Rabu, 07 Desember 2016



STUDI PENELITIAN HADITS SHAHIH DAN HADITS DHOIF
(Suatu Kajian Keadilan dan Kedhabitan Para Perawi Hadits Al-Jahr wa Al-Ta’dil)

Oleh :
Mashudi Zusro,S.H., M.Si
Sekolah Tinggi Agama Islam Grobogan (STAIG)
Maszoesfizoes@ymail.com
Jl. Kapten Rusdiyat 1 Kablukan Danyang Kec. Purwodadi Kab. Grobogan

ABSTRAK
Hadits-hadits Rasulullah saw sampai kepada umatnya melalui perawi-perawi, maka merekalah yang merupakan pusat utama dalam rangka mengetahui keshahihan hadits atau ketidak shahihannya, karena itu para ulama hadits memperhatikan para perawi hadits dan mempersyaratkan beberapa syarat untuk dapat diterima riwayat mereka dengan persyaratan yang mendalam dan bersifat tegas. Hal itu menunjukkan jauhnya pandangan mereka dan lurusnya pemikiran mereka serta jalan yang dilalui mereka. Dan juga mengingat bahwa penetapan hukum shahih dan dhaifnya suatu hadits itu didasarkan pada beberapa hal antara lain adalah keadilan dan kedhabitan perawi-perawi hadits atau karena cacat pada keadilan dan kedhabitan perawi-perawi tersebut. Maka, para ulama hadits kemudian menyusun kitab-kitab yang memuat penjelasan keadilan dan kedhabitan yang dinukil dari imam-imam yang adil dan terpercaya, yang disebut dengan “al-Jarh wa al-Ta’dil”.

Key Word : Hadits, Shahih, Dhoif, keadilan dan kedhabitan

I.              Pendahuluan
Sanad dan matan hadits merupakan keistimewaan utama bagi umat Muhammad saw ini, bukan bagi umat terdahulu. Karena itu, kitab-kitab terdahulu mudah berubah dan bahkan lenyap sebagaimana lenyapnya berita yang benar dari para Nabi mereka yang kemudian diganti oleh tipu daya kaum pembohong dan orang-orang yang tidak menghargai ayat-ayat Allah. Nilai kegunaan sanad dan matan tampak jelas bagi seseorang untuk mengetahui keadaan para perawi hadits dengan cara mempelajari keadaan mereka dalam kitab-kitab biografi perawi. Demikian juga untuk mengetahui sanad dan matan yang muttasil serta yang munqati’. Jika tidak terdapat sanad dan matan, tidak dapat diketahui hadits yang sahih dan yang tidak sahih, mendorong orang untuk berbuat bohong dan menciptakan hadits sesuai keinginan mereka.

