STUDI
PENELITIAN HADITS SHAHIH DAN HADITS DHOIF
(Suatu Kajian Keadilan dan
Kedhabitan Para Perawi Hadits Al-Jahr wa Al-Ta’dil)
Oleh :
Mashudi Zusro,S.H., M.Si
Sekolah Tinggi Agama Islam Grobogan (STAIG)
Maszoesfizoes@ymail.com
Jl. Kapten Rusdiyat 1 Kablukan Danyang Kec.
Purwodadi Kab. Grobogan
ABSTRAK
Hadits-hadits
Rasulullah saw sampai kepada umatnya melalui perawi-perawi, maka merekalah yang
merupakan pusat utama dalam rangka mengetahui keshahihan hadits atau ketidak
shahihannya, karena itu para ulama hadits memperhatikan para perawi hadits dan
mempersyaratkan beberapa syarat untuk dapat diterima riwayat mereka dengan
persyaratan yang mendalam dan bersifat tegas. Hal itu menunjukkan jauhnya
pandangan mereka dan lurusnya pemikiran mereka serta jalan yang dilalui mereka.
Dan juga mengingat bahwa penetapan hukum shahih dan dhaifnya suatu hadits itu
didasarkan pada beberapa hal antara lain adalah keadilan dan kedhabitan perawi-perawi
hadits atau karena cacat pada keadilan dan kedhabitan perawi-perawi tersebut.
Maka, para ulama hadits kemudian menyusun kitab-kitab yang memuat penjelasan
keadilan dan kedhabitan yang dinukil dari imam-imam yang adil dan terpercaya, yang
disebut dengan “al-Jarh wa al-Ta’dil”.
Key Word :
Hadits, Shahih, Dhoif, keadilan dan kedhabitan
I.
Pendahuluan
Sanad dan matan hadits merupakan
keistimewaan utama bagi umat Muhammad saw ini, bukan bagi umat terdahulu.
Karena itu, kitab-kitab terdahulu mudah berubah dan bahkan lenyap sebagaimana
lenyapnya berita yang benar dari para Nabi mereka yang kemudian diganti oleh
tipu daya kaum pembohong dan orang-orang yang tidak menghargai ayat-ayat Allah.
Nilai kegunaan sanad dan matan tampak jelas bagi seseorang untuk mengetahui
keadaan para perawi hadits dengan cara mempelajari keadaan mereka dalam
kitab-kitab biografi perawi. Demikian juga untuk mengetahui sanad dan matan
yang muttasil serta yang munqati’. Jika tidak terdapat sanad dan
matan, tidak dapat diketahui hadits yang sahih dan yang tidak sahih, mendorong
orang untuk berbuat bohong dan menciptakan hadits sesuai keinginan mereka.
II. Kajian
Umum Al-Jahr wa Al-Ta’dil
1. Definisi
a. Al-Jahr,
secara etimatologis merupakan bentuk mashdar, dari kata “jarokha – yajruhu” yang
berarti seseorang membuat luka pada tubuh orang lain yang ditandai dengan
mengalirnya darah dari luka itu. Dikatakan, “jarokha al-khaakimu wa ghoiruhu al-syaahidu” yang berarti hakim
yang lain melontarkan sesuatu yang menjatuhkan sifat adilnya, berupa kedustaan
dan sebagainya.
b. Al-Jahr,
secara terminologis berarti munculnya suatu sifat dalam diri perawi yang
menodai sifat adilnya atau mencacatkan hafalan dan kekuatan ingatannya yang
mengakibatkan gugur riwayatnya atau lemah riwayatnya atau bahkan tertolak
riwayatnya. Sedangkan “at-Tajrih” menyifati
seorang perawi dengan sifat-sifat yang membawa konsekuensi penilaian lemah atas
riwayatnya atau tidak diterima.
c. Al-‘Adl,
secara etimatologis bararti sesuatu yang terdapat dalam jiwa bahwa sesuatu itu
lurus, merupakan lawan dari lancar. Orang adil berarti orang yang diterima
kesaksiannya.
d. Al-‘Adl,
secara terminologis berarti oarng yang tidak memiliki sifat mencacatkan
keagamaanya. Sehingga khabar dan kesaksiannya bisa diterima. Dengan
demikian, ilmu al-Jarh wa al-Ta’dil berarti, “Al-‘ilmu
alladzi yubkhasu fii akhwaali ar-rowaati min khaisu qobuulun riwaayaatihim”
(Ilmu yang membahas hal-ihwal para perawi dari segi diterima atau di tolak
riwayat mereka).[1]
2. Sejarah
Jahr wa Al-Ta’dil
Ilmu
Jahr wa al-Ta’dil pada hakekatnya merupakan suatu bagian dari
ilmu rijalil hadits. Akan tetapi,
oleh karena ini dipandang bagian yang terpenting maka dipandanglah sebagai
suatu ilmu yang berdiri sendiri.
