Kamis, 22 Desember 2016



MISTISISME (SUFISME) DALAM SEJARAH PERADABAN ISLAM
Studi Analisis A History of Islamic Philosophy karya Majid Fakhry, New York, Columbia University Press

Oleh :
Mashudi Zusro,S.H., M.Si
Sekolah Tinggi Agama Islam Grobogan (STAIG)
Maszoesfizoes@ymail.com
Jl. Kapten Rusdiyat 1 Kablukan Danyang Kec. Purwodadi Kab. Grobogan

Mistisisme (Sufisme) dapat dianggap sebagai desakan dalam sukma manusia untuk merengkuh yang tak terbatas. Bentuknya bisa berupa kedekatan spiritual (communion) atau persatuan intelektual sebagaimana dalam neoplatonisme atau melalui iluminasi visioner (mukasyafah atau isyraq), sebagaimana dalam mistisisme Islam yang moderat atau melalui peniadaan identitas diri (fana’), sebagaimana dalam Hinduisme dan Sufisme yang ekstrem. Tahap pertama perkembangan mistisisme Islam yaitu pada awal abad ke-7, terkait erat dengan munculnya sufi-sufi yang mengabdikan diri mereka bagi kesucian hidup (wara’), ketekunan beribadah (khusyu’) dan perenungan (fikr) terhadap keadaan manusia dan hubungan hamba dengan Tuhannya. Dalam al-Qur’an kelompok ini dilukiskan sebagai, “mereka dekat dengan-Nya melebihi kedekatan urat leher mereka dengan diri mereka sendiri” (QS, 50 : 16). Seperti sajak yang diungkapkan seorang sufi, Rabi’ah al-‘adawiyah “Aku cinta kepada-Mu dengan dua cinta, Cinta kasmaran dan cinta karena memang Kau layak dicintai, Cinta kasmaran adalah keadaanku yang selalu mengingat-Mu, Sementara cinta kedua karena Kau telah menyibakkan tabir hingga aku dapat melihat-Mu, Betapapun cintaku tak berarti apa-apa bagi-Mu, Sementara cinta-Mu berarti segala-galanya bagiku”.


Key Word : Perkembangan, Mistisisme (sufisme), Sejarah Peradaban Islam

I.              Pendahuluan
Selama periode awal abad ke-7 bermunculan kelompok-kelompok sufi dan orang-orang yang menjauhi kemegahan duniawi, semisal al-Hasan al-Bashri (w. 728). Oleh sumber-sumber sufi pada periode berikutnya diriwayatkan bahwa al-Hasan al-Bashri pernah mengatakan “sebutir pahala wara’ lebih berat daripada puasa dan shalat”. Kekhusyukan baginya adalah menancapkan rasa takut dalam hati, sedangkan kezuhudan adalah sikap mencela dunia dan apa-apa yang terdapat di dalamnya, apakah itu manusia ataupun harta benda.[1]
Setelah itu, berkerumunlah para zahid (ascetic) disekitar al-Bashri. Ada yang laki-laki dan ada pula yang perempuan. Paling terkenal diantara yang perempuan adalah Rabi’ah al-‘Adawiyah (w. 801), dialah zahidah yang terkenal akan pengabdiannya pada kesucian diri dan meditasi. Untuk pertama kalinya dalam sejarah muslim, Rabi’ah al-‘Adawiyah memperkenalkan konsep tentang Ilahi sebagai sendi utama bagi kehidupan keagamaan. Suatu ketika, dia ditanya tentang apakah dia mencintai Tuhan dan membenci setan, Rabi’ah pun menjawab, “cintaku kepada Tuhan telah menghalangi hatiku untuk membenci setan”. Menurut versi lain “cintaku kepada Tuhan telah memenuhi segenap hatiku sehingga tak tersisa lagi ruang untuk mencintai atau membenci selain-Nya”.[2] Dia juga mengungkapkan cintanya kepada Tuhan melalui beberapa bait sajak yang indah berikut ini :
Aku cinta kepada-Mu dengan dua cinta
Cinta kasmaran dan cinta karena memang Kau layak dicintai
Cinta kasmaran adalah keadaanku yang selalu mengingat-Mu
Sementara cinta kedua karena Kau telah menyibakkan tabir hingga aku dapat melihat-Mu
Betapapun cintaku tak berarti apa-apa bagi-Mu
Sementara cinta-Mu berarti segala-galanya bagiku.[3]

Pada abad berikutnya, pusat gerakan mistis berpindah dari Basrah ke Baghdad dan berhasil mencetak sejumlah figur terkemuka pada awal sejarah mistisisme Islam atau sufisme. Paling terkenal diantaranya adalah al-Muhasibi (w. 857) dan Abu al-Qosim al-Junaid (w. 911). Al-Muhasibi dan al-Junaid layak disebut dua pemuka dalam sejarah tasawuf. Lahir di Bashrah, al-Muhibi kemudian pindah ke Baghdad. Di Baghdad inilah dia terlibat perseteruan sengit dengan para pengikut Imam Ahmad Ibn Hanbal, gara-gara dia menentang penggunaan argumen-argumen teologis dalam ceramah-ceramahnya. Mistisisme al-Muhibi didasarkan pada dua pilar, yakni menghisab diri sendiri (Muhasabah) yang sekaligus menjadi gelarnya dan kesediaan menanggung derita dan musibah demi Tuhan, kekasih utamanya. Ujian keimanan yang sejati, menurut al-Muhibi adalah kerelaan untuk mati dan ketabahan al-Muhibin (shabr) menanggung penderitaan yang sangat menyiksa.[4]