II.      Kajian Umum Al-Jahr wa Al-Ta’dil
1.    Definisi
a.    Al-Jahr, secara etimatologis merupakan bentuk mashdar, dari kata “jarokhayajruhu” yang berarti seseorang membuat luka pada tubuh orang lain yang ditandai dengan mengalirnya darah dari luka itu. Dikatakan, “jarokha al-khaakimu wa ghoiruhu al-syaahidu” yang berarti hakim yang lain melontarkan sesuatu yang menjatuhkan sifat adilnya, berupa kedustaan dan sebagainya.
b.    Al-Jahr, secara terminologis berarti munculnya suatu sifat dalam diri perawi yang menodai sifat adilnya atau mencacatkan hafalan dan kekuatan ingatannya yang mengakibatkan gugur riwayatnya atau lemah riwayatnya atau bahkan tertolak riwayatnya. Sedangkan “at-Tajrih” menyifati seorang perawi dengan sifat-sifat yang membawa konsekuensi penilaian lemah atas riwayatnya atau tidak diterima.
c.    Al-‘Adl, secara etimatologis bararti sesuatu yang terdapat dalam jiwa bahwa sesuatu itu lurus, merupakan lawan dari lancar. Orang adil berarti orang yang diterima kesaksiannya.
d.   Al-‘Adl, secara terminologis berarti oarng yang tidak memiliki sifat mencacatkan keagamaanya. Sehingga khabar dan kesaksiannya bisa diterima. Dengan demikian,  ilmu al-Jarh wa al-Ta’dil  berarti, “Al-‘ilmu alladzi yubkhasu fii akhwaali ar-rowaati min khaisu qobuulun riwaayaatihim” (Ilmu yang membahas hal-ihwal para perawi dari segi diterima atau di tolak riwayat mereka).[1]
2.    Sejarah Jahr wa Al-Ta’dil
Ilmu Jahr wa al-Ta’dil  pada hakekatnya merupakan suatu bagian dari ilmu rijalil hadits. Akan tetapi, oleh karena ini dipandang bagian yang terpenting maka dipandanglah sebagai suatu ilmu yang berdiri sendiri.
Menurut keterangan Ibnu ‘Ady (365 H) dalam mukaddimah kitabnya al-Kamil, para ahli telah memperhatikan keadaan-keadaan para perawi sejak dari zaman sahabat. Diantara sahabat yang mengatakan keadaan perawi-perawi hadits ialah: Ibnu ‘Abbas (68 H), ‘Ubadah ibn Shamit (34 H) dan Anas ibn Malik (98 H). Sedangkan diantara Tabi’in ialah: Asy-Sya’by (103 H), Ibnu Sirin (110 H), Sa’id Ibn Musaiyab (143 H).
Dalam masa mereka, masih banyak para perawi yang mengedepankan kejujuran. Akan tetapi, memasuki abad yang kedua barulah banyak orang-orang yang lemah. Kelemahan itu ada kalanya karena meng-irsal kan hadits, ada kalanya juga me-rafa’ kan hadits yang sebenarnya mauquf dan ada kalanya karena beberapa kesalahan yang tidak sengaja, misalnya Abu Harun al-‘Abdary (143 H) Sesudah terakhir masa Tabi’in, yaitu kira-kira tahun 150 hijriyah, bergeraklah dari kalangan ulama hadits mengatakan keadaan-keadaan perawi: menta’dil dan mentajrihkan mereka. Maka diantara ulama besar yang memberikan perhatian kepada urusan ini ialah Yahya ibn Harun (189 H) dan Abdur Rahman ibn Mahdy (198 H). Sesudah itu, Yazid ibn Harun (189 H), Abu Daud Ath Thayalisy (204 H), Abdur Razaq bin Human (211 H). Sesudah itu, barulah para ahli menyusunkan kitab-kitab Jahr dan Ta’dil. Di dalamnya diterangkan keadaan para perawi yang boleh diterima riwayatnya dan yang ditolak.[2] Diantara pemuka-pemuka jahr dan ta’dil ialah: Yahya ibn Ma’in (233 H). Dan masuk dalam perangkatnya, Ahmad ibnu Hambal (241 H), Muhammad ibnu Sa’ad (230 H), Ali Ibnu al-Madiny (234 H), Abu Bakar Ibn Abi Syaibah (235 H), Ishaq Ibn Rahawaih (281 H). Dan terus-menerus pada tiap-tiap masa terdapat ulama-ulama yang memperhatikan keadaan perawi, hingga sampailah kepada Ibnu Hajar al-‘Asqalany (852 H).
3.    Kegunaan Ilmu Jahr wa al-Ta’dil
Ilmu jahr wa al-ta’dil sangat berguna untuk menentukan kualitas perawi dan nilai haditsnya. Membahas sanad terlebih dahulu harus mempelajari kaidah-kaidah  jahr wa al-ta’dil yang telah banyak dipakai para ulama hadits, mengetahui syarat-syarat perawi yang dapat diterima, cara menetapkan keadilan dan kedhabitan perawi dan hal-hal lain yang berhubungan dengan pembahasan ini. Seseorang tidak akan mendapatkan kesimpulan yang benar ketika membaca biografi perawi dalam kitab-kitab biografi, jika mereka tidak terlebih dahulu mengetahui kaidah-kaidah jarh wa al-ta’dil, maksud dan derajat (tingkatan) istilah yang dipergunakan dalam ilmu ini dari tingkatan ta’dil yang paling tinggi sampai kepada tingkatan jahr yang paling rendah.[3]
