Selasa, 06 Desember 2016



LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM
Pertumbuhan Dan Perkembangan Dakwah Islamiyah
di Masa Dinasti Abbasyiah

Oleh :
Mashudi Zusro,S.H., M.Si
Sekolah Tinggi Agama Islam Grobogan (STAIG)
Maszoesfizoes@ymail.com
Jl. Kapten Rusdiyat 1 Kablukan Danyang Kec. Purwodadi Kab. Grobogan


ABSTRAK
Madrasah adalah salah satu bentuk kelembagaan pendidikan Islam yang memiliki sejarah sangat panjang. Pendidikan Islam, dalam pengertian umum (luas), dapat dikatakan tumbuh dan berkembang seiring dengan kemunculan Islam itu sendiri, yakni berawal dari pendidikan yang bersifat informal berupa Dakwah Islamiyah. Dalam hal Dakwah Islamiyah, yang terkait dengan pendidikan, awal mulanya diselenggarakan di rumah-rumah yang kemudian dikenal dengan sebutan Dar al-Arqam. Dengan pesatnya pertumbuhan dan perkembangan Islam, maka terbentuk masyarakat muslim. Kemudian, pendidikan Islam diselenggarakan di masjid-masjid dalam bentuk halaqah. Kebangkitan madrasah merupakan awal dari bentuk pelembagaan pendidikan Islam secara formal di masa dinasti Abbasyiah.

Key Word : Dakwah Islamiyah, Halaqoh, Lembaga, Dinasti Abbasyiah

I.              Pendahuluan
Hal penting yang perlu dikemukan sebagai pengantar dalam pendahuluan ini adalah bahwa Lembaga Pendidikan Islam mengalami perkembangan sesuai dengan perubahan dan kebutuhan masyarakat muslim kala itu. Kaum muslimin pada masa awal Islam (shadral-Islam), konsentrasi mereka lebih terpusat kepada Al-Qur’an ketimbang hal-hal lain, seperti keterampilan membaca dan menulis. Ibn Khaldun mencatat bahwa pada masa awal kedatangan Islam orang-orang Quraisy yang pandai baca tulis hanya berjumlah 17 orang semuanya laki-laki. Pada masa Umawi, masyarakat muslim telah banyak yang memperhatikan al-‘Ulum al-Naqliyah (Islamic Sciences) yaitu ilmu-ilmu yang berkaitan dengan al-Qur’an meliputi al-Tafsir, al-Qiraat, al-Hadits, Ushul al-Fiqh dan al-‘Ulum al-Lisaniyah seperti ‘Ilm al-Lughah, ‘Ilm al-Nahw, ‘Ilm al-Bayan dan al-Adab. Pada masa Abbasyi sangat mungkin masyarakat muslim kala itu mulai berhubungan dengan al-‘Ulum al-‘Aqliyah (induktif-empiris) seperti kedokteran, filsafat dan matematika.[1]
Perkembangan lembaga pendidikan Islam selain dipengaruhi oleh faktor kemajuan ilmu sebagaimana dijelaskan di atas, juga disebabkan oleh peningkatan kebutuhan. Pada masa awal, yang menjadi kebutuhan utama ialah mendakwahkan Islam. Oleh sebab itu, sasaran pun pada mulanya ditujukan kepada orang-orang dewasa. Dan ketika keadaan semakin kondusif, penganut Islam semakin banyak dan kuat, munculah kebutuhan untuk melakukan pendidikan bagi anak-anak. Selanjutnya timbul kebutuhan untuk mendidik guru, untuk pengembangan ilmu dan untuk kebutuhan masyarakat yang lebih maju, termasuk di dalamnnya mempersiapkan pegawai.[2]
Demikian gambaran singkat tentang tingkat intelektualitas umat Islam, mulai dari masa awal kedatangan Islam sampai masa Abbasyi dalam kaitannya dengan perkembangan lembaga pendidikaan Islam. Dalam makalah ini, penulis akan menggali data-data sejarah dan mengangkatnya secara selektif dan kritis tentang pertumbuhan, perkembangan dan pembentukan lembaga pendidikan Islam dengan berbagai keanekaragaman bentuk serta dinamika yang mengiringinya. Agar melahirkan hasil kajian yang mendalam serta tidak membias, batasan kajian lebih banyak penulis fokuskan pada masa dinasti Abbasiyah.