Abu al-Qosim al-Junaid murid al-Muhibi al-Saqathi (w. 870) dan Abu Hafs al-Hadad (w. 873) sangat berpengaruh terhadap perkembangan mistisisme Islam pada era selanjutnya. Pemikiran al-Junaid ditandai oleh rasa (sense) yang tinggi akan transendensi dan keesaan Tuhan. Juga tekad berpegang teguh pada aspek ritual dari kehidupan religius yang telah digariskan oleh hukum Allah (syari’ah). Bagi al-Junaid, asas kehidupan spiritual yang melambari mistisisme adalah perjanjian (milsaq) yang telah ditetapkan oleh Allah sebelum penciptaan manusia. Perjanjian ini disebut dalam al-Qur’an surat al-A’raf (7) ayat 172, Tuhan berseru kepada umat manusia  untuk memberi kesaksian pada diri mereka sendiri, “apakah Aku Tuhanmu?” dan mereka menjawab “ya ! sesungguhnya kami telah bersaksi atas-Nya”. Dari perjanjian ini menurut al-Junaid tampak bahwa esensi kehidupan spiritual manusia adalah keinsafan hamba bahkan sebelum ia tercipta, yaitu semasa ia berupa gagasan dalam pikiran Tuhan atas jarak yang terbentang antara dirinya dan Tuhan Sang Pencipta. Al-Junaid menyebut keinsafan ini sebagai pemisah (ifrad) yang abadi dari yang fana’, sekaligus sebagai pengakuan atas keesaan Tuhan (tauhid). Al-Junaid memberikan kejadian di atas sebagai “suatu keadaan manusia masih sebagai ruh (sebelum mewadak) yang hadir dihadapan Sang Maha Kuasa. Sesuai dengan belas kasih Tuhan, ia diperintahkan untuk dengan tetap mengacu pada hukum-hukum yang terdapat di dalam labirin “lautan”  ke-Esa-an-Nya – meniadakan diri (fana’) dan melupakan panggilan makhluk”, sehingga pada akhirnya kelak ia akan tetap ingat pada “asalnya”, yakni sebagaimana ia sebelum di dunia ini”.[5] Ajaran peniadaan diri ini mencerminkan kuatnya pengaruh paham nihilisme Hindu saat itu. Tidak lama berselang, ajaran itu memicu munculnya mistisisme panteistik atau “Unifer” (Wahdah al-Wujud).

II.           Perbedaan Aliran Mistisisme (Sufisme) di Kalangan Umat Islam
Dua eksponen mistisisme panteistik yang mempunyai berbagai klaim hiperbolik adalah al-Bisthami (atau bisa disebut al-Busthami) dari al-Hallaj. Kedua figur inilah yang mendorong ide peniadaan diri manusia hingga keluar dari batas-batas logisnya, yaitu pada kesatuan menyeluruh antara Tuhan dan makhluk (ittihad). Para sufi sebelumnya, termasuk al-Junaid sendiri tidak pernah melewati batas ini.
Abu Yazid al-Busthami dilahirkan di kota Bistham (atau Basham) sebelah barat Khurasan. Konon al-Busthami belajar tasawuf di bawah bimbingan seorang guru India, yaitu Abu Ali al-Sindi, al-Busthami belajar mengenal rahasia ajaran peniadaan diri yang  terkenal itu. Sejumlah besar celotehan mistis (syathahat) al-Busthami terungkap dalam berbagai sumber klasik. Diantara celotehan-celotehan tersebut ada yang menyangkut konsep kasmaran (sikr) hasrat mistis (wajd) atau penyatuan diri manusia dengan Tuhan. Dalam celotehan-celotehan tersebut, tersirat pula konsep tentang penuhanan diri (self deification). Dalam salah satu celotehnya, seperti dilaporkan oleh seorang sufi pada masa berikutnnya, al-Busthami menuturkan, “suatu ketika, Tuhan mengangkatku kehadirat-Nya dan berkata, “Wahai Abu Yazid ! Makhluk-Ku ingin melihatmu”, lalu kujawab, “Hiasi diriku dengan ke-Aku-an-Mu sehingga tatkala mereka melihatku, mereka akan berkata, “kami telah melihat-Mu”, kemudian Kau akan berada disana dan aku takkan ada disana”.[6] Dalam celotehan senada dia berkata, “Maha suci diriku, Maha besar aku!”, semua ucapan yang dinisbatkan kepadanya mengungkapkan dengan tegas konsep tentang peleburan total dengan sifat ketuhanan. Tidak sedikit contoh serupa yang terdapat dalam kitab Vedanta dan Upanished.[7] Mungkin ucapan al-Busthami yang paling dianggap sesat adalah ketika dia berbicara tentang usahanya menemukan Tuhan dan karena gagal dia memutuskan untuk menempati kedudukan-Nya dia atas ‘Arsy. Lantas dia bertutur “pernah suatu  kali, aku menyelami samudra malakuti (angelic) dan menyibakkan tabir-tabir ketuhanan (Lahut) hinggga sampailah aku ke ‘Arsy. ‘Arsy itu kosong rupanya. Maka, kuhempaskan diriku di atasnya sambil berseru “Tuhan, dimana aku bisa menemukan-Mu ?” lalu kusadari Aku adalah Aku! Ya, Aku adalah Aku. Selanjutnya, Aku kembali pada apa yang tengah kucari yang ternyata tak kutemukan kecuali Aku”.