4.    Obyek Sasaran
yang menjadi obyek sasaran dari Jahr wa al-Ta’dil adalah:
a.    Bersandar kepada cara-cara periwayatan, sahya periwayatan, keadaan perawi dan kadar kepercayaannya mereka.
b.    Berpautan dengan hadist itu sendiri, apakah maknanya sahih atau tidak dan apa jalan-jalan kesahihannya dan ketiadaan kesahihannya.[4]
5.    Peringkat dan Lafadz yang Digunakan
Perawi yang memindahkan hadits tidak semuanya berada pada tingkat yang sama dalam hal hafalannya, ilmu dan kedhabitan. Ada hafidz labi mutqin yang tidak diragukan lagi kehandalannya. Ada yang lebih rendah kedhabitan dan hafalannya. Ada juga yang sedikit melakukan kesalahan atau sering lupa dan salah, meski memiliki sifat adil dan jujur.[5]
Abu Muhammad Abdur al-Rahman bin Abu Hatim Ar-Razi dalam mukadimah kitab al-Jahr wa al-Ta’dil telah membagi lafadz jahr dan Ta’dil menjadi empat tingkatan dan menjelaskan nilainya. Az-Zahabi dan al-Iraqi menambah satu tingkatan ta’dil yang lebih tingi daripada tingkatan pertama menurut ar-Rozi (Ibn Abi Hatim), yaitu penilaian siqah yang diulang-ulang, seperti sighatun-sighatun atau sighatun hujjatun. Pada akhirnya al-Hafiz Ibnu Hajar al-Asqalani menambah satu tingkatan yang lebih tinggi dari pada tingkatan tambahan az-Zahabi dan al-Iraqi, yaitu sighat tafdil seperti ausaqun-nasi atau asbatun-nasi, sehingga tingkatan ta’dil menjadi enam.[6] Demikian juga dengan ulama lain menambah dua tingkatan jahr selain beberapa tingkatan yang telah dikemukakan oleh Ibnu Hatim, sehingga lafadz dan tingkatan jahr menjadi enam juga. Untuk lebih jelas, penulis cantumkan peringkat dan lafadz jahr wa al-ta’dil sebagai berikut :
1.    Tingkat-Tingkat Ta’dil dan Lafadz-Lafadznya
a.    Sesuatu yang menunjukkan kelebihan dalam keteguhan atau dengan lafadz yang mengikuti wazan “af’ala” dan inilah yang paling tinggi seperti ungkapan “fulanun ilaihi al-muntaha fi at-tatsabbuti” (si fulan adalah orang yang paling top keteguhan hati dan lidahnya) atau dengan ungkapan “fulanun atsabata an-nasu” (si fulan adalah orang yang paling mantap hafalan dan keadilannya)
b.    Suatu yang diperkuat dengan sifat tertentu atau dua sifat dari sifat-sifat  tsiqah  seperti “Tsiqatun-tsiqatun” (orang yang tsiqah lagi tsiqah) atau ungkapan “tsiqatun-tsabitun” (orang yang tsiqah lagi teguh).
c.    Sesuatu yang dinyatakan dengan satu sifat yang menunjukkan tsiqah tetapi ada penguatnya. Seperti “Tsiqatun” (orang yang tsiqah) atau dengan kata “Khujjatun” (orang yang ahli dengan patah lidahnya).
d.   Sesuatu yang menunjukkan keadilan tetapi tanpa mengandung makna kuat ingatan (dhabit), seperti “Shaduqun” (orang yang sangat jujur) atau dengan “makhalluhu ash-shadqun” (orang yang berstatus jujur) atau dengan ungkapan “la ba’sa bih” (orang yang tidak cacat). Menurut Ibnu Mu’in, maka menurut beliau kata-kata itu adalah bernilai tsiqah.
e.    Sesuatu yang tidak ada petunjuk atas ke-tshiqatannya, seperti “fulanun syaikhun” (si fulan adalah seorang syaikh) atau dengan ungkapan “ruwiyu ‘anhu ‘an-nas” (orang yang meriwayatkan dari padanya).
f.     Sesuatu yang mendekati jahr (cacat), seperti “fulanun shalihu al-hadits” (si fulan orang yang shaleh haditsnya) atau dengan “yaktabu haditsuhu” (orang yang ditulis haditsnya).
Hukum Tingkatannya
v Mengenai tiga tingkatan yang pertama, maka dapat dijadikan hujjah orang-orang yang memiliki sifat tersebut, sekalipun sebagian mereka lebih kuat dari sebagian lainnya.
