. Al-Hallaj belajar
tasawuf dari guru-guru terkemuka seperti, al-Maliki (w. 909), al-Tustari (w.
986), al-Syibli (w. 945) dan al-Junaid. Belakangan, al-Junaid berpisah darinya lantaran
perilaku al-Hallaj yang diangggap berlebih-lebihan. Al-Halaj selanjutnya meniti
karier sebagai penceramah publik dan politikus aktif, termasuk ikut bergabung
dengan sekte Qaramithah dan Syi’ah. Seperti penuturan putranya Ahmad, setelah
menunaikan ibadah haji untuk yang ketiga kali al-Halaj kembali ke Baghdad.
Waktu itu, al-Halaj mencapai tahapan perkembangan mistis yang digambarkannya
sendiri sebagai “essensi kemanunggalan”,
menurutnya, pada tahap ini Aku dan Engkau, sufi dan Tuhan yang dicarinya menyatu
padu.
Reputasinya menyebar dengan cepat
keberbagai penjuru. Sampai-sampai pada tahun 909, perdana menteri Ibn al-Furat
menjatuhinya hukum penjara atas tuduhan menjadi agen sekte Qaramithah. Sembilan
tahun dalam penjara, al-Halaj kemudian dituduh menghina agama dan menuhankan
diri. Ketetapan hukuman mati atas dirinya pun kemudian disahkan oleh khalifah
berdasarkan ayat berikut, “sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi
Allah dan Rasul-Nya dan berbuat kerusakan di muka bumi adalah dibunuh atau
disalib atau dipotong tangan dan kaki mereka secara bersilang atau diusir dari
negeri tempat kediaman mereka (QS, 5 : 33). Dengan penuh semangat, perdana
menteri tersebut memerintahkan agar al-Hallaj dicambuk, disalib, dipancung,
dibakar dan abunya ditaburkan di permukaan sungai Tigris. Padahal, khalifah
hanya memerintahkan perdana menteri
untuk mencambuk dan memancung al-Hallaj, tidak lebih dan tidak kurang.[8]
III.
Interaksi
Mistisisme dengan Neoplatonisme
Gugurnya al-Hallaj merupakan peringatan keras bagi bahaya laten
yang terkandung dalam doktrin penyatuan. Oleh al-Hallaj sendiri, doktrin ini
dimaksudkan sebagai cara seorang sufi menjadi alat Tuhan yang berbicara dan
menulis atas nama-Nya. Hakim yang memvonis mati al-Hallaj tidak mau mendengarkan
dalih itu dan menganggap pernyataan tadi sebagai penuhanan diri secara blak-blakan.
Dan itu tidak bisa diampuni.
Pola sufi berikutnya, semisal
Al-Ghazali dan Ibn ‘Arabi telah menarik pelajaran yang diberikan oleh kasus
hukuman mati terhadap Al-Hallaj tersebut. Interpretasi mereka atas pengalaman
mistis betapa pun aneh dan menyimpang,
takkan pernah mencapai klaim penyatuan diri dengan Tuhan (ittihad). Selain itu, konsep
ini oleh Al-Ghazali telah ditukar dengan ikrar keesaan Tuhan (tauhid)
dan oleh Ibn ‘Arabi dengan konsep kesatuan wujud (wahdah al wujud). Al-Ghazali yang telah kita kenal lewat kritiknya
atas neoplatonisme muslim mengatakan dalam autobiografinya, al-Munqidz bahwa
sejak masa mudanya selalu mencari kebenaran. Studi filsafat, kalam dan doktrin
esoteris yang dilakukan oleh kaum Islamiyah (bathiniyah) tidak bisa memuaskan
dahaganya akan kebenaran.
Setelah bertahun-tahun melakukan
kajian mendalam, mengajar dan merenung, tibalah dia pada suatu kesimpulan bahwa
para pengikut ajaran sufi adalah orang-orang yang secara sungguh-sungguh
menapaki jalan Tuhan. Perilaku mereka merupakan perilaku yang paling terpuji.