Tokoh luar biasa kedua dalam sejarah mistisisme panteistik adalah Husein Ibn Mansur al-Hallaj. Dia terlahir di Baidha’, tempat yang terletak di tepian Teluk Persia. Al-Hallaj belajar tasawuf dari guru-guru terkemuka seperti, al-Maliki (w. 909), al-Tustari (w. 986), al-Syibli (w. 945) dan al-Junaid. Belakangan, al-Junaid berpisah darinya lantaran perilaku al-Hallaj yang diangggap berlebih-lebihan. Al-Halaj selanjutnya meniti karier sebagai penceramah publik dan politikus aktif, termasuk ikut bergabung dengan sekte Qaramithah dan Syi’ah. Seperti penuturan putranya Ahmad, setelah menunaikan ibadah haji untuk yang ketiga kali al-Halaj kembali ke Baghdad. Waktu itu, al-Halaj mencapai tahapan perkembangan mistis yang digambarkannya sendiri sebagai “essensi kemanunggalan”, menurutnya, pada tahap ini Aku dan Engkau, sufi dan Tuhan yang dicarinya menyatu padu.
Reputasinya menyebar dengan cepat keberbagai penjuru. Sampai-sampai pada tahun 909, perdana menteri Ibn al-Furat menjatuhinya hukum penjara atas tuduhan menjadi agen sekte Qaramithah. Sembilan tahun dalam penjara, al-Halaj kemudian dituduh menghina agama dan menuhankan diri. Ketetapan hukuman mati atas dirinya pun kemudian disahkan oleh khalifah berdasarkan ayat berikut, “sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan berbuat kerusakan di muka bumi adalah dibunuh atau disalib atau dipotong tangan dan kaki mereka secara bersilang atau diusir dari negeri tempat kediaman mereka (QS, 5 : 33). Dengan penuh semangat, perdana menteri tersebut memerintahkan agar al-Hallaj dicambuk, disalib, dipancung, dibakar dan abunya ditaburkan di permukaan sungai Tigris. Padahal, khalifah hanya memerintahkan perdana  menteri untuk mencambuk dan memancung al-Hallaj, tidak lebih dan tidak kurang.[8]



III.        Interaksi Mistisisme dengan Neoplatonisme
Gugurnya al-Hallaj  merupakan peringatan keras bagi bahaya laten yang terkandung dalam doktrin penyatuan. Oleh al-Hallaj sendiri, doktrin ini dimaksudkan sebagai cara seorang sufi menjadi alat Tuhan yang berbicara dan menulis atas nama-Nya. Hakim yang memvonis mati al-Hallaj tidak mau mendengarkan dalih itu dan menganggap pernyataan tadi sebagai penuhanan diri secara blak-blakan. Dan itu tidak bisa diampuni.
Pola sufi berikutnya, semisal Al-Ghazali dan Ibn ‘Arabi telah menarik pelajaran yang diberikan oleh kasus hukuman mati terhadap Al-Hallaj tersebut. Interpretasi mereka atas pengalaman mistis betapa pun aneh dan  menyimpang, takkan pernah mencapai klaim penyatuan diri dengan Tuhan (ittihad). Selain itu,  konsep ini oleh Al-Ghazali telah ditukar dengan ikrar keesaan Tuhan  (tauhid) dan oleh Ibn ‘Arabi dengan konsep kesatuan wujud (wahdah al wujud). Al-Ghazali yang telah kita kenal lewat kritiknya atas neoplatonisme muslim mengatakan dalam autobiografinya, al-Munqidz bahwa sejak masa mudanya selalu mencari kebenaran. Studi filsafat, kalam dan doktrin esoteris yang dilakukan oleh kaum Islamiyah (bathiniyah) tidak bisa memuaskan dahaganya akan kebenaran.