v Adapun tingkatan yang keempat dan kelima, tidak dapat dijadikan hujjah bagi yang mempunyai sifat tersebut, akan tetapi haditsnya tetap ditulis dan diberitakan, sekalipun ia berada pada tingkatan kelima, bukan masuk pada tingkatan keempat.
v Adapun yang berada pada tingkatan keenam, tidak dapat dijadikan hujjah, akan tetapi haditsnya tetap ditulis sekedar pelajaran saja. Bukan untuk patokan, hal itu dikarenakan Kondisi mereka tidak dhabit.[7]
2.    Tingkatan-Tingkatan Jahr dan Lafadz-lafadz-nya
a.    Yang menunjukkan kelunakan (paling mudahnya tanda jahr), seperti “fulanun layyinu al-haditsi” (si fulan orang yang lunak haditsnya) atau dengan ungkapan “fihi maqalun” (dia adalah orang yang diperbincangkan).
b.    yang secara jelas tidak dijadikan hujjah atau yang menyerupainya seperti “fulanun la yuhtajju bih” (si fulan tidak bisa dijadikan dasar) atau “dhaifun” (orang yang lemah) atau “lahu manakir”(dia adalah yang haditsnya mungkar).
c.    Yang jelas tidak boleh ditulis haditsnya atau yang seperti “fulanun la yuktabu haditsuh” (haditsnya si fulan tidak boleh ditulis) atau “la tahillu ar-riwayatu’anh” (tidak halal diriwayatkan hadits dari dia) atau “dhaifun jiddan” (ia amat dhaif) atau “wahin bi marratin” (orang yang berkali-kali menduga-duga).
d.   Yang tertuduh dusta atau yang sepertinya, seperti “fulanun muhtammum bi kadzib” (si fulan adalah orang yang tertuduh dusta) atau “muhtammun bi wadli” (orang yang tertuduh palsu) atau “yasriqu al-haditsi” (orang yang mencuri hadits) atau “saqithun” (orang yang haditsnya ditinggalkan), atau “laisa bit siqatin” (tidak tsiqat).
e.    Yang menunjukkan sifat dusta dan yang sepertinya, contoh “kadza dzab” (pendusta) atau “dajjal” (dajal) atau “wadla” (pemalsu) atau “yukadzzibu” (berdusta) atau “yadla’u” (orang yang membuat hadits dhaif).
f.     Yang menunjukkan tsiqat  dusta (yang paling jelek) seperti “fulanun akdzabu an-nasu” (si fulan adalah orang yang paling dusta) atau “huwa ruknu al-kadzibi” (orang yang cenderung dusta).
Hukum tingkatan-tingkatannya
v Mengenai orang yang berstatus pada dua tingkatan utama, maka haditsnya tidak dapat dijadikan hujjah, akan tetapi haditsnya dapat ditulis hanya untuk pelajaran saja sekalipun ia berada pada tingkatan kedua bukan pada tingkatan yang pertama.
v Adapun orang yang berada pada tingkatan yang keempat terakhir, maka haditsnya tidak dapat dijadikan hujjah dan tidak boleh ditulis dan tidak boleh dianggap adanya.[8]
6.    Metodologi Yang Dianut Ulama Ahli Kritik Hadist
Ulama, khususnya ulama awal, mereka berhati-hati sekali dalam meriwayatkan atau menyalin hadits. Akan tetapi sebagaimana disadari semua ulama, bahkan ulama yang paling tulus pun dapat berbuat salah pada suatu waktu karena sunah Nabi merupakan contoh abadi bagi kaum muslim, umat pun tidak boleh membiarkannya dicemari atau dikurangi dengan cara apapun. Maka untuk mengecek suatu kesalahan penting, ulama menggunakan metodologi kritik hadits.
Ada beberapa metode yang digunakan dalam kritik hadits, akan tetapi semuanya nyaris dapat diletakkan di bawah judul “perbandingan” atau “penyelidikan” dan “perujukan silang”. Dengan melihat bagaimana ulama mengumpulkan seluruh bahan yang berkaitan atau katakanlah semua hadits yang bersangkutan, membandingkannya satu sama lain dengan penuh kehati-hatian. Ayyub al-Sakhtiyani, seorang tabi’in (68-181 H) mengatakan, “bila ingin mengetahui kesalahan guru anda, anda patut bermajelis dengan guru lain juga”. Juga Ibnu al-Mubarak (118-181 H) mengatakan, “Untuk mendapatkan pernyataan otentik, orang perlu membandingkan kata-kata antar ulama”.
Metode perbandingan dapat dipraktekan dalam banyak cara, yakni:[9]
a.    Perbandingan hadits-hadits dari berbagai seorang ulama.
b.    Perbandingan pernyataan-pernyataan seorang ulama.
c.    Perbandingan pengucapan lisan dengan dokumen tertulis.
d.   Perbandingan hadits dengan teks al-Qur’an yang berkaitan.