Menurut
keterangan Ibnu ‘Ady (365 H) dalam
mukaddimah kitabnya al-Kamil, para
ahli telah memperhatikan keadaan-keadaan para perawi sejak dari zaman sahabat.
Diantara sahabat yang mengatakan keadaan perawi-perawi hadits ialah: Ibnu ‘Abbas
(68 H), ‘Ubadah ibn Shamit (34 H) dan Anas ibn Malik (98 H). Sedangkan diantara
Tabi’in ialah: Asy-Sya’by (103 H), Ibnu Sirin (110 H), Sa’id Ibn Musaiyab (143
H).
Dalam
masa mereka, masih banyak para perawi yang mengedepankan kejujuran. Akan
tetapi, memasuki abad yang kedua barulah banyak orang-orang yang lemah.
Kelemahan itu ada kalanya karena meng-irsal
kan hadits, ada kalanya juga me-rafa’
kan hadits yang sebenarnya mauquf dan
ada kalanya karena beberapa kesalahan yang tidak sengaja, misalnya Abu Harun
al-‘Abdary (143 H) Sesudah terakhir masa Tabi’in, yaitu kira-kira tahun 150
hijriyah, bergeraklah dari kalangan ulama hadits mengatakan keadaan-keadaan
perawi: menta’dil dan mentajrihkan mereka. Maka diantara ulama
besar yang memberikan perhatian kepada urusan ini ialah Yahya ibn Harun (189 H)
dan Abdur Rahman ibn Mahdy (198 H). Sesudah itu, Yazid ibn Harun (189 H), Abu
Daud Ath Thayalisy (204 H), Abdur Razaq bin Human (211 H). Sesudah itu, barulah
para ahli menyusunkan kitab-kitab Jahr
dan Ta’dil. Di dalamnya diterangkan
keadaan para perawi yang boleh diterima riwayatnya dan yang ditolak.[2]
Diantara pemuka-pemuka jahr dan ta’dil ialah: Yahya ibn Ma’in (233 H).
Dan masuk dalam perangkatnya, Ahmad ibnu Hambal (241 H), Muhammad ibnu Sa’ad
(230 H), Ali Ibnu al-Madiny (234 H), Abu Bakar Ibn Abi Syaibah (235 H), Ishaq Ibn
Rahawaih (281 H). Dan terus-menerus pada tiap-tiap masa terdapat ulama-ulama
yang memperhatikan keadaan perawi, hingga sampailah kepada Ibnu Hajar
al-‘Asqalany (852 H).
3. Kegunaan
Ilmu Jahr wa al-Ta’dil
Ilmu jahr wa al-ta’dil sangat berguna untuk menentukan kualitas perawi
dan nilai haditsnya. Membahas sanad terlebih dahulu harus mempelajari
kaidah-kaidah jahr wa al-ta’dil yang telah banyak dipakai para ulama hadits, mengetahui
syarat-syarat perawi yang dapat diterima, cara menetapkan keadilan dan
kedhabitan perawi dan hal-hal lain yang berhubungan dengan pembahasan ini.
Seseorang tidak akan mendapatkan kesimpulan yang benar ketika membaca biografi
perawi dalam kitab-kitab biografi, jika mereka tidak terlebih dahulu mengetahui
kaidah-kaidah jarh wa al-ta’dil,
maksud dan derajat (tingkatan) istilah yang dipergunakan dalam ilmu ini dari
tingkatan ta’dil yang paling tinggi sampai kepada tingkatan jahr yang paling
rendah.[3]
4. Obyek
Sasaran
yang menjadi obyek sasaran dari Jahr wa al-Ta’dil adalah:
a. Bersandar
kepada cara-cara periwayatan, sahya periwayatan, keadaan perawi dan kadar
kepercayaannya mereka.