Jalan hidup mereka adalah yang paling lurus dan sifat mereka merupakan sifat
yang terbaik. Gerak dan diam mereka, baik lahir maupun bathin selalu berasal
dari cahaya nabawi (propetic) atau
yang di atas itu yang tiadalah cahaya di muka bumi ini yang lebih terang
daripadanya.[9]
Lebih lanjut al-Ghazali mengatakan
bahwa jalan sufi tidak membenarkan penghinaan terhadap hukum-hukum agama. Tidak
pula ia mengabaikan kewajiban agama dan ibadah, apalagi mempersamakan Tuhan
dengan makhluk seperti yang dilakukan oleh sufi yang kebablasan. Hakekat
mistisisme bagi al-Ghazali dan al-Junaid, guru spiritualnya. Hanyalah sebatas
ikrar tentang keesaan Tuhan (Tauhid).
Kadang-kadang al-Ghazali mengekspresikannya sebagai pemusnahan diri dalam
tauhid. Dan bagi al-Ghazali, tauhid berarti meyakini bahwa Tuhan adalah wujud,
pelaku dan cahaya Tunggal di alam semesta ini. Wujud ini tak bisa dikenali
lewat pemikiran atau spekulasi rasional sebagaimana sangkaan kaum filosof.
Tidak pula Dia bisa dikenali lewat penyatuan diri dengan-Nya sebagaimana
sangkaan al-Busthami dan al-Hallaj. Mengenali wujud hanya mungkin apabila Dia
membukakan Diri-Nya (kasy) bagi yang
bersedia melalui pencermatan yang terus menerus (musyahadah) dalam pancaran cahaya Ilahi. Dalam satu karya mistisnya
yang terkenal Misykat Al-Anwar, al-
Ghazali secara panjang lebar menafsirkan QS. An-Nur 24:35. Ayat ini berbicara
tentang “cahaya langit dan bumi “ dan melukiskan Tuhan sebagai cahaya di atas
cahaya. Segala entitas yang eksis dari malaikat hingga benda-benda bumi
bersumber dari-Nya. Namun, menurut al-Ghazali semua entittas ini hanya eksis
secara metaforis atau figuratif. Sebab, dibandingkan dengan wujud sejati, semua
itu hanya bersifat semu bahkan pada hakikatnya tidak ada. al-Ghazali menulis :”
Pada titik ini, seorang sufi akan mampu menaikkan taraf kesadarannya dari
metaforis pada yang nyata. Bahkan, hingga bisa secara visual menyaksikan
ketiadaan wujud selain wujud Tuhan dan kebinasaan semuanya kecuali wajah-Nya.
Kebinasaan demikian tidak terjadi hanya karena tamatnya kehidupan, tetapi
justru karena ia tidak bisa tidak bersifat fana secara abadi. Di lihat pada
dirinya sendiri, segala selain Tuhan itu sebenarnya tiada. Namun, apabila sudut
asal-asalnya dari realitas pertama yang kita lihat, tampaklah ia seakan
berinteraksi. Dengan perkataan lain, eksistensinya itu menampak apabila
“diarahkan” pada wajah Penciptanya. Sebab, segala sesuatu memiliki dua wajah,
wajah yang terarah pada dirinya sendiri dan wajah yang terarah kepada Tuhannya.
Sejauh menyangkut wajah yang terarah pada dirinya sendiri, segala sesuatu itu
pada dasarnya tiada. Akan tetapi, sejauh menyangkut wajah yang terarah pada
wajah Tuhannya, ia tampak eksis. Karena itu, tak ada yang benar-benar eksis
kecuali Tuhan Yang Maha Kuasa dan wajah-Nya. Dan segala sesuatu pastilah binasa
secara azali dan abadi, kecuali zat-Nya”.[10]
Menurut al-Ghazali, manusia
menempati posisi yang tinggi dalam tangga penciptaan lantaran Tuhan
menciptakan-Nya dalam citra dan keserupaan dengan-Nya. Dia juga membuat mereka
bak simpul alam semesta. Itulah sebabnya dalam sebuah hadits Nabi SAW
dikatakan, “barang siapa mengenal dirinya, maka dia akan mengenal Tuhannya”. Analisis
tentang daya kognitif manusia yang oleh al-Ghazali secara umum disebut jiwa,
menunjukkan bahwa semuanya berawal dari pengalaman indrawi dan imajinasi. Dari
situ, jiwa akan memuncak pada akal yang bersifat intuitif dan deduktif yang
oleh Al-Ghazali disebut reflektif.