II.      Lembaga Pendidikan Islam
A.           Bentuk dan Macam Lembaga Pendidikan Islam
Tahun 459 H (1076 M) dipandang sebagai moment penting dalam sejarah kelembagaan pendidikan Islam. Pada tahun tersebut, Madrasah pertama didirikan di Baghdad oleh Nidzam al-mulk, seorang wazir dari dinasti Saljuk dengan nama Madrasah Nidzamiyah. Terobosan besar Nidzam al-mulk dalam dunia pendidikan ini kemudian menimbulkan respek dan respon yang bagus dikalangan para penguasa dan pejabat pemerintahan di wilayah-wilayah Islam lain, sehingga terjadi peningkatan jumlah madrasah secara signifikan yang merambah wilayah perkotaan sampai menjangkau wilayah pelosok.
Sebelum era madrasah, kajian-kajian keislaman diselenggarakan dalam forum-forum yang amat beragam, dilihat dari aspek lokasi, peserta didik maupun materi kajian seperti kuttab, masjid, kediaman para ulama, hawanit, dan lain sebagainya yang akan penulis rinci dalam pembahasan selanjutnya.
Fenomena sosial menarik yang patut dicermati, tatkala madrasah-madrasah mulai bermunculan ialah bahwa jenis lembaga pendidikan yang satu ini segera mendapat tempat di hati umat. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor antara lain, sistem pendidikannya yang baku, komponen kurikulum yang memiliki orientasi jelas, ketersediaan sarana infrastruktur dan sarana penunjang lain yang lebih memadai.
Perlu juga yang menjadi catatan, dengan keberadaan madrasah bukan berarti lembaga-lembaga pendidikan yang telah eksis sebelumnya menjadi berhenti atau tergantikan posisi dan aktifitasnya. Akan tetapi, tetap berlangsung dengan segala kelebihan, kekurangan dan keterbatasan masing-masing.[3]
Dan secara garis besarnya, sejarah perkembangan lembaga pendidikan Islam Klasik dapat di bagi kedalam dua periode. Pertama, forum-forum kajian pra kemunculan madrasah antara lain meliputi: kuttab, masjid, manazil (kediaman)  para ulama, qusur (istana) para pejabat pemerintah, al-shalunat al-adabiyah, hawanit al-waraqin, perpustakan dan al-badiyah. Kedua, Madrasah. Agar mendapatkan tashawwur yang lebih kongrit, berikut ini akan penulis uraikan satu-persatu secara singkat.
-                 Kuttab
Dilihat dari sudut tinjauan linguistik, kuttab yang merupakan bentuk plural dari katib memiliki beberapa arti, salah satunya adalah “madrasah“ atau “sekolahan“. Kuttab dalam konteks kajian ini ialah ruangan yang berada dalam lingkungan rumah para pengajar yang dijadikan sebagai tempat belajar-mengajar. Kuttab yang sudah merupakan kata jama’ masih di jama’kan menjadi katatib.[4] Dikenal ada dua jenis Kuttab. Pertama, kuttab yang mengajarkan qiraah (membaca) dan kitabah (menulis), terutama bagi anak-anak. Kedua, Kuttab yang mengajarkan al-Qur’an dan mabadi’ (materi-materi dasar) ajaran Islam. Pembahasan tentang kuttab disini memang sengaja penulis dahulukan, mengingat kemunculan kuttab berdasarakan berbagai sumber lebih awal daripada masjid.[5] Bahkan tradisi belajar di kuttab ini telah berlangsung sejak masa pra- Islam.
-                 Manazil (Rumah kediaman)
Tipe pendidikan ini termasuk dalam kategori pendidikan yang tertua, bahkan lebih dulu ada sebelum halaqah di masjid. Seperti yang telah penulis kemukakan diawal muqaddimah makalah ini, Nabi Muhammad SAW dan para pengikutnya menjadikan rumah al-Arqam Bin Abi al-Arqam sebagai markas gerakan dan salah satu aktifitasnya adalah pengajaran pokok-pokok ajaran agama dan penyampaian wahyu-wahyu Illahi yang turun kepada Nabi Muhammad SAW. Selain Dar al-Arqam, baik dalam periode Makkah maupun Madinah sebelum didirikannya masjid, Nabi Muhammad SAW menggunakan rumah kediaman Beliau untuk kegiatan pendidikan. Maka berduyun-duyun kaum muslimin ke rumah beliau untuk tujuan meminta pengarahan dan bimbingan, sehingga fungsi rumah sebagai tempat peristirahat yang penuh dengan ketenangan dan kenyamanan, sedikit banyak menjadi tereduksi. Hal ini  juga terjadi pada keluarga Rasul SAW, sekalipun Beliau tidak pernah mengutarakan hal tersebut sampai akhirnya turun firman Allah,  surat Al-ahzab : 53. Sejarah mencatat bahwa kediaman-kediaman ulama yang ditempati sebagai forum kajian ilmiah antara lain adalah rumah Ibnu Sina, al-Ghazali,[6] Ali bin Muhammad al-Fasihi, Ya’qub bin Killis, Abu Sulaiman al-Sijistani, dan masih banyak lagi.