b. Berpautan
dengan hadist itu sendiri, apakah maknanya sahih atau tidak dan apa jalan-jalan
kesahihannya dan ketiadaan kesahihannya.[4]
5. Peringkat
dan Lafadz yang Digunakan
Perawi yang memindahkan hadits
tidak semuanya berada pada tingkat yang sama dalam hal hafalannya, ilmu dan
kedhabitan. Ada hafidz labi mutqin yang
tidak diragukan lagi kehandalannya. Ada yang lebih rendah kedhabitan dan
hafalannya. Ada juga yang sedikit melakukan kesalahan atau sering lupa dan
salah, meski memiliki sifat adil dan jujur.[5]
Abu Muhammad Abdur al-Rahman bin
Abu Hatim Ar-Razi dalam mukadimah kitab al-Jahr
wa al-Ta’dil telah membagi lafadz jahr dan Ta’dil menjadi empat tingkatan
dan menjelaskan nilainya. Az-Zahabi dan al-Iraqi menambah satu tingkatan ta’dil
yang lebih tingi daripada tingkatan pertama menurut ar-Rozi (Ibn Abi Hatim),
yaitu penilaian siqah yang
diulang-ulang, seperti sighatun-sighatun
atau sighatun hujjatun. Pada akhirnya
al-Hafiz Ibnu Hajar al-Asqalani menambah satu tingkatan yang lebih tinggi dari
pada tingkatan tambahan az-Zahabi dan al-Iraqi, yaitu sighat tafdil seperti ausaqun-nasi
atau asbatun-nasi, sehingga tingkatan
ta’dil menjadi enam.[6]
Demikian
juga dengan ulama lain menambah dua tingkatan jahr selain beberapa tingkatan
yang telah dikemukakan oleh Ibnu Hatim, sehingga lafadz dan tingkatan jahr
menjadi enam juga. Untuk lebih jelas, penulis cantumkan peringkat dan lafadz jahr wa al-ta’dil sebagai berikut
:
1. Tingkat-Tingkat
Ta’dil dan Lafadz-Lafadznya
a. Sesuatu
yang menunjukkan kelebihan dalam keteguhan atau dengan lafadz yang mengikuti
wazan “af’ala” dan inilah yang paling
tinggi seperti ungkapan “fulanun ilaihi
al-muntaha fi at-tatsabbuti” (si fulan adalah orang yang paling top
keteguhan hati dan lidahnya) atau dengan ungkapan “fulanun atsabata an-nasu” (si fulan adalah orang yang paling mantap
hafalan dan keadilannya)
b. Suatu
yang diperkuat dengan sifat tertentu atau dua sifat dari sifat-sifat tsiqah
seperti “Tsiqatun-tsiqatun” (orang yang tsiqah lagi tsiqah) atau ungkapan “tsiqatun-tsabitun” (orang yang tsiqah lagi teguh).
c. Sesuatu
yang dinyatakan dengan satu sifat yang menunjukkan tsiqah tetapi ada penguatnya. Seperti “Tsiqatun” (orang yang tsiqah) atau dengan kata “Khujjatun” (orang yang ahli dengan patah
lidahnya).
d. Sesuatu
yang menunjukkan keadilan tetapi tanpa mengandung makna kuat ingatan (dhabit), seperti “Shaduqun” (orang yang sangat jujur) atau dengan “makhalluhu ash-shadqun” (orang yang berstatus
jujur) atau dengan ungkapan “la ba’sa bih”
(orang yang tidak cacat). Menurut Ibnu Mu’in, maka menurut beliau kata-kata itu
adalah bernilai tsiqah.
e. Sesuatu
yang tidak ada petunjuk atas ke-tshiqatannya, seperti “fulanun syaikhun” (si fulan adalah seorang syaikh) atau dengan
ungkapan “ruwiyu ‘anhu ‘an-nas”
(orang yang meriwayatkan dari padanya).
f. Sesuatu
yang mendekati jahr (cacat), seperti
“fulanun shalihu al-hadits” (si fulan
orang yang shaleh haditsnya) atau dengan “yaktabu
haditsuhu” (orang yang ditulis haditsnya).
Hukum
Tingkatannya
v Mengenai
tiga tingkatan yang pertama, maka dapat dijadikan hujjah orang-orang yang memiliki
sifat tersebut, sekalipun sebagian mereka lebih kuat dari sebagian lainnya.
v Adapun
tingkatan yang keempat dan kelima, tidak dapat dijadikan hujjah bagi yang mempunyai
sifat tersebut, akan tetapi haditsnya tetap ditulis dan diberitakan, sekalipun
ia berada pada tingkatan kelima, bukan masuk pada tingkatan keempat.