Setelah bertahun-tahun melakukan kajian mendalam, mengajar dan merenung, tibalah dia pada suatu kesimpulan bahwa para pengikut ajaran sufi adalah orang-orang yang secara sungguh-sungguh menapaki jalan Tuhan. Perilaku mereka merupakan perilaku yang paling terpuji. Jalan hidup mereka adalah yang paling lurus dan sifat mereka merupakan sifat yang terbaik. Gerak dan diam mereka, baik lahir maupun bathin selalu berasal dari cahaya nabawi (propetic) atau yang di atas itu yang tiadalah cahaya di muka bumi ini yang lebih terang daripadanya.[9]
Lebih lanjut al-Ghazali mengatakan bahwa jalan sufi tidak membenarkan penghinaan terhadap hukum-hukum agama. Tidak pula ia mengabaikan kewajiban agama dan ibadah, apalagi mempersamakan Tuhan dengan makhluk seperti yang dilakukan oleh sufi yang kebablasan. Hakekat mistisisme bagi al-Ghazali dan al-Junaid, guru spiritualnya. Hanyalah sebatas ikrar tentang keesaan Tuhan (Tauhid). Kadang-kadang al-Ghazali mengekspresikannya sebagai pemusnahan diri dalam tauhid. Dan bagi al-Ghazali, tauhid berarti meyakini bahwa Tuhan adalah wujud, pelaku dan cahaya Tunggal di alam semesta ini. Wujud ini tak bisa dikenali lewat pemikiran atau spekulasi rasional sebagaimana sangkaan kaum filosof. Tidak pula Dia bisa dikenali lewat penyatuan diri dengan-Nya sebagaimana sangkaan al-Busthami dan al-Hallaj. Mengenali wujud hanya mungkin apabila Dia membukakan Diri-Nya (kasy) bagi yang bersedia melalui pencermatan yang terus menerus (musyahadah) dalam pancaran cahaya Ilahi. Dalam satu karya mistisnya yang terkenal Misykat Al-Anwar, al- Ghazali secara panjang lebar menafsirkan QS. An-Nur 24:35. Ayat ini berbicara tentang “cahaya langit dan bumi “ dan melukiskan Tuhan sebagai cahaya di atas cahaya. Segala entitas yang eksis dari malaikat hingga benda-benda bumi bersumber dari-Nya. Namun, menurut al-Ghazali semua entittas ini hanya eksis secara metaforis atau figuratif. Sebab, dibandingkan dengan wujud sejati, semua itu hanya bersifat semu bahkan pada hakikatnya tidak ada. al-Ghazali menulis :” Pada titik ini, seorang sufi akan mampu menaikkan taraf kesadarannya dari metaforis pada yang nyata. Bahkan, hingga bisa secara visual menyaksikan ketiadaan wujud selain wujud Tuhan dan kebinasaan semuanya kecuali wajah-Nya. Kebinasaan demikian tidak terjadi hanya karena tamatnya kehidupan, tetapi justru karena ia tidak bisa tidak bersifat fana secara abadi. Di lihat pada dirinya sendiri, segala selain Tuhan itu sebenarnya tiada. Namun, apabila sudut asal-asalnya dari realitas pertama yang kita lihat, tampaklah ia seakan berinteraksi. Dengan perkataan lain, eksistensinya itu menampak apabila “diarahkan” pada wajah Penciptanya. Sebab, segala sesuatu memiliki dua wajah, wajah yang terarah pada dirinya sendiri dan wajah yang terarah kepada Tuhannya. Sejauh menyangkut wajah yang terarah pada dirinya sendiri, segala sesuatu itu pada dasarnya tiada. Akan tetapi, sejauh menyangkut wajah yang terarah pada wajah Tuhannya, ia tampak eksis. Karena itu, tak ada yang benar-benar eksis kecuali Tuhan Yang Maha Kuasa dan wajah-Nya. Dan segala sesuatu pastilah binasa secara azali dan abadi, kecuali zat-Nya”.[10]
Menurut al-Ghazali, manusia menempati posisi yang tinggi dalam tangga penciptaan lantaran Tuhan menciptakan-Nya dalam citra dan keserupaan dengan-Nya. Dia juga membuat mereka bak simpul alam semesta. Itulah sebabnya dalam sebuah hadits Nabi SAW dikatakan, “barang siapa mengenal dirinya, maka dia akan mengenal Tuhannya”. Analisis tentang daya kognitif manusia yang oleh al-Ghazali secara umum disebut jiwa, menunjukkan bahwa semuanya berawal dari pengalaman indrawi dan imajinasi. Dari situ, jiwa akan memuncak pada akal yang bersifat intuitif dan deduktif yang oleh Al-Ghazali disebut reflektif.