-                 Masjid
Pendidikan Islam dan masjid merupakan satu kesatuan yang integral, dimana masjid adalah Islamic center bagi segala kegiatan keagamaan, termasuk pendidikan di dalamnya. Mulai zaman Nabi dengan masjid Quba’ dan Nabawi-nya hingga masjid Baghdad di masa dinasti Abbasyi, masjid selalu menjadi alternatif utama dalam penyelenggarakan pendidikan Islam.
-                 Qusur (Istana) Para Pejabat Pemerintah
Salah satu orientasi pendidikan Islam adalah mempersiapkan peserta didik untuk menyongsong masa depan mereka dengan sebaik-baiknya. Ada sebuah temuan menyebutkan bahwa di istana-istana kediaman para khalifah dan pejabat pemerintah berlangsung kegiatan pendidikan untuk putra-putra para bangsawan tersebut. Hanya saja, sedikit perbedaan dengan lembaga-lembaga pendidikan yang ada di masa itu. Para orang tua berwenang memilih dan menentukan materi yang diajarkan agar sesuai dengan beban tanggungjawab yang kelak akan disandang oleh anak-anak mereka. Para pengajar istana biasa disebut muaddib. Mereka antara lain; al-Ahmar yang ditugaskan oleh khalifah Harun al-Rashid untuk putranya al-Amin.
-                 Hawanit al-Warraqin (Toko-toko Penjual Buku)
Sebagai komparasi untuk jenis pendidikan ini adalah pasar ‘Ukadz, Majnah dan Dzi al-Majaz di masa pra-Islam, dimana selain digelar transaksi perdagangan juga dibuka ajang seni dan forum ilmiah, seperti pelantunan syi’ir, munadzarah (debat) dan khitobah. Hal ini tampaknya juga terjadi pada hawanit al-warraqin (toko-toko penjual buku). Selain menjalankan aktifitas bisnisnya, para pemilik toko tidak semata-mata mencari laba karena mereka sesungguhnya adalah sastrawan-sastrawan cerdas yang menyediakan tempat untuk bertukar pikiran dengan para pengunjung yang menziarahi tokonya.
-                 Al-Shalunat al-Adabiyah
Forum ilmiah yang disebut shalunat amat populer di masa Amawi dan Abbasyi. Sebenarnya merupakan pengembangan dari majelis-majelis al-Khulafa’ al-Rasyidin. Khalifah yang merupakan pemimpin negara tertinggi selain mengurus masalah-masalah pemerintahan juga memberikan fatwa-fatwa agama melalui forum masjid atau pun di luar masjid. Jika kemudian khalifah mendapatkan kesulitan dalam menemukan solusi bagi persoalan yang dihadapinya, beliau mengundang para sahabatnya untuk saling bertukar pikiran.[7] Disinilah titik temu antara majelis-majelis al-Khulafa’ al-Rasyidin dengan shalunat adabiyyah yang populer setelahnya. Dikarenakan forum shalunat ini melibatkan kepala negara (khalifah), maka banyak ketentuan-ketentuan protokoler yang harus diperhatikan dan dipenuhi.
-                 Perpustakaan
Para ulama dan sarjana dari berbagai macam disipiln keilmuan, pada umumnya menulis buku-buku dalam bidang konsentrasinya masing-masing, untuk selanjutnya diajarkan kepada para penuntut ilmu. Bahkan para ulama dan sarjana tersebut memberikan kesempatan kepada para penutut ilmu untuk mengakses buku-buku yang ada di perpustakaan pribadi mereka. Disamping itu, berkembang pula perpustakaan-perpustakaan yang bersifat umum yang diselenggrakan oleh pemerintah atau merupakan wakaf dari para ulama dan sarjana. Bait al-hikmah di baghdad yang didirikan oleh Khalifah Harun al-Rasyid merupakan contoh dari perpustakaan Islam yang lengkap yang berisi ilmu-ilmu agama Islam dan bahasa arab, bermacam-macam ilmu pengetahuan yang berkembang pada masa itu dan berbagai buku-buku terjemahaan dari bahasa Yunani, Persia, India, Qibti dan Arami.[8]
-                 al- Badiyah
Bahasa Arab sampai menjelang kedatangan Islam tetap terpelihara kemurniannya, akan tetapi kemudian tercemari oleh bahasa-bahasa jiran (tetangga) sebagai akibat interaksi perdagangan yang mereka jalin. Kontaminasi bahasa yang tidak bisa ditolerir tersebut lazim disebut dengan lahn. Karena frekwensi interaksi mereka yang demikian tinggi dengan para pendatang ataupun sebaliknya, mereka yang menjadi pendatang di daerah-daerah tetangga. Fenomena sosial ini sangat kontras jika dibandingkan dengan masyarakat badawi (pedesaan) yang bahasa mereka relatif lebih murni dan terjaga.[9] Realitas inilah yang kemudian mendorong para pelajar yang peduli akan orisinilatas kebahasaan mereka kemudian pergi untuk belajar bahasa kepedalaman badiyah (pedalaman), bahkan tidak sedikit yang memutuskan untuk tinggal sementara waktu disana.