v Adapun
yang berada pada tingkatan keenam, tidak dapat dijadikan hujjah, akan tetapi haditsnya
tetap ditulis sekedar pelajaran saja. Bukan untuk patokan, hal itu dikarenakan Kondisi
mereka tidak dhabit.[7]
2. Tingkatan-Tingkatan
Jahr dan Lafadz-lafadz-nya
a. Yang
menunjukkan kelunakan (paling mudahnya tanda jahr), seperti “fulanun
layyinu al-haditsi” (si fulan orang yang lunak haditsnya) atau dengan
ungkapan “fihi maqalun” (dia adalah
orang yang diperbincangkan).
b. yang
secara jelas tidak dijadikan hujjah atau yang menyerupainya seperti “fulanun la yuhtajju bih” (si fulan tidak
bisa dijadikan dasar) atau “dhaifun”
(orang yang lemah) atau “lahu manakir”(dia
adalah yang haditsnya mungkar).
c. Yang
jelas tidak boleh ditulis haditsnya atau yang seperti “fulanun la yuktabu haditsuh” (haditsnya si fulan tidak boleh
ditulis) atau “la tahillu ar-riwayatu’anh”
(tidak halal diriwayatkan hadits dari dia) atau “dhaifun jiddan” (ia amat dhaif)
atau “wahin bi marratin” (orang yang
berkali-kali menduga-duga).
d. Yang
tertuduh dusta atau yang sepertinya, seperti “fulanun muhtammum bi kadzib” (si fulan adalah orang yang tertuduh
dusta) atau “muhtammun bi wadli”
(orang yang tertuduh palsu) atau “yasriqu
al-haditsi” (orang yang mencuri hadits) atau “saqithun” (orang yang haditsnya ditinggalkan), atau “laisa bit siqatin” (tidak tsiqat).
e. Yang
menunjukkan sifat dusta dan yang sepertinya, contoh “kadza dzab” (pendusta) atau “dajjal”
(dajal) atau “wadla” (pemalsu) atau “yukadzzibu” (berdusta) atau “yadla’u” (orang yang membuat hadits
dhaif).
f. Yang
menunjukkan tsiqat dusta (yang paling jelek) seperti “fulanun akdzabu an-nasu” (si fulan adalah
orang yang paling dusta) atau “huwa ruknu
al-kadzibi” (orang yang cenderung dusta).
Hukum
tingkatan-tingkatannya
v Mengenai
orang yang berstatus pada dua tingkatan utama, maka haditsnya tidak dapat
dijadikan hujjah, akan tetapi haditsnya dapat ditulis hanya untuk pelajaran
saja sekalipun ia berada pada tingkatan kedua bukan pada tingkatan yang
pertama.
v Adapun
orang yang berada pada tingkatan yang keempat terakhir, maka haditsnya tidak
dapat dijadikan hujjah dan tidak boleh ditulis dan tidak boleh dianggap adanya.[8]
6. Metodologi
Yang Dianut Ulama Ahli Kritik Hadist
Ulama, khususnya ulama awal, mereka
berhati-hati sekali dalam meriwayatkan atau menyalin hadits. Akan tetapi
sebagaimana disadari semua ulama, bahkan ulama yang paling tulus pun dapat
berbuat salah pada suatu waktu karena sunah Nabi merupakan contoh abadi bagi
kaum muslim, umat pun tidak boleh membiarkannya dicemari atau dikurangi dengan
cara apapun. Maka untuk mengecek suatu kesalahan penting, ulama menggunakan
metodologi kritik hadits.
Ada beberapa metode yang digunakan
dalam kritik hadits, akan tetapi semuanya nyaris dapat diletakkan di bawah
judul “perbandingan” atau “penyelidikan” dan “perujukan silang”. Dengan melihat
bagaimana ulama mengumpulkan seluruh bahan yang berkaitan atau katakanlah semua
hadits yang bersangkutan, membandingkannya satu sama lain dengan penuh kehati-hatian.
Ayyub al-Sakhtiyani, seorang tabi’in (68-181 H) mengatakan, “bila ingin
mengetahui kesalahan guru anda, anda patut bermajelis dengan guru lain juga”.
Juga Ibnu al-Mubarak (118-181 H) mengatakan, “Untuk mendapatkan pernyataan
otentik, orang perlu membandingkan kata-kata antar ulama”.
Metode perbandingan dapat dipraktekan
dalam banyak cara, yakni:[9]
a. Perbandingan
hadits-hadits dari berbagai seorang ulama.
b. Perbandingan
pernyataan-pernyataan seorang ulama.
c. Perbandingan
pengucapan lisan dengan dokumen tertulis.
d. Perbandingan
hadits dengan teks al-Qur’an yang berkaitan.