Di atas semua daya ini, bagi Al-Ghazali dan juga para filosuf adalah daya para Nabi yang disebut “spirit profektif “. Daya inilah yang membuat para Nabi mampu mengetahui hal-hal yang  ghaib (al-ghaib), peristiwa-peristiwa yang belum terjadi (hari kiamat) dan kesadaran-kesadaran Ilahi (Divine cognitions) lain yang lebih tinggi. Sayangnya, masalah-masalah ini tidak diperinci olehnya. Oleh karena itu, tahapan tertinggi dari kecerdasan manusia ini merupakan karunia Ilahi. Dalam Al-Munqidz, al-Ghazali menyebutkan sebagai “cahaya Tuhan memancar ke lubuk hati manusia sehingga menjadi kunci bagi semua bentuk kesadaranya”. Ia adalah sebentuk wahyu atau ilham yang tidak bergantung pada argumen-argumen atau dalil-dalil ilmiah, akan tetapi bergantung pada “rahmat Tuhan yang maha luas “. Masih menurut al-Ghazali, dalam setiap jenjang pengetahuan tadi para arif mempersepsi Tuhan melalui “tabir yang bercahaya” sehingga realitas-Nya sebagai Tuhan dan Pencipta Maha Mutlak terselubung. Kelompok arif yang memiliki derajat tinggi disebut oleh al-Ghazali sebagai “mereka yang telah sampai ditujuan (washilun)”. Merekalah orang-orang yang mampu memahami bahwa alam falakiah beserta seluruh faktor geraknya tunduk kepada pencipta langit dan bumi.
Teori epistemologis dan kognitif yang diungkap dalam bahasa yang sangat metaforis ini sangat digemari oleh kaum sufi. Bagi al- Ghazali, teori ini mengerucut pada keadaan “musnah dalam kesatuan” atau “musnah dalam kemusnahan “. Dalam keadaan seperti itu, seorang sufi akan secara total terserap oleh objek kontemplasinya sehingga tak lagi menyadari diri dan keadaannya sendiri. Untuk menjelaskan keadaan ini dalam al-Munqidz, al-Ghazali selalu menyitir bait romantis karya sastrawan di zaman Dinasti “Abbasiyah, Ibn al-Mu’taz berikut ini:[11]
Kemudian, nyatalah apa yang ada
Yang tak bisa kuingat lagi
Pikirkan (Aku) sunggguh-sungguh
Dan jangan bertanya tentang apa yang terjadi.
Analisis yang cermat terhadap berbagai naskah al-Ghazali, khususnya Misykat Al-Anwar, menunjukkan bahwa epistemologi al-Ghazali terutama bertumpu pada kosmologi Neoplatonik. Intinya, sebagai penggerak langit (malaikat) yang ditaati hanya tunduk kepada wujud tertinggi,  yaitu “Yang menciptakan langit, falak-falak yang menjulang tinggi dan menciptakannya (Yang ditaati) untuk menggerakkan semua benda tersebut“. Pendek perkataan, wujud inilah yang mentransendensikan segala yang hanya terbayang oleh orang-orang  yang belum “sampai di tujuan (washilun)”. Seperti juga konsep “Yang Esa “dari Plotinus, wujud ini jelas berada di luar jangkauan nalar manusia meskipun tetap dalam “lingkaran” wujud (keberadaan). Sebab, pada dasarnya segala sesuatu berasal dari-Nya. Dalam kaitan  ini, konsep al-Ghazali lebih dekat pada konsep Ibn Sina tentang wajib al-wujud dari pada konsep Plotinus tentang “Yang Esa “.
 Terlepas dari serangannya terhadap Neoplatonisme, al-Ghazali sendiri sebetulnya sulit terbebas dari imbasnya. Demikian pula pandangan etikanya yang termuat dalam Mizan al-Amal, jelas sekali dipengaruhi oleh ajaran-ajaran Platonik dan Neoplatonik. Bagaimanapun ekspresi yang paling elok menyangkut pengalaman dan pandangan mistis tentang realitas adalah yang berasal dari Muhyi al-Din Ibn ‘Arabi. Dia lahir di Murcia, Spanyol, pada tahun 1165. Ibn ‘Arabi lantas mengembara hampir keseluruh belahan Timur dunia sebelum akhirnya menetap di Damaskus, wafat pada tahun 1240. Guru-guru spiritualnya antara lain adalah al-Tirmidzi (w.898), al-Wasithi (w. 942) dan Ibn al-‘Arif (w. 1141), sedangkan guru filsafatnya antara lain, adalah Ibn al-Massarah (w. 931) . konon pada 1201-lah Ibn ‘Arabi “diperintahkan” untuk mengembara ke Timur. Sesampainya di Makkah, dia menulis karya utamanya “al-Futuhat al-Makkiyah” (wahyu-wahyu Makkah). Jumlah karyanya diperkirakan mencapai 846 buah dan 550 buah karya diantaranya masih tersimpan dalam bentuk manuskrip.