III.    Penelitian Sanad dan Matan Hadits
1.  Definisi
a. Pengertian Sanad (Isnad)
Menurut bahasa sanad adalah sesuatu yang dipegangi (al-Mu’tamad). Disebut demikian karena matan bersandar dan berpegang kepada sanad. Sedangkan menurut istilah sanad adalah rangkian para perawi yang menghubungkan pada matan.
b. Pengertian Matan
Matan menurut bahasa adalah masaluba wartafa’a minal ardi (bumi yang keras dan tinggi). Sedangkan menurut istilah matan adalah perkataan yang menjadi ujung sanad.[10]


2      Faktor-Faktor Pentingnya Penelitian Hadits
Menurut petunjuk al-Qur’an, hadits Nabi SAW adalah sumber ajaran Islam disamping al-Qur’an. Itu berarti untuk mengetahui ajaran Islam yang benar disamping diperlukan petunjuk al-Qur’an juga diperlukan hadits Nabi SAW.[11]
Terlepas tepat atau tidak tepatnya pernyataan bahwa hadits Nabi SAW adalah wahyu ghairu al-matlu, maka yang pasti bahwa Allah telah memberi kedudukan kepada Nabi Muhammad SAW sebagai Rasul dengan fungsi dan atau tugas antara lain :
a.    Menjelaskan al-Qur’an
b.    Dipatuhi oleh orang-orang yang beriman
c.    Menjadi uswah hasanah dan rahmat bagi sekalian alam
Berangkat dari pemahaman tersebut, maka untuk mengetahui hal-hal yang harus diteladani berasal dari diri Nabi SAW diperlukan penelitian. Dengan demikian, akan dapat diketahui hadits Nabi yang berkaitan dengan ajaran dasar Islam, praktek Nabi dalam mengaplikasikan petunjuk al-Qur’an sesuai dengan tingkat budaya yang sedang dihadapi Nabi waktu itu. Selanjutnya, menurut sejarah tidaklah seluruh hadits telah ditulis pada zaman Nabi SAW kepada penguasa non muslim dalam rangka dakwah maupun yang tidak resmi berupa catatan-catatan yang dibuat oleh para sahabat tertentu atas inisiatif mereka sendiri. Dalam hal itu, hadits Nabi telah mengalami pemalsuan-pemalsuan. Dalam sejarah, pemalsuan hadits mulai berkembang pada zaman khalifah Ali bin Abi Thalib (w. 40-661 M).[12]
Hal-hal yang berkenaan dengan hadits tersebut merupakan sebagian dari faktor-faktor yang melatarbelakangi pentingnya penelitian hadits. Faktor-faktor penting lainnya adalah proses penghimpunan hadits memakan waktu cukup lama sesudah Nabi SAW wafat, jumlah kitab hadits sangat banyak dengan metode penyusunan yang sangat beragam dan telah terjadi periwayatan hadits secara makna. Akibat lebih lanjut dan faktor-faktor tersebut adalah keharusan adanya penelitiaan sanad dan matan, maka akan dapat diketahui apakah sesuatu yang dinyatakan sebagai hadits Nabi SAW itu memang benar-benar dapat dipertanggungjawabkan berasal dari Nabi SAW.[13]
Dari uraian singkat di atas dapat diambil suatu kesimpulan bahwa faktor-faktor penting adanya peneltian hadits tersebut didasarkan beberapa faktor sebagai berikut :
a.    Hadits Nabi SAW sebagai salah satu sumber ajaran Islam
b.    Tidak seluruh hadits tertulis pada zaman Nabi SAW
c.    Telah timbul berbagai pemalsuan hadits
d.   Proses penghimpunan hadits yang memakan waktu lama
e.    Jumlah kitab hadits yang banyak dengan metode penyusunan yang beragam