III. Penelitian Sanad dan Matan Hadits
1. Definisi
a.
Pengertian Sanad (Isnad)
Menurut
bahasa sanad adalah sesuatu yang dipegangi (al-Mu’tamad).
Disebut demikian karena matan bersandar dan berpegang kepada sanad. Sedangkan
menurut istilah sanad adalah rangkian para perawi yang menghubungkan pada
matan.
b.
Pengertian Matan
Matan
menurut bahasa adalah masaluba wartafa’a
minal ardi (bumi yang keras dan tinggi). Sedangkan menurut istilah matan
adalah perkataan yang menjadi ujung sanad.[10]
2 Faktor-Faktor
Pentingnya Penelitian Hadits
Menurut
petunjuk al-Qur’an, hadits Nabi SAW adalah sumber ajaran Islam disamping
al-Qur’an. Itu berarti untuk mengetahui ajaran Islam yang benar disamping
diperlukan petunjuk al-Qur’an juga diperlukan hadits Nabi SAW.[11]
Terlepas
tepat atau tidak tepatnya pernyataan bahwa hadits Nabi SAW adalah wahyu ghairu al-matlu, maka yang pasti bahwa
Allah telah memberi kedudukan kepada Nabi Muhammad SAW sebagai Rasul dengan
fungsi dan atau tugas antara lain :
a. Menjelaskan
al-Qur’an
b. Dipatuhi
oleh orang-orang yang beriman
c. Menjadi
uswah hasanah dan rahmat bagi sekalian alam
Berangkat
dari pemahaman tersebut, maka untuk mengetahui hal-hal yang harus diteladani
berasal dari diri Nabi SAW diperlukan penelitian. Dengan demikian, akan dapat
diketahui hadits Nabi yang berkaitan dengan ajaran dasar Islam, praktek Nabi
dalam mengaplikasikan petunjuk al-Qur’an sesuai dengan tingkat budaya yang
sedang dihadapi Nabi waktu itu. Selanjutnya, menurut sejarah tidaklah seluruh
hadits telah ditulis pada zaman Nabi SAW kepada penguasa non muslim dalam
rangka dakwah maupun yang tidak resmi berupa catatan-catatan yang dibuat oleh
para sahabat tertentu atas inisiatif mereka sendiri. Dalam hal itu, hadits Nabi
telah mengalami pemalsuan-pemalsuan. Dalam sejarah, pemalsuan hadits mulai
berkembang pada zaman khalifah Ali bin Abi Thalib (w. 40-661 M).[12]
Hal-hal
yang berkenaan dengan hadits tersebut merupakan sebagian dari faktor-faktor
yang melatarbelakangi pentingnya penelitian hadits. Faktor-faktor penting
lainnya adalah proses penghimpunan hadits memakan waktu cukup lama sesudah Nabi
SAW wafat, jumlah kitab hadits sangat banyak dengan metode penyusunan yang
sangat beragam dan telah terjadi periwayatan hadits secara makna. Akibat lebih
lanjut dan faktor-faktor tersebut adalah keharusan adanya penelitiaan sanad dan
matan, maka akan dapat diketahui apakah sesuatu yang dinyatakan sebagai hadits
Nabi SAW itu memang benar-benar dapat dipertanggungjawabkan berasal dari Nabi SAW.[13]
Dari
uraian singkat di atas dapat diambil suatu kesimpulan bahwa faktor-faktor
penting adanya peneltian hadits tersebut didasarkan beberapa faktor sebagai
berikut :
a. Hadits
Nabi SAW sebagai salah satu sumber ajaran Islam
b. Tidak
seluruh hadits tertulis pada zaman Nabi SAW
c. Telah
timbul berbagai pemalsuan hadits
d. Proses
penghimpunan hadits yang memakan waktu lama
e. Jumlah
kitab hadits yang banyak dengan metode penyusunan yang beragam
3.
Tujuan
Berkaitan
dengan pembahasan di atas, penulis merasa perlu memberikan kejelasan tentang
tujuan ulama mengadakan penelitian sanad dan matan hadits, sebagai berikut:
a. Untuk
memperoleh pengetahuan apakah sesuatu yang disebut hadits Nabi itu benar-benar
sahih berasal dari Nabi atau tidak
b. Untuk
memisahkan hadits-hadits yang asli dari yang palsu.