Inti mistisisme Ibn ‘Arabi adalah “kesatuan wujud” (Wahdah al-wujud) yang berpijak pada hal-hal filofosis pada apa yang disebutnya sebagai logos (kalimah) atau firman. Menurut Ibn ‘Arabi, semua Nabi dalam kedudukanya sebagai simbol kebenaran religius dan spiritual yang tertinggi mempunyai esensi atau realitas yang sempurna. Dan itulah yang disebut firman atau logos sebagai manifestasi dari realitas Tuhan. Namun, dalam pewahyuan beruntun ke dalam wadah firman atau epifani (epiphani) kenabian itu,  realitas Tuhan tetaplah tersembunyi. Ibn ‘Arabi tegas-tegas membedakan antara aspek tersembunyi Tuhan yang takkan pernah terjangkau dan aspek ketinggalan (ahadiyah) dan (rububiyah) Tuhan. Kedua aspek terakhir inilah yang mewadahi penyingkapan (pewahyuan) Diri-Nya pada alam semesta sehingga nyatalah Dia sebagai Tuhan dan sembahan (Ma’bud) para makhluk.
Aspek pertama dari ketiga aspek tersebut jelas-jelas bebas dari kejamakan (multiplicity) atau keterbatasan (determinateness). Dan aspek Tuhan yang satu ini bisa disebut cahaya murni, kebajikan murni atau malahan kebutaan (al-‘Ama), sedangkan aspek kedua menampakkan adanya kejamakan atau diferensiasi. Di situ, Tuhan “menjelma” menjadi pencipta sekaligus yang tercipta, yakni keseluruhan dari segala sesuatu.
Bagi Ibn ‘Arabi, multiplisitas Tuhan mewujud lantaran banyaknya sifat dan batasan (determination) yang disematkan kepada-Nya. Jadi sebagai zat, Dia merupakan realitas sejati (al-Haq), namun sebagai sifat sebagaimana tampak di alam raya dan berbagai ciptaan-Nya, Dia bisa saja tampak sebagai pencipta (al-Khalq) itu sendiri. Dengan demikian, kedua aspek Tuhan yang disebut belakangan apakah itu yang disebut keesaan atau kejamaan, kemutlakan atau kemungkinan, pencipta atau ciptaan, sesungguhnya satu dan sama.[12]
Ibn ‘Arabi lalu menggambarkan penciptaan dalam istilah-istilah yang sangat emanasionis atau neoplatonik. Mula-mula kata Ibn ‘Arabi, “segala sesuatu ada di dalam benak Tuhan dalam bentuk pola-pola (exemplars) yang sepenuhnya bersifat rohani hanya mampu mengenal Tuhan sebatas sebagai wujud rohani, sedangkan  manusia mampu mengenal-Nya sebagai wujud rohani yang merupakan realitas itu sendiri juga mampu mengenal-Nya sebagai manifestasi kasatmata dari realitas itu, yaitu dalam bentuk sekalian makhluk-Nya”. Ihwal jiwa manusia, sebagaimana lazimnya kaum neoplatonis, Ibn ‘Arabi membedakan antara jiwa manusia yang rasional dan jiwa binatang yang irasional. Kendatipun demikian, Ibn ‘Arabi menolak gagasan Plato dengan tegas tentang terjadinya kontak atau papasan (ittishal) antara jiwa rasional dan akal aktif ditepian (periphery) alam dunia ini. Sebaliknya, dia berpendapat bahwa setelah berpisah dari raganya, jiwa manusia akan berpindah ke falak (sphere) yang tidak berbeda dengan dunia rendahan ini. Falak itu secara khusus diciptakan oleh Tuhan sebagai tempat tinggal jiwa adalah substansi yang sepenuhnya terpisah dari raga. Bahkan, dalam kenyataannya ia merupakan bagian dari alam ruhani yang dalam istilah al-Qur’an dinamai dengan “alam Amr” atau “alam perintah”.
Tahap tertinggi yang bisa dicapai oleh jiwa manusia adalah pengalaman langsung (dzauq). Berbeda dengan al-Busthami dan al-Hallaj yang percaya bahwa tujuan tertinggi jiwa adalah penyatuan diri (ittihad) dengan Tuhan, al-Ghazali dan kaum sufi Islam pada umumnya memandang pengalaman langsung sebagai tujuan tertingginya. Saat mencapai tahap tersebut, jiwa berarti telah mencapai kondisi peniadaan diri (fana’). Dan pada saat itulah, ia akan mampu secara visual menyaksikan kesatuan segala sesuatu, kesatuan antara yang mencipta dan yang dicipta, yang tampak dan yang tak tampak, yang abadi dan yang binasa. Dengan demikian, tuntaslah ajaran Panteisme metafisis dari Ibn ‘Arabi. Panteisme metafisis Ibn ‘Arabi sepenuhnya berbeda dengan mistisisme unifer al-Busthami dan al-Hallaj yang cenderung bersifat personal dan eksistensional. Kesatuan yang diwacanakan oleh kedua sufi tersebut hanya mencakup kesatuan atau bahkan keserupaan antara sufi dan Tuhan yang oleh literatur mistis sering disebut “Sang Kekasih atau kebenaran (al-Haq)”.