B.            Proses Transformasi Dari Masjid Ke Madrasah
Mengenai proses trasformasi dari masjid ke madrasah, berkembang beberapa teori yang sepintas berbeda satu sama lain. Diantara teori yang ingin dikemukakan pada bagian ini adalah pendapat George Makdisi. Dalam sejumlah karya kesejarahannya, ia berkesimpulan bahwa perpindahan lembaga pendidikan Islam dari masjid ke madrasah terjadi secara evolutif, gradual dan tidak langsung, akan tetapi melalui tahapan perantara, yaitu masjid khan. Teori ini agaknya menarik, karena mempertimbangkan lembaga masjid khan sebelum lembaga-lembaga madrasah berkembang secara luas pada abad pertengahan. Teori Makdisi ini penulis coba sandingkan dengan teori yang dikemukakan oleh Ahmad Shalabi.
1.             Tahapan Tahapannya
Dalam kajiannya yang lebih terfokus pada Madrasah Nidzamiyah periode pertengahan di baghdad, Makdisi mengajukan teori bahwa asal mula pertumbuhan madrasah, yaitu ada tiga tahapan: Tahapan Masjid, Tahapan Khan, dan Tahapan Madrasah. Pertama, tahapan masjid, berlangsung terutama pada abad-abad kedelapan dan kesembilan. Masjid dalam konteks ini bukanlah masjid yang berfungsi sebagai tempat jama’ah sholat bagi seluruh penduduk kota yang biasa dikenal dengan masjid jami’ atau masjid raya atau catedral mosque atau congregatual mosque. Masjid seperti ini biasanya diatur oleh negara dan tidak terbuka untuk pendidikan agama bagi umum. Masjid yang dimaksud sebagai tempat pendidikan adalah masjid biasa (masjid college) yang disamping untuk tempat jama’ah sholat, juga untuk majelis ta’lim (pendidikan). Di baghdad pada masa itu terdapat beribu-ribu masjid jenis terakhir ini diberbagai tempat yang menyebar. Para penguasa seperti Adud al Daulah (w. 965), al-Sahib bin ‘Abbad (w. 995) dan Di’lil al Sijistani (w. 965) merupakan pelopor yang mendukung perkembangan masjid untuk pendidikan. Tahapan kedua, lembaga Masjid Khan, yaitu masjid yang dilengkapi dengan bangunan khan (asrama, pemondokan) yang masih bergandengan dengan masjid.[10] Berbeda dengan masjid biasa, masjid khan menyediakan tempat penginapan yang cukup representatif bagi para pelajar yang datang dari berbagai kota. Tahapan ini mencapai perkembangan yang sangat pesat pada abad 10. Menurut Makdisi, Badr bin Hasanawaih al Kurdi (w. 1015) yang menjadi gubernur di beberapa wilayah di bawah kekuasaan Adud al Daulah mendirikan sekitar 3.000 masjid khan pada Nidzamiyah Baghdad, pernah aktif di masjid khan yang ditempati oleh sekitar sepuluh atau dua puluh murid yang berguru kepadanya.