Di atas semua daya ini, bagi Al-Ghazali
dan juga para filosuf adalah daya para Nabi yang disebut “spirit profektif “. Daya inilah yang membuat para Nabi mampu
mengetahui hal-hal yang ghaib (al-ghaib), peristiwa-peristiwa yang
belum terjadi (hari kiamat) dan kesadaran-kesadaran Ilahi (Divine cognitions) lain yang lebih tinggi. Sayangnya,
masalah-masalah ini tidak diperinci olehnya. Oleh karena itu, tahapan tertinggi
dari kecerdasan manusia ini merupakan karunia Ilahi. Dalam Al-Munqidz, al-Ghazali menyebutkan sebagai “cahaya Tuhan memancar
ke lubuk hati manusia sehingga menjadi kunci bagi semua bentuk kesadaranya”. Ia
adalah sebentuk wahyu atau ilham yang tidak bergantung pada argumen-argumen
atau dalil-dalil ilmiah, akan tetapi bergantung pada “rahmat Tuhan yang maha
luas “. Masih menurut al-Ghazali, dalam setiap jenjang pengetahuan tadi para
arif mempersepsi Tuhan melalui “tabir yang bercahaya” sehingga realitas-Nya
sebagai Tuhan dan Pencipta Maha Mutlak terselubung. Kelompok arif yang memiliki
derajat tinggi disebut oleh al-Ghazali sebagai “mereka yang telah sampai ditujuan
(washilun)”. Merekalah orang-orang
yang mampu memahami bahwa alam falakiah
beserta seluruh faktor geraknya tunduk kepada pencipta langit dan bumi.
Teori epistemologis dan kognitif
yang diungkap dalam bahasa yang sangat metaforis ini sangat digemari oleh kaum
sufi. Bagi al- Ghazali, teori ini mengerucut pada keadaan “musnah dalam
kesatuan” atau “musnah dalam kemusnahan “. Dalam keadaan seperti itu, seorang
sufi akan secara total terserap oleh objek kontemplasinya sehingga tak lagi
menyadari diri dan keadaannya sendiri. Untuk menjelaskan keadaan ini dalam al-Munqidz,
al-Ghazali selalu menyitir bait romantis karya sastrawan di zaman Dinasti “Abbasiyah,
Ibn al-Mu’taz berikut ini:[11]
Kemudian, nyatalah apa yang ada
Yang tak bisa kuingat lagi
Pikirkan (Aku) sunggguh-sungguh
Dan jangan bertanya tentang apa
yang terjadi.
Analisis yang cermat terhadap
berbagai naskah al-Ghazali, khususnya Misykat Al-Anwar, menunjukkan bahwa
epistemologi al-Ghazali terutama bertumpu pada kosmologi Neoplatonik. Intinya,
sebagai penggerak langit (malaikat) yang ditaati hanya tunduk kepada wujud
tertinggi, yaitu “Yang menciptakan
langit, falak-falak yang menjulang tinggi dan menciptakannya (Yang ditaati)
untuk menggerakkan semua benda tersebut“. Pendek perkataan, wujud inilah yang
mentransendensikan segala yang hanya terbayang oleh orang-orang yang belum “sampai di tujuan (washilun)”. Seperti juga konsep “Yang Esa
“dari Plotinus, wujud ini jelas berada di luar jangkauan nalar manusia meskipun
tetap dalam “lingkaran” wujud (keberadaan). Sebab, pada dasarnya segala sesuatu
berasal dari-Nya. Dalam kaitan ini,
konsep al-Ghazali lebih dekat pada konsep Ibn Sina tentang wajib al-wujud dari pada konsep Plotinus tentang “Yang Esa “.
Terlepas dari serangannya terhadap
Neoplatonisme, al-Ghazali sendiri sebetulnya sulit terbebas dari imbasnya.