Sepeninggal Ibn ‘Arabi, tasawuf mengarah pada hal yang lebih praktis dalam bentuk persaudaraan kolektif yang di dalamnya para pelajar (murid) berkumpul di sekeliling seorang guru (syaikh). Bersama-sama mereka terlibat dalam ibadah, tafakur dan dzikir demi sebuah trance mistis. Beberapa persaudara sufi yang dikenal sebagai para Darwisy Penari, berupaya mencapai trance ini melalui tarian memutar atau gerakan memutar. Praktik-praktik demikian ini pada umumnya berkembang di Turki. Tarekat sufi paling pertama didirikan oleh Abd. Al-Qadir al-Jilani (w. 1166), diikuti kemudian oleh tarekat Rifa’i yang didirikan oleh Ahmad al-Rifa’i (w. 1175) dan Maulawi, yaitu para Darwisy penari yang telah disebutkan sebelumnya. Pendiri tarekat yang disebut terakhir ini adalah seorang sastrawan Persia terkemuka yang dikenal juga dengan nama Maulana Jalal al-Din al-Rumi (w. 1273). Rumi meninggal dunia di Konya, Turki tempat tarekatnya yang terus berkembang hingga saat ini. Tarekat yang terkenal lainnya adalah al-Syadzili yang didirikan oleh Ali al-Syadzili (w. 1258) dan tarekat al-Badawi yang didirikan oleh Ahmad al-Badawi (w. 1276). Kedua tarekat ini berkembang luas di wilayah Mesir dan Afrika Utara. Dan hingga kini, keduanya masih menyimpan pengaruh keagamaan yang kuat di kawasan tersebut.

IV.    Analisis A History of Islamic Philosophy
Buku yang bertitel “A History of Islamic Philosophy” karya Majid Fakhry ini diterbitkan oleh Columbia University Press, New York. Lewat bahasa yang luwes namun memiliki autoritas, penulis mengantarkan kita kesuatu pemetaan sejarah Filsafat Islam. Bermula di pesisir Samudra Meditarian bagian Timur pada abad ke-6 Sebelum Masehi, ikhtiyar panjang manusia menemukan makna yang disebut “filsafat” ini  berlanjut hingga abad ke-8 Masehi dan menemukan kawah candradimukanya di wilayah-wilayah Muslim. Filsafat tumbuh dan berkembang menjadi sebuah kesadaran dan kebudayaan yang mencengangkan.
Dalam buku ringkas dan padat ini, Majid Fakhry mengemukakan tahap-tahap perkembangan filsafat, pergumulannya dengan teologi dan mistisisme Islam dalam konteks sejarah Islam. Dia juga memberikan napaktilas seputar sejumlah tokoh, gerakan, konsep dan karangan serta berbagai konflik dan kontroversi antara kelompok-kelompok pro dan kontra filsafat yang telah mewarnai perkembangan Islam selama berabad-abad lamanya.
Dalam kesederhanaannya, buku ini telah mengulas berbagai pokok masalah penting antara lain, pengalihbahasaan teks-teks yunani kuno dan penyebarannya ke dunia Muslim, perkembangan filsafat sistematis dalam Islam, pikiran-pikiran flamboyan dan asketik dalam mistisisme serta pengaruhnya terhadap pertumbuhan tasawuf, perdebatan-perdebatan gayeng diantara para teolog dan antara mereka serta para filosof seputar masalah-masalah ketuhanan dan religio-sosio-politis, interaksi Islam dengan filsafat dan teologi Barat serta kilasan-kilasan reflektif mengenai aneka arus pemikiran kontemporer di dunia Muslim.
Sebagai buku pengantar, buku ini sangat memadai. Peta kronologis, uraian terminologis, rangkuman berbagai kontroversi dan refleksi mengenai masa depan telah menjadikan introductory texs ini sangat layak dikaji. Salah satu yang mengesankan disepanjang buku ini adalah gairah sang penulis terhadap filsafat Islam yang sudah dibuktikannya baik dalam karier maupun karya. Gairah itu tidak akan mengesankan kecanggungan dan kegugupan, akan tetapi juga keingintahuan dan kepolosan.
Mengkritisi karya majid Fakhry dalam salah satu babnya yang berjudul “The Rise and Development of Islamic Mysticims”, ada beberapa hal yang perlu mendapat perhatian. Berikut ini akan penulis kemukakan sebagiannya yang menurut hemat penulis ada sedikit perbedaan dengan referensi lainya.
Majid Fakhry memulai tulisannya tentang perkembangan mistisisme dalam Islam pada abad ke tujuh. Namun menurut penulis, data ini akan lebih lengkap jika dikemukakan juga mulai awal timbulnya mistisisme dalam Islam.