4. Obyek
Sasaran
Sebagaimana telah dikemukakan dalam
pembahasan di atas, bahwa bagian-bagian hadits yang menjadi obyek penelitian ada
dua macam, yakni rangkaian para periwayat yang menyampaikan riwayat hadits yang
dikenal dengan istilah sanad dan materi atau matan hadits itu sendiri. Ada
beberapa hal penting berkenaan dengan sanad dan matan hadits tersebut yang
perlu diketahui dalam kegiatan penelitian hadits. beberapa hal penting tersebut
adalah :
a. Sanad
Hadits
Ulama hadits menilai sangat penting
kedudukan sanad dalam riwayat hadist. Karena demikian pentingnya kedudukan
sanad itu, maka suatu berita yang dinyatakan sebagai hadits Nabi SAW oleh
seseorang, tapi berita itu tidak memiliki sanad sama sekali, maka berita
tersebut oleh ulama hadits tidak dapat disebut sebagai hadits. Sekiranya tetap
juga dinyatakan sebagai hadits oleh orang-orang tertentu, misalnya oleh ulama
yang bukan ahli hadits, maka berita tersebut oleh ulama hadits dinyatakan
sebagai hadits palsu atau hadist maudu’.
[14]
Dalam hubungannya dengan pentingnya
kedudukan sanad tersebut, ‘Abdullah bin al-Mubarak (w. 110/728 M) menyatakan
bahwa “sanad hadits merupakan bagian dari agama. Sekiranya sanad hadits tidak
ada, niscaya siapa saja akan bebas menyatakan apa yang dihehendakinya”.
Pernyataan ini memberikan peringatan bahwa sanad hadits merupakan bagian
penting dari riwayat hadits. Keberadaan suatu hadits yang tercantum dari
berbagai kitab hadits ditentukan juga oleh keberadaan dan kualitas sanad-nya.[15]
Dan untuk diketahui bahwa ada dua
bagian-bagian sanad yang perlu diteliti, yakni:
1. Nama-nama
periwayat yang terlibat dalam periwayatan hadist yang bersangkutan;
2. lambang-lambang
periwayatan hadist yang bersangkutan, misalnya sami’tu akhbarabi, ‘an, dan anna.
b. Matan
Hadist
Sekiranya setiap matan hadits telah
diyakini berasal dari Nabi SAW, maka penelitian terhadap matan demikian juga
terhadap sanad hadist tidak diperlukan. Kenyataannya seluruh matan hadits yang
sampai ketangan kita berkaitan erat dengan sanad-nya, sedangkan keadaan sanad
itu sendiri masih diperlukan penelitian secara cermat juga. Perlunya penelitian
matan hadits tidak hanya karena keadaan matan tidak terlepas dari pengaruh keadaan
sanad saja, tetapi juga karena dalam periwayatan hadits dikenal adanya
periwayatan secara makna (riwayah bil-ma’na).
Dengan adanya periwayatan secara makna, maka untuk penelitian matan, misalnya
berkenaan dengan berita peperangan, sasaran penelitian pada umumnya tertuju
kepada kata perkata dalam matan itu. Lain halnya bila yang diteliti adalah
matan yang mengandung ajaran Nabi SAW tentang suatu ibadah tertentu. Misalnya
bacaan shalat, maka masalah yang diteliti meliputi keadaan kata demi katanya.
Adanya periwayatan hadits secara makna telah menyebabkan penelitian matan
dengan pendekatan semantik tidak mudah dilakukan. Walaupun pendekatan semantik
tidak mudah dilakukan, tetapi hal itu tidaklah berarti bahwa penelitian dengan
pendekatan bahasa tidak perlu dilakukan. Penelitian dengan pendekatan bahasa
perlu dilakukan karena bahasa Arab yang digunakan selalu dalam susunan yang baik.
Untuk meneliti matan hadits dari
segi kandungannya, acapkali juga diperlukan dengan pendekatan rasio, sejarah
dan prinsip-prinsip pokok ajaran Islam. Dengan demikian, kesahihan matan hadits
yang dihasilkan tidak saja dilihat dari sisi bahasa saja.
5. Kaidah
dan Langkah-langkah Kegiatan kritik Sanad dan Matan Hadist
Untuk lebih mudah dipahami dalam
hal langkah-langkah kegiatan kritik sanad dan matam hadits, perlu penulis jelasan
sebagi berikut :
a. Unsur-unsur
Kaidah Mayor Kririk sanad dan matan
Kaidah kritik sanad dan matan hadits
dapat diketahui dari pengertian istilah hadits sahih. Menurut ulama hadits,
misalnya Ibnu Shalah (w. 643 H) hadits sahih adalah:“hadits yang bersambung sandnya (sampai kepada Nabi), diriwayatkan oleh
(periwayatan) yang adil dan dlabith sampai akhir sanad, (di dalam hadist itu)
tidak terdapat kejanggalan (syudzuudz dan cacat (illat)”.