Demikian pula pandangan etikanya yang termuat dalam Mizan al-Amal, jelas sekali dipengaruhi oleh ajaran-ajaran Platonik
dan Neoplatonik. Bagaimanapun ekspresi yang paling elok menyangkut pengalaman
dan pandangan mistis tentang realitas adalah yang berasal dari Muhyi al-Din Ibn
‘Arabi. Dia lahir di Murcia, Spanyol, pada tahun 1165. Ibn ‘Arabi lantas
mengembara hampir keseluruh belahan Timur dunia sebelum akhirnya menetap di Damaskus,
wafat pada tahun 1240. Guru-guru spiritualnya antara lain adalah al-Tirmidzi
(w.898), al-Wasithi (w. 942) dan Ibn al-‘Arif (w. 1141), sedangkan guru
filsafatnya antara lain, adalah Ibn al-Massarah (w. 931) . konon pada 1201-lah
Ibn ‘Arabi “diperintahkan” untuk mengembara ke Timur. Sesampainya di Makkah,
dia menulis karya utamanya “al-Futuhat al-Makkiyah”
(wahyu-wahyu Makkah). Jumlah karyanya diperkirakan mencapai 846 buah dan 550
buah karya diantaranya masih tersimpan dalam bentuk manuskrip.
Inti mistisisme Ibn ‘Arabi adalah
“kesatuan wujud” (Wahdah al-wujud)
yang berpijak pada hal-hal filofosis pada apa yang disebutnya sebagai logos (kalimah) atau firman. Menurut Ibn
‘Arabi, semua Nabi dalam kedudukanya sebagai simbol kebenaran religius dan
spiritual yang tertinggi mempunyai esensi atau realitas yang sempurna. Dan
itulah yang disebut firman atau logos sebagai manifestasi dari realitas Tuhan.
Namun, dalam pewahyuan beruntun ke dalam wadah firman atau epifani (epiphani) kenabian itu, realitas Tuhan tetaplah tersembunyi. Ibn
‘Arabi tegas-tegas membedakan antara aspek tersembunyi Tuhan yang takkan pernah
terjangkau dan aspek ketinggalan (ahadiyah)
dan (rububiyah) Tuhan. Kedua aspek
terakhir inilah yang mewadahi penyingkapan (pewahyuan) Diri-Nya pada alam
semesta sehingga nyatalah Dia sebagai Tuhan dan sembahan (Ma’bud) para makhluk.
Aspek pertama dari ketiga aspek
tersebut jelas-jelas bebas dari kejamakan (multiplicity)
atau keterbatasan (determinateness).
Dan aspek Tuhan yang satu ini bisa disebut cahaya murni, kebajikan murni atau
malahan kebutaan (al-‘Ama), sedangkan
aspek kedua menampakkan adanya kejamakan atau diferensiasi. Di situ, Tuhan
“menjelma” menjadi pencipta sekaligus yang tercipta, yakni keseluruhan dari
segala sesuatu.
Bagi Ibn ‘Arabi, multiplisitas
Tuhan mewujud lantaran banyaknya sifat dan batasan (determination) yang disematkan kepada-Nya. Jadi sebagai zat, Dia
merupakan realitas sejati (al-Haq),
namun sebagai sifat sebagaimana tampak di alam raya dan berbagai ciptaan-Nya,
Dia bisa saja tampak sebagai pencipta (al-Khalq)
itu sendiri. Dengan demikian, kedua aspek Tuhan yang disebut belakangan apakah
itu yang disebut keesaan atau kejamaan, kemutlakan atau kemungkinan, pencipta
atau ciptaan, sesungguhnya satu dan sama.[12]
Ibn ‘Arabi lalu menggambarkan
penciptaan dalam istilah-istilah yang sangat emanasionis atau neoplatonik.