3. Tujuan
Berkaitan dengan pembahasan di atas, penulis merasa perlu memberikan kejelasan tentang tujuan ulama mengadakan penelitian sanad dan matan hadits, sebagai  berikut:
a.    Untuk memperoleh pengetahuan apakah sesuatu yang disebut hadits Nabi itu benar-benar sahih berasal dari Nabi atau tidak
b.    Untuk memisahkan hadits-hadits yang asli dari yang palsu.
4.    Obyek Sasaran
Sebagaimana telah dikemukakan dalam pembahasan di atas, bahwa bagian-bagian hadits yang menjadi obyek penelitian ada dua macam, yakni rangkaian para periwayat yang menyampaikan riwayat hadits yang dikenal dengan istilah sanad dan materi atau matan hadits itu sendiri. Ada beberapa hal penting berkenaan dengan sanad dan matan hadits tersebut yang perlu diketahui dalam kegiatan penelitian hadits. beberapa hal penting tersebut adalah :
a.    Sanad Hadits
Ulama hadits menilai sangat penting kedudukan sanad dalam riwayat hadist. Karena demikian pentingnya kedudukan sanad itu, maka suatu berita yang dinyatakan sebagai hadits Nabi SAW oleh seseorang, tapi berita itu tidak memiliki sanad sama sekali, maka berita tersebut oleh ulama hadits tidak dapat disebut sebagai hadits. Sekiranya tetap juga dinyatakan sebagai hadits oleh orang-orang tertentu, misalnya oleh ulama yang bukan ahli hadits, maka berita tersebut oleh ulama hadits dinyatakan sebagai hadits palsu atau hadist maudu’. [14]
Dalam hubungannya dengan pentingnya kedudukan sanad tersebut, ‘Abdullah bin al-Mubarak (w. 110/728 M) menyatakan bahwa “sanad hadits merupakan bagian dari agama. Sekiranya sanad hadits tidak ada, niscaya siapa saja akan bebas menyatakan apa yang dihehendakinya”. Pernyataan ini memberikan peringatan bahwa sanad hadits merupakan bagian penting dari riwayat hadits. Keberadaan suatu hadits yang tercantum dari berbagai kitab hadits ditentukan juga oleh keberadaan dan kualitas sanad-nya.[15]
Dan untuk diketahui bahwa ada dua bagian-bagian sanad yang perlu diteliti, yakni:
1. Nama-nama periwayat yang terlibat dalam periwayatan hadist yang bersangkutan;
2.  lambang-lambang periwayatan hadist yang bersangkutan, misalnya sami’tu akhbarabi, ‘an, dan anna.
b.    Matan Hadist
Sekiranya setiap matan hadits telah diyakini berasal dari Nabi SAW, maka penelitian terhadap matan demikian juga terhadap sanad hadist tidak diperlukan. Kenyataannya seluruh matan hadits yang sampai ketangan kita berkaitan erat dengan sanad-nya, sedangkan keadaan sanad itu sendiri masih diperlukan penelitian secara cermat juga. Perlunya penelitian matan hadits tidak hanya karena keadaan matan tidak terlepas dari pengaruh keadaan sanad saja, tetapi juga karena dalam periwayatan hadits dikenal adanya periwayatan secara makna (riwayah bil-ma’na). Dengan adanya periwayatan secara makna, maka untuk penelitian matan, misalnya berkenaan dengan berita peperangan, sasaran penelitian pada umumnya tertuju kepada kata perkata dalam matan itu. Lain halnya bila yang diteliti adalah matan yang mengandung ajaran Nabi SAW tentang suatu ibadah tertentu. Misalnya bacaan shalat, maka masalah yang diteliti meliputi keadaan kata demi katanya. Adanya periwayatan hadits secara makna telah menyebabkan penelitian matan dengan pendekatan semantik tidak mudah dilakukan. Walaupun pendekatan semantik tidak mudah dilakukan, tetapi hal itu tidaklah berarti bahwa penelitian dengan pendekatan bahasa tidak perlu dilakukan. Penelitian dengan pendekatan bahasa perlu dilakukan karena bahasa Arab yang digunakan selalu dalam susunan yang baik.
Untuk meneliti matan hadits dari segi kandungannya, acapkali juga diperlukan dengan pendekatan rasio, sejarah dan prinsip-prinsip pokok ajaran Islam. Dengan demikian, kesahihan matan hadits yang dihasilkan tidak saja dilihat dari sisi bahasa saja.
5.    Kaidah dan Langkah-langkah Kegiatan kritik Sanad dan Matan Hadist
Untuk lebih mudah dipahami dalam hal langkah-langkah kegiatan kritik sanad dan matam hadits, perlu penulis jelasan sebagi berikut :
a.    Unsur-unsur Kaidah Mayor Kririk sanad dan matan
Kaidah kritik sanad dan matan hadits dapat diketahui dari pengertian istilah hadits sahih. Menurut ulama hadits, misalnya Ibnu Shalah (w. 643 H) hadits sahih adalah:“hadits yang bersambung sandnya (sampai kepada Nabi), diriwayatkan oleh (periwayatan) yang adil dan dlabith sampai akhir sanad, (di dalam hadist itu) tidak terdapat kejanggalan (syudzuudz dan cacat (illat)”.
Dari pengertian istilah tersebut, dapat diuraikan unsur-unsur hadits sahih tersebut menjadi :
1.    sanad bersambung;
2.    periwayat bersifat adil;
3.    periwayat bersifat dhabith;
4.    tidak terdapat kejanggalan; dan
5.    dalam hadits itu tidak terdapat cacat (‘illat).
Ketiga unsur yang disebut pertama berkenan dengan sanad, sedangkan dua unsur berikutnya berkenan dengan sanad dan matan. Dengan demikian, unsur-unsur yang termasuk persyaratkan umum kaidah kesahihan hadits ada tujuh macam, yakni lima macam berkaitan dengan sanad dan dua macam berkaitan denga matan. Persyaratkan umum itu dapat diberi istilah sebagai kaidah mayor, sebab masing-masing unsurnya memiliki syarat-syarat khusus dan yang berkaitan dengan syarat-syarat khusus itu dapat diberi istilah sebagai kaidah minor.
b.    Unsur-unsur Kaidah Minor Kritik Sanad
Apabila masing-masing unsur kaidah mayor bagi kesahihan sanad disertakan unsur-unsur kaidah minornya, maka dapat dikemukan butir-butir sebagai berikut:
1.    Unsur-unsur kaidah mayor pertama adalah sanad bersambung, mengandung unsur-unsur kaidah minor:
a. Muttashil (bersambung);
b. Marfu’ (bersandar kepada Nabi saw);
c. Mahfudz (terhindar dari syudzudz);
d. (bukan mu’all) bercacat.
2.    Unsur kaidah mayor yang kedua adalah periwayat bersifat adil, mengandung unsur-unsur kaidah minor :
a. Beragama Islam;
b.  Mukkalaf (baliq dan berakal sehat);
c. Melaksanakan ketentuan agama Islam;
d. Memelihara muru’ah (adab kesopanan pribadi atau kebiasaan-kebiasaan).
3.    Unsur-unsur kaidah mayor yang ketiga adalah periwayat bersifat dhabith atau adhbath, mengandung unsur-unsur kaidah minor:
a. Hafal dengan baik hadist yang diriwayatkan;
b. Mampu dengan baik menyampaikan riwayat hadist yang dihafalnya kepada orang lain;
c. Terhindar dari syadzudz;
d. Terhindar dari ‘illat.
c. Unsur-unsur Kaidah Minor Kritik Matan
Kaidah mayor untuk matan sebagaimana telah disebutkan ada dua macam, yakni yang “terhindar dari syadzudz” dan terhindar dari “illat”. Adapun tolak ukur penelitian matan (ma’ayir naqd al-matn) yang telah dikemukan oleh ulama tidakalah seragam. Al-Khatib al-Baqdadi (w 463 H) menjelaskan bahwa matan hadits yang maqbul (diterima sebagai hujjah) haruslah :
1.    tidak bertentangan dengan akal yang sehat;
2.    tidak bertentangan dengan hukum al-Qur’an yang telah muhjam;
3.    tidak bertentangan dengan hadist mutawatir:
4.    tidak menjadi pertentangan dengan amalan yang telah menjadi kesepakatan ulama masa lalu (ulama salaf);
5.    tidak bertentangan dengan dalil yang sudah pasti; dan
6.    tidak bertentangan dengan hadist ahad yang kualitas kesahihannya lebih kuat.[16]