Dari pengertian istilah tersebut,
dapat diuraikan unsur-unsur hadits sahih tersebut menjadi :
1. sanad
bersambung;
2. periwayat
bersifat adil;
3. periwayat
bersifat dhabith;
4. tidak
terdapat kejanggalan; dan
5. dalam
hadits itu tidak terdapat cacat (‘illat).
Ketiga unsur yang disebut pertama
berkenan dengan sanad, sedangkan dua unsur berikutnya berkenan dengan sanad dan
matan. Dengan demikian, unsur-unsur yang termasuk persyaratkan umum kaidah
kesahihan hadits ada tujuh macam, yakni lima macam berkaitan dengan sanad dan
dua macam berkaitan denga matan. Persyaratkan umum itu dapat diberi istilah
sebagai kaidah mayor, sebab masing-masing unsurnya memiliki syarat-syarat
khusus dan yang berkaitan dengan syarat-syarat khusus itu dapat diberi istilah
sebagai kaidah minor.
b. Unsur-unsur
Kaidah Minor Kritik Sanad
Apabila masing-masing unsur kaidah
mayor bagi kesahihan sanad disertakan unsur-unsur kaidah minornya, maka dapat
dikemukan butir-butir sebagai berikut:
1. Unsur-unsur
kaidah mayor pertama adalah sanad bersambung, mengandung unsur-unsur kaidah
minor:
a. Muttashil
(bersambung);
b. Marfu’ (bersandar
kepada Nabi saw);
c. Mahfudz (terhindar
dari syudzudz);
d. (bukan mu’all) bercacat.
2. Unsur
kaidah mayor yang kedua adalah periwayat bersifat adil, mengandung unsur-unsur kaidah minor :
a. Beragama Islam;
b. Mukkalaf
(baliq dan berakal sehat);
c. Melaksanakan ketentuan agama Islam;
d. Memelihara muru’ah (adab kesopanan pribadi atau
kebiasaan-kebiasaan).
3. Unsur-unsur
kaidah mayor yang ketiga adalah periwayat bersifat dhabith atau adhbath, mengandung unsur-unsur kaidah minor:
a. Hafal dengan baik hadist yang diriwayatkan;
b. Mampu dengan baik
menyampaikan riwayat hadist yang dihafalnya kepada orang lain;
c. Terhindar dari syadzudz;
d. Terhindar dari ‘illat.
c.
Unsur-unsur Kaidah Minor Kritik Matan
Kaidah
mayor untuk matan sebagaimana telah disebutkan ada dua macam, yakni yang “terhindar
dari syadzudz” dan terhindar dari “illat”.
Adapun tolak ukur penelitian matan (ma’ayir
naqd al-matn) yang telah dikemukan oleh ulama tidakalah seragam. Al-Khatib
al-Baqdadi (w 463 H) menjelaskan bahwa matan hadits yang maqbul (diterima sebagai hujjah) haruslah :
1. tidak
bertentangan dengan akal yang sehat;
2. tidak
bertentangan dengan hukum al-Qur’an yang telah muhjam;
3. tidak
bertentangan dengan hadist mutawatir:
4. tidak
menjadi pertentangan dengan amalan yang telah menjadi kesepakatan ulama masa
lalu (ulama salaf);
5. tidak
bertentangan dengan dalil yang sudah pasti; dan
IV. Kesimpulan
Dari
penjelaskan di atas dapatlah diambil kesimpulan bahwa Ilmu Al-Jahr wa al-Ta’dil adalah merupakan alat atau metode yang
dijadikan untuk melihat dan meneliti keadaan para perawi di dalam meriwayatkan
hadits. Oleh karena banyak ulama-ulama zaman dulu tidak terlepas dari kehilafan
dan berita-berita yang mereka sampaikan tidak dapat dipertanggungjawabkan
kebenarannya, hal tersebut disebabkan rawi-rawinya tidak diketahui
identitasnya, maka perlu adanya ilmu Jahr wa al-Ta’dil yang menjadi patokan
dasar dalam mempelajari dan mengetahui kedhabithan dan keadilan para perawi
dalam meriwayatkan hadist.