Setelah dua tahap perkembangan di atas barulah muncul madrasah yang khusus diperuntukan sebagai lembaga pendidikan. Madrasah dengan demikian menyatukan kelembagaan masjid biasa dengan masjid khan. Komplek madrasah terdiri dari ruang belajar, ruang pondokan dan masjid. Menurut Makdisi, perkembangan madrasah dalam polanya yang utuh dan kongkrit dipelopori oleh Nidzam al-Mulk.[11] Hal ini tidak berarti bahwa Nidzam al-Mulk dengan Madrasah Nidzamiyahnya.[12] Yang berdiri tahun 1076 M adalah orang pertama yang mendirikan madrasah dalam sejarah Islam abad pertengahan. Apa yang menjadikan ia berjasa dalam pengembangan madrasah adalah ia mempopulerkan pendidikan madrasah bersamaan dengan reputasinya sebagai wazir rezim Malik Syah dalam kekuasaan saljuk.[13]
Selain Makdisi, sarjana yang memberikan perhatian terhadap sejarah kelembagaan madrasah adalah Ahmad Shalabi. Menurutnya, perkembangan dari masjid ke madrasah terjadi secara langsung, tidak memakai lembaga perantara.[14] Perkembangan madrasah dapat dikatakan sebagai konsekuensi logis dari semakin ramainya kegiatan pengajian di masjid yang fungsi utamanya adalah tempat ibadah. Agar tidak mengganggu ketentraman dalam beribadah di masjid, maka kegiatan pendidikan dibuatkan tempat khusus yang dikenal dengan madrasah. akan tetapi, masjid yang dimaksudkan oleh Ahmad Shalabi ini kelihatannya merupakan masjid yang telah mengalami modifikasi yang telah dilengkapi dengan serambi-serambi belajar dan tempat-tempat pemondokan bagi mereka yang datang dari jauh. Gambaran majid seperti ini menyerupai apa yang disebut Makdisi sebagai masjid khan. Hal ini dapat dibuktikan dengan dimasukkannya (masjid) jami’ Damaskus yang didirikan oleh al-Walid bin ‘Abd al-Malik dalam kategori masjid secara umum, padahal masjid tersebut memiliki sifat Masjid Khan. Jika demikian, tidak ada perbedaan prinsip antara kedua pendapat tersebut. Perbedaan hanyalah pada rincian pentahapannya. Rupanya Ahmad Shalabi tidak begitu membedakan jenis-jenis masjid.
2.             Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Transformasi Pendidikan Dari Majid Ke Madrasah
Jika diamati lebih lanjut ternyata tempat-tempat pendidikan di atas, kecuali madrasah bukan tempat yang dipersiapkan khusus untuk pendidikan. Data diperoleh dari penuturan Ahmad Shalabi berikut, masyarakat muslim pada masa-masa awal telah memperluas fungsi masjid. Mereka menjadikan masjid sebagai tempat untuk ibadah, lembaga pengajaran, rumah pengadilan, aula pertemuan bagi ashkar (tentara) dan rumah penyambutan para duta.[15]
Fungsi masjid sebagai tempat pendidikan dalam perkembangannya dipertimbangkan kembali, sehingga mendorong dibukanya lembaga-lembaga pendidikan baru. Berkenaan dengan hal tersebut, terdapat sejumlah teori yang menjelaskan alasan dipertimbangkannya kembali masjid sebagai tempat pendidikan, sehingga terjadi transformasi lembaga pendidikan dari masjid kebentuk lainnya.