Mula-mula kata Ibn ‘Arabi, “segala sesuatu ada di dalam benak Tuhan dalam
bentuk pola-pola (exemplars) yang
sepenuhnya bersifat rohani hanya mampu mengenal Tuhan sebatas sebagai wujud
rohani, sedangkan manusia mampu
mengenal-Nya sebagai wujud rohani yang merupakan realitas itu sendiri juga
mampu mengenal-Nya sebagai manifestasi kasatmata dari realitas itu, yaitu dalam
bentuk sekalian makhluk-Nya”. Ihwal jiwa manusia, sebagaimana lazimnya kaum
neoplatonis, Ibn ‘Arabi membedakan antara jiwa manusia yang rasional dan jiwa
binatang yang irasional. Kendatipun demikian, Ibn ‘Arabi menolak gagasan Plato
dengan tegas tentang terjadinya kontak atau papasan (ittishal) antara jiwa rasional dan akal aktif ditepian (periphery) alam dunia ini. Sebaliknya,
dia berpendapat bahwa setelah berpisah dari raganya, jiwa manusia akan
berpindah ke falak (sphere) yang
tidak berbeda dengan dunia rendahan ini. Falak itu secara khusus diciptakan
oleh Tuhan sebagai tempat tinggal jiwa adalah substansi yang sepenuhnya
terpisah dari raga. Bahkan, dalam kenyataannya ia merupakan bagian dari alam
ruhani yang dalam istilah al-Qur’an dinamai dengan “alam Amr” atau “alam perintah”.
Tahap tertinggi yang bisa dicapai
oleh jiwa manusia adalah pengalaman langsung (dzauq). Berbeda dengan al-Busthami dan al-Hallaj yang percaya bahwa
tujuan tertinggi jiwa adalah penyatuan diri (ittihad) dengan Tuhan, al-Ghazali dan kaum sufi Islam pada umumnya
memandang pengalaman langsung sebagai tujuan tertingginya. Saat mencapai tahap
tersebut, jiwa berarti telah mencapai kondisi peniadaan diri (fana’). Dan pada saat itulah, ia akan
mampu secara visual menyaksikan kesatuan segala sesuatu, kesatuan antara yang mencipta
dan yang dicipta, yang tampak dan yang tak tampak, yang abadi dan yang binasa.
Dengan demikian, tuntaslah ajaran Panteisme metafisis dari Ibn ‘Arabi. Panteisme
metafisis Ibn ‘Arabi sepenuhnya berbeda dengan mistisisme unifer al-Busthami
dan al-Hallaj yang cenderung bersifat personal dan eksistensional. Kesatuan
yang diwacanakan oleh kedua sufi tersebut hanya mencakup kesatuan atau bahkan
keserupaan antara sufi dan Tuhan yang oleh literatur mistis sering disebut “Sang
Kekasih atau kebenaran (al-Haq)”.
Sepeninggal Ibn ‘Arabi, tasawuf
mengarah pada hal yang lebih praktis dalam bentuk persaudaraan kolektif yang di
dalamnya para pelajar (murid) berkumpul di sekeliling seorang guru (syaikh). Bersama-sama mereka terlibat
dalam ibadah, tafakur dan dzikir demi sebuah trance mistis. Beberapa persaudara sufi yang dikenal sebagai para
Darwisy Penari, berupaya mencapai trance ini melalui tarian memutar atau
gerakan memutar. Praktik-praktik demikian ini pada umumnya berkembang di Turki.
Tarekat sufi paling pertama didirikan oleh Abd. Al-Qadir al-Jilani (w. 1166),
diikuti kemudian oleh tarekat Rifa’i yang didirikan oleh Ahmad al-Rifa’i (w.
1175) dan Maulawi, yaitu para Darwisy penari yang telah disebutkan sebelumnya.
Pendiri tarekat yang disebut terakhir ini adalah seorang sastrawan Persia
terkemuka yang dikenal juga dengan nama Maulana Jalal al-Din al-Rumi (w. 1273).
Rumi meninggal dunia di Konya, Turki tempat tarekatnya yang terus berkembang
hingga saat ini. Tarekat yang terkenal lainnya adalah al-Syadzili yang didirikan oleh Ali al-Syadzili (w. 1258) dan tarekat
al-Badawi yang didirikan oleh Ahmad
al-Badawi (w. 1276). Kedua tarekat ini berkembang luas di wilayah Mesir dan
Afrika Utara. Dan hingga kini, keduanya masih menyimpan pengaruh keagamaan yang
kuat di kawasan tersebut.