Hamka, dalam bukunya “Tasawuf  Perkembangan dan Pemurniannya“ secara kronologis memaparkan perkembangan Tasawuf  adalah sebagai berikut, waktu permulaan tumbuhnya tasawuf belum menjadi suatu”ilmu yang teratur” atau “filsafat yang sistematik”. Demikianlah pertumbuhannya sampai kepada penghujung dari abad kedua dalam Islam. Lepas abad kedua masuk ke dalam abad ketiga, barulah mulai dia menjadi ilmu tersusun dengan beberapa kaifiah dan cara-cara yang tertentu. Pada abad keempat, tasawuf  sudah mulai tersebar keseluruh negeri Islam yang lain.
Memasuki abad kelima, dengan tokohnya al-Ghazali dapat mempertemukan kembali ilmu lahir dengan ilmu batin, fiqhy dengan tasawuf dan juga filsafat. Sedangkan pada abad keenam dan tujuh, terjadi perpaduan tasawuf dengan filsafat dan gerakan telah merata pada abad ke delapan. Meskipun nama tasawuf baru dipakai setelah dua atau tiga generasi pertama dan salah satu akarnya dapat ditemui pada praktek praktek spiritual di masa sebelum Islam yang telah dikenal sebagai Hunafa’ dan berkat praktek itu Muhammad sudah mengemban risalah Islamiyah menjadi wakil praktek mistisisme peninggalan leluhurnya Nabi Ibrahim dan Ismail. Dalam salah satu penyendiriannya di dalam gua hira’ di pinggir kota Makkah ketika berusia sekitar 40 tahun, beliau menerima wahyu al-Qur’an yang pertama.[13]
Sekalipun ada definisi pertama yang cocok untuk mendeskripsikan doktrin Wahdah al-Wujud, penulis lebih cenderung untuk menghindari pemakaian istilah panteisme untuk melabeli doktrin ini, karena definisi panteisme yang cocok itu tidak populer sedangkan panteisme dalam pengertian yang populer tidak tepat untuk mendeskripsikan doktrin Wahdah al-Wujud. Dengan alasan ini, pemakaian istilah panteisme untuk melabeli doktrin Wahdah al-Wujud dapat menimbulkan kesalahpahaman tentang doktrin ini.
Mengindentikkan Tuhan dengan alam sebagaimana diajarkan Panteisme menurut  penulis adalah penghinaan atau penghujatan terhadap Tuhan dan merupakan ajaran sesat dan syirik. Islam sebagai agama yang menganut monoteisme keras dan tak kenal kompromi, mengajarkan bahwa Tuhan dan alam tidak identik. Tuhan dan alam adalah dua realitas atau dua wujud yang berbeda. Tidak ada sesuatu pun atau siapa pun yang transenden terhadap alam semesta. Transendensi Tuhan sangat ditekankan dalam Islam. Wallahu ‘alam


DAFTAR RUJUKAN

Al-Alawy, Ahmad. 1993 A sufi Saint of The Twentieth Century, Terj. Abdul Hadi, Bandung, Mizan
Al-Barsany, Noer Iskandar, 2001. Tasawuf, Tarekat dan para sufi,  Jakarta, Raja Grafindo Persada
Hamka, 1993. Tasawuf, perkembangan dan pemurniannya, Jakarta, Pustaka Panji Mas
Ibn Abbad, Muhammad, 1993. Letters on the sufi Fath, Terj. Nasrullah, Bandung, Mizan
Zaini, Fudoli, 2000. Sepintas Sastra Sufi, Surabaya, Risalah Gusti





[1] Al-Busyairi, Abd. Karim, 1912. Al-Risalah al-Qusyoiriyah, Kairo, tp, h.188
[2] Al-Badawi, Abd.Rahman, tt. Rabi’ah, Syahidan al-Isyq al-Ilahi, Kairo, tp, h.151
[3] Smith,M, 1931. Studies in Early Mysticism in the Near and Middle East, London, Sheldon Press, h.223.
[4] Massignon, L, 1992. Essai Surles Origines du Lexique Tchnique de La Mystique Musulmane, Paris, Paul Geuthner, 221.
[5] Al-Busyairi, Abd. Karim, 1912. Al-Risalah al-Qusyairiyah, Kairo,tp, h.584.
[6] Badawi, 1949. Syathahat al-Shufiyah, Kairo, tp, h.116.
[7] Zaehar, R.C., 1960. Hindu and Mysticism, New York, Schocken Booksm, h.112
[8] Massignon, L, 1992. La Passion d’al-Hallaj, Paris, Paul Geuthner, 289.
[9] Al-Ghazali, Hamid Abu, tt. Al-Munqidz min al-Dhalal, Beirut, tp, h.39
[10] Al-Ghazali, Abu Hamid, 1964. Misykat al-Anwar, Kairo, tp, h.55-56
[11] Al-Ghazali, Abu Hamid, 1959. Al-Munqidz min al-Dhalal, Beirut, tp, h.39
[12] Ibn ‘Arabi, Muhyi al-Din, 1949. Fushus al-Hikam, Kairo, tp, h.38, 63
[13] Al-Alawy, Ahmad, 1993. A Sufi Saint of the Twentieth Century, terj. Abdul Hadi, Bandung, Mizan, h.32