Beberapa alasan yang menjadikan penyelenggaraan pendidikan di masjid dipetimbangkan lagi adalah : Pertama, kegiatan pendidikan di masjid dianggap telah mengganggu fungsi utama lembaga itu sebagai sarana ibadah. Dengan jelas Ahmad Shalabi mengatakan, sejak masa awal Islam banyak orang berminat untuk mempelajari Islam. Bertambah tahun semakin banyak orang yang menghadiri pertemuan untuk belajar ilmu (halaqoh ‘ilm). Dari setiap group pertemuan terdengar suara dari seorang guru yang memberikan pelajarannya dan dari suara-suara peserta didik yang bertaya dan berdiskusi. Maka timbullah suara-suara keras dari beberapa group pertemuan tersebut. Sedikit banyak hal itu mengakibatkan gemuruh yang mengganggu pelaksanaan ibadah sebagaimana mestinya. Jelas sekali bahwa masjid menjadi sulit untuk dijadikan tempat ibadah dan tempat belajar sekaligus. Athiyyah al-Abrasyi memiliki pandangan tidak jauh berbeda dengan Shalabi. Menurutnya, anak-anak kecil yang belajar di masjid kurang menjaga diri dari najis dan kotoran, padahal tanzih al-masajid (menjaga kebersihan masjid) merupakan salah satu aspek yang sangat ditekankan oleh Baginda Rasulullah SAW.
Kedua, berkembangnya kebutuhan ilmiah sebagai akibat dari perkembangan ilmu pengetahuan. Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan, semakin banyak pula disiplin ilmu yang bermunculan. Dalam kaitan ini, Ahmad Shalabi menyatakan bahwa ilmu berkembang dengan berkembangnya zaman. Pengetahuan pun lebih maju lagi. Situasi demikian dapat dimengerti sebab pada abad keempat - waktu yang dekat dengan berdirinya madrasah - gerakan pemikiran berkembang dengan pesat.[16] Termasuk dalam kategori ini adalah apa yang dikemukakan oleh Adam Metz bahwa pendirian madrasah berkaitan dengan diketemukannya metode pengetahuan, sehingga masjid kurang dipertimbangkan sebagai tempat utama pendidikan.
Ketiga, timbulnya orientasi baru dalam menyelenggarakan pendidikan. Sebagian guru mulai berfikir untuk mendapatkan rizqi melalui kegiatan pendidikan, dikatakan bahwa ada diantara pengajar yang pekerjaannya sepanjang hari memang mengajar dan karena itu berusaha untuk memperoleh penghasilan yang memadai. Untuk menjamin akan hal itu, maka dibangunlah lembaga-lembaga lain yaitu madrasah karena jaminan seperti itu tidak mengkin diperoleh di masjid.[17]
Pengungkapan teori-teori di atas atau mungkin ada teori lain yang bukan untuk diperdebatkan yang ingin menunjukkan telah terjadi perkembangan kebutuhan dan ilmu pengetahuan dalam masyarakat Islam di masa dinasti Abbasyi pada abad keempat hijrah, sehingga masjid tidak lagi dianggap cocok untuk tempat pendidikan, setidaknya dalam batas tertentu. Namun, satu hal yang perlu menjadi catatan adalah bahwa dengan berdirinya madrasah tidak berarti kegiatan pendidikan ditempat-tempat lain termasuk masjid, berhenti atau tergantikan. Semuanya tetap berjalan dengan kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Disamping itu, usaha-usaha pribadi ulama dan guru sufi dalam melakukan aktifitas pendidikan di rumah kediaman mereka tetap berlangsung sampai sekarang.