IV. Analisis
A History of Islamic Philosophy
Buku
yang bertitel “A History of Islamic
Philosophy” karya Majid Fakhry ini diterbitkan oleh Columbia University
Press, New York. Lewat bahasa yang luwes namun memiliki autoritas, penulis mengantarkan
kita kesuatu pemetaan sejarah Filsafat Islam. Bermula di pesisir Samudra Meditarian
bagian Timur pada abad ke-6 Sebelum Masehi, ikhtiyar panjang manusia menemukan
makna yang disebut “filsafat” ini
berlanjut hingga abad ke-8 Masehi dan menemukan kawah candradimukanya di
wilayah-wilayah Muslim. Filsafat tumbuh dan berkembang menjadi sebuah kesadaran
dan kebudayaan yang mencengangkan.
Dalam
buku ringkas dan padat ini, Majid Fakhry mengemukakan tahap-tahap perkembangan
filsafat, pergumulannya dengan teologi dan mistisisme Islam dalam konteks
sejarah Islam. Dia juga memberikan napaktilas seputar sejumlah tokoh, gerakan,
konsep dan karangan serta berbagai konflik dan kontroversi antara
kelompok-kelompok pro dan kontra filsafat yang telah mewarnai perkembangan
Islam selama berabad-abad lamanya.
Dalam
kesederhanaannya, buku ini telah mengulas berbagai pokok masalah penting antara
lain, pengalihbahasaan teks-teks yunani kuno dan penyebarannya ke dunia Muslim,
perkembangan filsafat sistematis dalam Islam, pikiran-pikiran flamboyan dan asketik
dalam mistisisme serta pengaruhnya terhadap pertumbuhan tasawuf,
perdebatan-perdebatan gayeng diantara para teolog dan antara mereka serta para
filosof seputar masalah-masalah ketuhanan dan religio-sosio-politis, interaksi
Islam dengan filsafat dan teologi Barat serta kilasan-kilasan reflektif
mengenai aneka arus pemikiran kontemporer di dunia Muslim.
Sebagai
buku pengantar, buku ini sangat memadai. Peta kronologis, uraian terminologis,
rangkuman berbagai kontroversi dan refleksi mengenai masa depan telah
menjadikan introductory texs ini
sangat layak dikaji. Salah satu yang mengesankan disepanjang buku ini adalah
gairah sang penulis terhadap filsafat Islam yang sudah dibuktikannya baik dalam
karier maupun karya. Gairah itu tidak akan mengesankan kecanggungan dan
kegugupan, akan tetapi juga keingintahuan dan kepolosan.
Mengkritisi
karya majid Fakhry dalam salah satu babnya yang berjudul “The Rise and Development of Islamic Mysticims”, ada beberapa hal
yang perlu mendapat perhatian. Berikut ini akan penulis kemukakan sebagiannya
yang menurut hemat penulis ada sedikit perbedaan dengan referensi lainya.
Majid
Fakhry memulai tulisannya tentang perkembangan mistisisme dalam Islam pada abad
ke tujuh. Namun menurut penulis, data ini akan lebih lengkap jika dikemukakan
juga mulai awal timbulnya mistisisme dalam Islam.
Hamka,
dalam bukunya “Tasawuf Perkembangan
dan Pemurniannya“ secara kronologis memaparkan perkembangan Tasawuf adalah sebagai berikut, waktu permulaan
tumbuhnya tasawuf belum menjadi suatu”ilmu yang teratur” atau “filsafat yang
sistematik”. Demikianlah pertumbuhannya sampai kepada penghujung dari abad
kedua dalam Islam. Lepas abad kedua masuk ke dalam abad ketiga, barulah mulai
dia menjadi ilmu tersusun dengan beberapa kaifiah
dan cara-cara yang tertentu. Pada abad keempat, tasawuf sudah mulai tersebar keseluruh negeri Islam
yang lain.