Pada
kenyataannya tidaklah setiap sanad dan matan yang menyertai sesuatu yang ditanyakan sebagai hadits terhindar dari keadaan yang
meragukan. Hal tersebut perlu dimaklumi sebab orang-orang yang terlibat dalam
periwayatan hadits selain banyak jumlahnya juga sangat bervariasi kualitas
pribadi dan kapasitas intelektualnya. Untuk itu, para ulama dibutuhkan
kecermatan dalam hal meneliti sanad dan matan hadits. Mana yang sahih dan yang
dho’if juga mana hadits yang diterima dan mana yang ditolak.
Demikian
makalah yang penulis buat, semoga berguna bagi penulis khususnya dan kepada
pembaca umumnya. Aamin Yaa Robbal ‘alamin....
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman,
Asmuni, tt. Pengembangan Pemikiran
Terhadap Hadits, Yogyakarta: LIPPI,
Universitas Muhammadiyah
Al-Khatib,
Muhammad’ajjaj, 1989. Usul al-Hadits,
Libanon, Dar al-Fikr Beirut.
Ash-Shiddieqy,
Hasbi, 1954. Sejarah dan Pengantar Ilmu
Hadits, Jakarta, Bulan Bintang.
At-Thahan,
Mahmud, 1995. Metode Takhrij dan Penelitian Sanad, Terj.
Ridwan Nasir, Surabaya: PT Bina Ilmu.
--------------------------,
1997. Ulumul Hadits, Terj. Jainul
Muttaqin, Yogyakarta, Titian Illahi Press.
Azami,
Muhammad Musthafa, 1993. Memahami Ilmu
Hadits, Terj. Meth Kierah,
Jakarta, Lentera.
Itr,
Nuruddin, 1994. Ulumul Al-Hadist, Terj. Mujiyo, Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.
Ismail,
Syuhudi, 1995. Hadist Nabi Menurut
Pembela Pengingkar dan pemalsuan, Jakarta, Gema Insani Press.
-------------------,
1995. Kaidah Kesahihanya Sanad Hadist,
Jakarta, Bulan Bintang.
-------------------,
1992. Metodologi Penelitian Hadist, Jakarta, PT Bulan Bintang.
[1] Al-Khatib,
Muhamad ‘Ajjaj, 1982. Ushul al-Hadits,
Lebanon, Dar al-Fikr Beirut, h.233
[2] Ash-Shiddieqy,
Hasbi, 1954. Sejarah dan Pengantar Ilmu
Hadits, Jakarta, Bulan Bintang, h.155
[3] At-Tahhan,
Mahmud, 1995. Metode Tahrij dan
Penelitian Sanad Hadits, Surabaya, Bina Ilmu, h.100
[4] Ash-Shiddieqy,
Hasbi, Pengantar Ilmu Hadits, h.35
[5] Al-Khathib, Ushul al-Hadits, h.264
[6] At-Tahhan, Metode Tahrij, h.103
[7] At-Tahhan,
Mahmud, 1995. Metode Tahrij dan
Penelitian Sanad Hadits, Surabaya, Bina Ilmu, h.170
[8] At-Tahhan,
1995. Metode Tahrij, h. 122
[9] Azami,
Muhammad Mushafa, 1993. Memahami Ilmu
Hadits, terj. Meth Kieraha, Jakarta, Lentera, h.75
[10] At-Tahhan,
Mahmud, 1995. Metode Tahrij dan
Penelitian Sanad Hadits, terj. Ridwan Nasir, Surabaya, Bina Ilmu, h.98
[11] Abdurrahman,
Asmuni, tt. Pengembangan Pemikiran
Terhadap Hadits, Yogyakarta, LIPPI, Universitas Muhammadiyah, h.27
[12] Ismail,
Syuhudi, 1995. Kaidah-Kaidah Sanad Hadits,
Jakarta, Bulan Bintangg, h.84
[13] Ismail,
Syuhudi, 1995. Hadits Nabi Menurut
Pembela Pengingkar dan Pemalsuannya, Jakarta, Gema Insani Press, h.75
[14] Hadits Maudu’
adalah hadits yang diada-adakan dan dibuat-buat. Lihat Nuruddin, 1994. Ulumul al-Hadits, terj. Mujiyo, Bandung,
Remaja Rosdakarya, h.28
[15] At-Tahhan,
Mahmud, 1995. Metode Tahrij dan
Penelitian Sanad Hadits, terj. Ridawan Nasir, Surabaya, Bina Ilmu, h.98
[16] Syuhudi,
Ismail, 1995. Hadits Nabi Menurut Pembela
Pengingkar dan Pemalsuannya, Jakarta, Gema Inssani Press, h.76-78
Tidak ada komentar:
Posting Komentar