III.        Madrasah Sebagai Awal Pelembagaan Pendidikan Islam Secara Formal
Seperti penjelasan keterangan di atas, madrasah merupakan prestasi abad kelima Hijriyah. Madrasah pertama yang didirikan pada abad kelima hijriyah (ke-11 Masehi) itu adalah Madrasah Nidzamiyah yang didirikan pada tahun 457 H oleh Nidzam al-Mulk. Akan tetapi, banyak bukti yang signifikan justru menunjukkan bahwa madrasah telah berdiri sejak abad keempat hijriyah yang dihubungkan dengan penduduk Naisabur. Hasan Abd al-‘Al yang secara khusus melakukan kajian mengenai pendidikan Islam pada abad tersebut, memperkuat temuannya dengan mengajukan data-data berdasarkan karya penulis-penulis abad keempat sendiri. Beberapa sumber yang dia kutip antara lain, Ahsan al-Taqasim Fi Ma’rifat al-Aqalim karya Maqdisi (w. 378 H), Tabaqat al-Syafi’iyyah al-Kubra karya al-Subki (w. 316-388) dan al-Rasail karya Badi’ al-Zaman al-Hamdani (w. 398 H). Bahkan al-Hakim al-Naisaburi (w. 406 H) pengarang Tarikh Naisabur menyebutkan bahwa Abu Ishaq al-Isfirayini (w. 418 H) adalah orang pertama yang mendirikan madrasah di Naisabur.[18]
Namun demikian, tidak dapat disangkal bahwa pengaruh Madrasah Nidzamiyah melampaui pengaruh madrasah-madrasah yang didirikan sebelumnya. Sehingga tidak berlebihan, jika pendirian Madrasah Nidzamiyah dipandang sebagai pembatas untuk membedakan dengan era pendidikan Islam sebelumnya.
Sebagai suatu ide, madrasah mempunyai pengaruh yang luas dan monumental. M.M. Sharif dalam karyanya Muslim Thought: Its Origin and Achievement mengatakan, pendirian madrasah-madrasah di barat adalah hasil inspirasi dan pengaruh madrasah Nidzamiyah. Hal ini dibuktikan bahwa tradisi akademik Barat secara historis banyak mengambil keuntungan dari tradisi madrasah.
Berbicara mengenai pendidikan madrasah, keterlibatan pemerintah tidak bisa diabaikan begitu saja. Beberapa pejabat pemerintah yang sering disebut memiliki kaitan dengan ide serta penyebaran adanya madrasah adalah Nidzam al-Mulk (456-485 H), Nur al-Din Zanki (541-569 H), Soleh al-Ayyubi (564-589 H) dan al-Mustansir Billah (623-640 H).
Madrasah tetap eksis dan hidup hingga era modern. Akan tetapi, eksistensinya menjadi dipertanyakan ketika kurikulumnya masih dimonopoli oleh al-‘Ulum al-Naqliyah (Islamic Sciences). Karena posisi madrasah yang menaruh jarak dengan sains modern, maka madrasah sering disebut sebagai lembaga tradisional.