IV.    Kesimpulan
Dari penjelaskan di atas dapatlah diambil kesimpulan bahwa Ilmu Al-Jahr wa al-Ta’dil adalah merupakan alat atau metode yang dijadikan untuk melihat dan meneliti keadaan para perawi di dalam meriwayatkan hadits. Oleh karena banyak ulama-ulama zaman dulu tidak terlepas dari kehilafan dan berita-berita yang mereka sampaikan tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya, hal tersebut disebabkan rawi-rawinya tidak diketahui identitasnya, maka perlu adanya ilmu Jahr wa al-Ta’dil yang menjadi patokan dasar dalam mempelajari dan mengetahui kedhabithan dan keadilan para perawi dalam meriwayatkan hadist.
Pada kenyataannya tidaklah setiap sanad dan matan yang menyertai sesuatu yang ditanyakan sebagai hadits terhindar dari keadaan yang meragukan. Hal tersebut perlu dimaklumi sebab orang-orang yang terlibat dalam periwayatan hadits selain banyak jumlahnya juga sangat bervariasi kualitas pribadi dan kapasitas intelektualnya. Untuk itu, para ulama dibutuhkan kecermatan dalam hal meneliti sanad dan matan hadits. Mana yang sahih dan yang dho’if juga mana hadits yang diterima dan mana yang ditolak.
Demikian makalah yang penulis buat, semoga berguna bagi penulis khususnya dan kepada pembaca umumnya. Aamin Yaa Robbal ‘alamin....


DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman, Asmuni, tt. Pengembangan Pemikiran Terhadap Hadits, Yogyakarta: LIPPI, Universitas Muhammadiyah

Al-Khatib, Muhammad’ajjaj, 1989. Usul al-Hadits, Libanon, Dar al-Fikr Beirut.

Ash-Shiddieqy, Hasbi, 1954. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, Jakarta, Bulan Bintang.

At-Thahan, Mahmud, 1995. Metode  Takhrij dan Penelitian Sanad, Terj. Ridwan Nasir, Surabaya: PT  Bina Ilmu.

--------------------------, 1997. Ulumul Hadits, Terj. Jainul Muttaqin, Yogyakarta, Titian Illahi Press.

Azami, Muhammad Musthafa, 1993. Memahami Ilmu Hadits, Terj. Meth Kierah, Jakarta, Lentera.

Itr, Nuruddin, 1994. Ulumul Al-Hadist, Terj. Mujiyo, Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Ismail, Syuhudi, 1995. Hadist Nabi Menurut Pembela Pengingkar dan pemalsuan, Jakarta, Gema Insani Press.

-------------------, 1995. Kaidah Kesahihanya Sanad Hadist, Jakarta, Bulan Bintang.

-------------------, 1992. Metodologi Penelitian Hadist, Jakarta, PT Bulan Bintang.


[1] Al-Khatib, Muhamad ‘Ajjaj, 1982. Ushul al-Hadits, Lebanon, Dar al-Fikr Beirut, h.233
[2] Ash-Shiddieqy, Hasbi, 1954. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, Jakarta, Bulan Bintang, h.155
[3] At-Tahhan, Mahmud, 1995. Metode Tahrij dan Penelitian Sanad Hadits, Surabaya, Bina Ilmu, h.100
[4] Ash-Shiddieqy, Hasbi, Pengantar Ilmu Hadits, h.35
[5] Al-Khathib, Ushul al-Hadits, h.264
[6] At-Tahhan, Metode Tahrij, h.103
[7] At-Tahhan, Mahmud, 1995. Metode Tahrij dan Penelitian Sanad Hadits, Surabaya, Bina Ilmu, h.170
[8] At-Tahhan, 1995. Metode Tahrij, h. 122
[9] Azami, Muhammad Mushafa, 1993. Memahami Ilmu Hadits, terj. Meth Kieraha, Jakarta, Lentera, h.75
[10] At-Tahhan, Mahmud, 1995. Metode Tahrij dan Penelitian Sanad Hadits, terj. Ridwan Nasir, Surabaya, Bina Ilmu, h.98
[11] Abdurrahman, Asmuni, tt. Pengembangan Pemikiran Terhadap Hadits, Yogyakarta, LIPPI, Universitas Muhammadiyah, h.27
[12] Ismail, Syuhudi, 1995. Kaidah-Kaidah Sanad Hadits, Jakarta, Bulan Bintangg, h.84
[13] Ismail, Syuhudi, 1995. Hadits Nabi Menurut Pembela Pengingkar dan Pemalsuannya, Jakarta, Gema Insani Press, h.75
[14] Hadits Maudu’ adalah hadits yang diada-adakan dan dibuat-buat. Lihat Nuruddin, 1994. Ulumul al-Hadits, terj. Mujiyo, Bandung, Remaja Rosdakarya, h.28
[15] At-Tahhan, Mahmud, 1995. Metode Tahrij dan Penelitian Sanad Hadits, terj. Ridawan Nasir, Surabaya, Bina Ilmu, h.98
[16] Syuhudi, Ismail, 1995. Hadits Nabi Menurut Pembela Pengingkar dan Pemalsuannya, Jakarta, Gema Inssani Press, h.76-78

Tidak ada komentar:

Posting Komentar