Memasuki
abad kelima, dengan tokohnya al-Ghazali dapat mempertemukan kembali ilmu lahir
dengan ilmu batin, fiqhy dengan tasawuf dan juga filsafat. Sedangkan pada abad
keenam dan tujuh, terjadi perpaduan tasawuf dengan filsafat dan gerakan telah
merata pada abad ke delapan. Meskipun nama tasawuf baru dipakai setelah dua
atau tiga generasi pertama dan salah satu akarnya dapat ditemui pada praktek
praktek spiritual di masa sebelum Islam yang telah dikenal sebagai Hunafa’ dan berkat praktek itu Muhammad
sudah mengemban risalah Islamiyah menjadi wakil praktek mistisisme peninggalan
leluhurnya Nabi Ibrahim dan Ismail. Dalam salah satu penyendiriannya di dalam gua
hira’ di pinggir kota Makkah ketika berusia sekitar 40 tahun, beliau menerima
wahyu al-Qur’an yang pertama.[13]
Sekalipun
ada definisi pertama yang cocok untuk mendeskripsikan doktrin Wahdah al-Wujud, penulis lebih cenderung
untuk menghindari pemakaian istilah panteisme untuk melabeli doktrin ini,
karena definisi panteisme yang cocok itu tidak populer sedangkan panteisme
dalam pengertian yang populer tidak tepat untuk mendeskripsikan doktrin Wahdah al-Wujud. Dengan alasan ini,
pemakaian istilah panteisme untuk melabeli doktrin Wahdah al-Wujud dapat menimbulkan kesalahpahaman tentang doktrin
ini.
Mengindentikkan
Tuhan dengan alam sebagaimana diajarkan Panteisme menurut penulis adalah penghinaan atau penghujatan
terhadap Tuhan dan merupakan ajaran sesat dan syirik. Islam sebagai agama yang
menganut monoteisme keras dan tak kenal kompromi, mengajarkan bahwa Tuhan dan
alam tidak identik. Tuhan dan alam adalah dua realitas atau dua wujud yang berbeda.
Tidak ada sesuatu pun atau siapa pun yang transenden terhadap alam semesta.
Transendensi Tuhan sangat ditekankan dalam Islam. Wallahu ‘alam
DAFTAR
RUJUKAN
Al-Alawy,
Ahmad. 1993 A sufi Saint of The Twentieth
Century, Terj. Abdul Hadi, Bandung, Mizan
Al-Barsany,
Noer Iskandar, 2001. Tasawuf, Tarekat dan
para sufi, Jakarta, Raja Grafindo
Persada
Hamka,
1993. Tasawuf, perkembangan dan
pemurniannya, Jakarta, Pustaka Panji Mas
Ibn
Abbad, Muhammad, 1993. Letters on the
sufi Fath, Terj. Nasrullah, Bandung, Mizan
Zaini,
Fudoli, 2000. Sepintas Sastra Sufi,
Surabaya, Risalah Gusti
[1] Al-Busyairi,
Abd. Karim, 1912. Al-Risalah
al-Qusyoiriyah, Kairo, tp, h.188
[2] Al-Badawi,
Abd.Rahman, tt. Rabi’ah, Syahidan al-Isyq
al-Ilahi, Kairo, tp, h.151
[3] Smith,M, 1931.
Studies in Early Mysticism in the Near
and Middle East, London, Sheldon Press, h.223.
[4] Massignon, L,
1992. Essai Surles Origines du Lexique
Tchnique de La Mystique Musulmane, Paris, Paul Geuthner, 221.
[5] Al-Busyairi,
Abd. Karim, 1912. Al-Risalah
al-Qusyairiyah, Kairo,tp, h.584.
[6] Badawi, 1949. Syathahat al-Shufiyah, Kairo, tp, h.116.
[7] Zaehar, R.C.,
1960. Hindu and Mysticism, New York,
Schocken Booksm, h.112
[8] Massignon, L,
1992. La Passion d’al-Hallaj, Paris,
Paul Geuthner, 289.
[9] Al-Ghazali,
Hamid Abu, tt. Al-Munqidz min al-Dhalal,
Beirut, tp, h.39
[10] Al-Ghazali,
Abu Hamid, 1964. Misykat al-Anwar,
Kairo, tp, h.55-56
[11] Al-Ghazali,
Abu Hamid, 1959. Al-Munqidz min al-Dhalal,
Beirut, tp, h.39
[12] Ibn ‘Arabi,
Muhyi al-Din, 1949. Fushus al-Hikam,
Kairo, tp, h.38, 63
[13] Al-Alawy,
Ahmad, 1993. A Sufi Saint of the Twentieth
Century, terj. Abdul Hadi, Bandung, Mizan, h.32
Tidak ada komentar:
Posting Komentar