IV.        Kesimpulan
Lembaga Pendidikan Islam memiliki sejarah yang amat panjang, dimana secara evolutif, gradual, tumbuh dan berkembang seiring dengan semakin majunya keilmuan dan meningkatnya kebutuhan kaum muslimin. Dimulai dari kajian keilmuan yang diselenggarakan di Katatib, Dar (rumah-rumah), masjid, Shalunat dan lain sebagainya. Lembaga Pendidikan Islam akhirnya menemukan bentuknya pada masa Abbasyi dalam wujud madrasah. Akhirnya, ada satu hal yang perlu kita renungkan bersama, bagaimanakah format lembaga pendidikan Islam yang paling ideal untuk menjawab tantangan zaman.......


DAFTAR RUJUKAN

Al-Abrasi, Muhammad ‘Athiyyah, tt. Al-Tarbiyah al-Islamiyyah, Kairo, al-Dar al-Qaumiyyah.
Shalabi, Ahmad, 1987. Al-Tarbiyah al-Islamiyyah; Nuzumuha, Falsafatuha, Tarikhuha, Kairo, Maktabah al-Nahdlah al-Misriyyah.
---------------------, 1987. al-Tarbiyah wa  al-Ta’lim fi al-Fikr al-Islami, Kairo, Maktabah Nahdlah al Mishiriyyah.
---------------------, 1987. Al-Siyasah fi al-Fikr al-Islami, Kairo, Maktabah al-Nahdlah al-Mishiyyah.
----------------------, 1954. History of Muslim Education, Beirut, Dar al-Kasysyaf.
M.M. Syarif, 1975. Al-Fikr al-Islami, Manabi’uhu wa Atsaruhu, terj. Ahmad Shalabi, Kairo, Maktabah al-Nahdlah al-Mishriyyah.
Makdisi, George, 1981. The Rise Colleges, Institution of Learning in Islam and The West, British, Edinburgh University Press.
Al-Thabari, Muhammad bin Jarir, Tarikh al-Thabari III.
Abd al-‘Al, Hasan, 1978. Al-Tarbiyah al-Islamiyyyah fi al-Qarn al-Rabi’ al-Hijri, Kairo, Dar al-Fikr al-‘ibara.
Maksum, 1999. Madrasah : Sejarah dan Perkembangannya, Jakarta, Logos Wacana Ilmu.
Zuhairi, dkk, 1997. Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta, Bumi Aksara.
Munawwir, Ahmad Warson, 1997. al-Munawwir; Qamus al-‘Arabi al-indunisi, Surabaya, Pustaka Progresif.


[1] Maksum, 1999. Madrasah: Sejarah Dan Perkembangannya, Jakarta, Logos Wacana Ilmu, h. 53-54. Ahmad Shalabi, 1987. Al-Tarbiyah, al-Islamiyah, Nuzumaha, Falsafatuha, Tarikhuha, Kairo, Maktabah al-Nahdlah al-Mishriyah, h. 44.
[2] Maksum, 1999. Madrasah: Sejarah Dan Perkembangannya, h. 56-57.
[3] Shalabi, Ahmad, 1987. Al-Tarbiyah wa al-Ta’lim fi al-Fikr al-Islami, Kairo, Maktabah al-Nahdlahal-Mishriyah, VIII, h. 45
[4] A.W. Munawwir, 1997. Al-Munawwir, Surabaya, Pustaka Progresif, XIV, h. 1187
[5] Salah satu sumber menyatakan bahwa kebutuhan umat terhadap ketrampilan baca tulis di masa-masa awal kedatangan Islam begitu mendesak. Hal tersebut dapat dicermati dari kebijakan Rasulullah SAW terhadap para tawanan perang Badar.
[6] Lihat terjemahan (biografi) beliau dalam pengantar kitab Ihya’ ‘Ulum al-Din.
[7] Shalabi, Ahmad, 1987. Al-Siyasah fi al-Fikr al-Islami, Kairo, Maktabah al-Nahdlah al-Mishriyah
[8] Zuhairi, 1997. Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta, Bumi Aksara, h. 98-99
[9] Karena alasan pula Ibunda Rasulullah mengirim Beliau kepada Halimah dari Bani Sa’ad sebagai Ibu susuan.
[10] Makdisi, George, 1981. The Rise  of Colleges, Institution of Learning in Islam, British, Edinburgh University Press, h. 23-34
[11] M.M. Sharif, 1975. Al-Fikr al-Islami: Manabi’uhu Atharuhu, terj. Ahmad Shalabi, Cairo, Maktabah al-Nahdlah al-Mishriyah, h.89-96
[12] Kurikulum Madrasah Nidzamiyah cenderung berorientai kepada studi-studi teologi (luhut). Ruben Levy menyatakan, bahwa Universitas-universitas Eropa yang kemudian bermunculan banyak yang meniru kurikulum Nidzamiyah”. Al-Ghazaly tercatat sebagai salah seorang staf pengajar di Madrasah Nidzamiyah selama 4 tahun. Lihat M.M. Sharif, al-Fikr al-Islami, terj. Ahmad Shalabi, h. 89-96
[13]Maksum, Sejarah Madrasah, h. 58
[14]Shalabi, Ahmad, 1954. History of Muslim Education, Beirut, Dar al-Kasysyaf, h. 257-259
[15] Shalabi, Ahmad, al-Tarbiyah al-Islamiyah, h. 102
[16] Al-‘al, Husain Abd, 1978. Al-Tarbiyah al-Islamiyah fi al-Qorn Rabi’ al-Hijri, Kairo, Dar al-Fikr al-‘Arabi, h. 182i
[17] Shalabi, Ahmad, al-Tarbiyah al-Islamiyah, h. 114
[18] Maksum, Madrasah: Sejarah Dan Perkembangannya, h. 60

Tidak ada komentar:

Posting Komentar