LEMBAGA
PENDIDIKAN ISLAM
Pertumbuhan Dan Perkembangan Dakwah Islamiyah
di Masa Dinasti Abbasyiah
Oleh :
Mashudi Zusro,S.H., M.Si
Sekolah Tinggi Agama Islam Grobogan (STAIG)
Maszoesfizoes@ymail.com
Jl. Kapten Rusdiyat 1 Kablukan Danyang Kec.
Purwodadi Kab. Grobogan
ABSTRAK
Madrasah
adalah salah satu bentuk kelembagaan pendidikan Islam yang memiliki sejarah
sangat panjang. Pendidikan Islam, dalam pengertian umum (luas), dapat dikatakan
tumbuh dan berkembang seiring dengan kemunculan Islam itu sendiri, yakni
berawal dari pendidikan yang bersifat informal berupa Dakwah Islamiyah. Dalam hal Dakwah Islamiyah, yang terkait dengan pendidikan,
awal mulanya diselenggarakan di rumah-rumah yang kemudian dikenal dengan sebutan
Dar al-Arqam. Dengan pesatnya pertumbuhan dan perkembangan Islam, maka terbentuk
masyarakat muslim. Kemudian, pendidikan Islam diselenggarakan di masjid-masjid dalam
bentuk halaqah. Kebangkitan madrasah
merupakan awal dari bentuk pelembagaan pendidikan Islam secara formal di masa
dinasti Abbasyiah.
Key Word : Dakwah Islamiyah, Halaqoh, Lembaga,
Dinasti Abbasyiah
I.
Pendahuluan
Hal penting yang perlu
dikemukan sebagai pengantar dalam pendahuluan ini adalah bahwa Lembaga Pendidikan
Islam mengalami perkembangan sesuai dengan perubahan dan kebutuhan masyarakat
muslim kala itu. Kaum muslimin pada masa awal Islam (shadral-Islam), konsentrasi mereka lebih terpusat kepada Al-Qur’an
ketimbang hal-hal lain, seperti keterampilan membaca dan menulis. Ibn Khaldun
mencatat bahwa pada masa awal kedatangan Islam orang-orang Quraisy yang pandai
baca tulis hanya berjumlah 17 orang semuanya laki-laki. Pada masa Umawi,
masyarakat muslim telah banyak yang memperhatikan al-‘Ulum al-Naqliyah (Islamic Sciences) yaitu ilmu-ilmu yang
berkaitan dengan al-Qur’an meliputi al-Tafsir, al-Qiraat, al-Hadits, Ushul
al-Fiqh dan al-‘Ulum al-Lisaniyah seperti ‘Ilm al-Lughah, ‘Ilm al-Nahw, ‘Ilm
al-Bayan dan al-Adab. Pada masa Abbasyi sangat mungkin masyarakat muslim kala
itu mulai berhubungan dengan al-‘Ulum al-‘Aqliyah (induktif-empiris) seperti kedokteran, filsafat dan matematika.[1]
Perkembangan lembaga
pendidikan Islam selain dipengaruhi oleh faktor kemajuan ilmu sebagaimana
dijelaskan di atas, juga disebabkan oleh peningkatan kebutuhan. Pada masa awal,
yang menjadi kebutuhan utama ialah mendakwahkan Islam. Oleh sebab itu, sasaran
pun pada mulanya ditujukan kepada orang-orang dewasa. Dan ketika keadaan
semakin kondusif, penganut Islam semakin banyak dan kuat, munculah kebutuhan
untuk melakukan pendidikan bagi anak-anak. Selanjutnya timbul kebutuhan untuk
mendidik guru, untuk pengembangan ilmu dan untuk kebutuhan masyarakat yang
lebih maju, termasuk di dalamnnya mempersiapkan pegawai.[2]
Demikian gambaran
singkat tentang tingkat intelektualitas umat Islam, mulai dari masa awal
kedatangan Islam sampai masa Abbasyi dalam kaitannya dengan perkembangan
lembaga pendidikaan Islam. Dalam makalah ini, penulis akan menggali data-data
sejarah dan mengangkatnya secara selektif dan kritis tentang pertumbuhan, perkembangan
dan pembentukan lembaga pendidikan Islam dengan berbagai keanekaragaman bentuk serta
dinamika yang mengiringinya. Agar melahirkan hasil kajian yang mendalam serta tidak
membias, batasan kajian lebih banyak penulis fokuskan pada masa dinasti
Abbasiyah.
II.
Lembaga Pendidikan Islam
A.
Bentuk dan Macam Lembaga Pendidikan
Islam
Tahun 459 H
(1076 M) dipandang sebagai moment penting dalam sejarah kelembagaan pendidikan
Islam. Pada tahun tersebut, Madrasah pertama didirikan di Baghdad oleh Nidzam
al-mulk, seorang wazir dari dinasti Saljuk dengan nama Madrasah Nidzamiyah.
Terobosan besar Nidzam al-mulk dalam dunia pendidikan ini kemudian menimbulkan
respek dan respon yang bagus dikalangan para penguasa dan pejabat pemerintahan
di wilayah-wilayah Islam lain, sehingga terjadi peningkatan jumlah madrasah secara signifikan yang
merambah wilayah perkotaan sampai menjangkau wilayah pelosok.
Sebelum era madrasah, kajian-kajian keislaman diselenggarakan dalam
forum-forum yang amat beragam, dilihat dari aspek lokasi, peserta didik maupun
materi kajian seperti kuttab, masjid, kediaman para ulama, hawanit, dan lain sebagainya yang akan penulis rinci dalam pembahasan selanjutnya.
Fenomena sosial menarik yang patut dicermati, tatkala madrasah-madrasah
mulai bermunculan ialah bahwa jenis lembaga pendidikan yang satu ini segera
mendapat tempat di hati umat. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor antara
lain, sistem pendidikannya yang baku, komponen kurikulum yang memiliki
orientasi jelas, ketersediaan sarana infrastruktur dan sarana penunjang lain
yang lebih memadai.
Perlu juga yang menjadi catatan, dengan keberadaan madrasah bukan
berarti lembaga-lembaga pendidikan yang telah eksis sebelumnya menjadi berhenti
atau tergantikan posisi dan aktifitasnya. Akan tetapi, tetap berlangsung dengan
segala kelebihan, kekurangan dan keterbatasan masing-masing.[3]
Dan secara garis besarnya, sejarah perkembangan lembaga pendidikan
Islam Klasik dapat di bagi kedalam dua periode. Pertama, forum-forum kajian pra kemunculan madrasah antara lain meliputi: kuttab, masjid, manazil (kediaman) para ulama, qusur (istana) para pejabat pemerintah, al-shalunat al-adabiyah, hawanit
al-waraqin, perpustakan dan al-badiyah. Kedua, Madrasah. Agar
mendapatkan tashawwur yang lebih kongrit, berikut ini akan penulis uraikan satu-persatu
secara singkat.
-
Kuttab
Dilihat dari
sudut tinjauan linguistik, kuttab yang merupakan
bentuk plural dari katib memiliki beberapa arti, salah
satunya adalah “madrasah“ atau “sekolahan“. Kuttab dalam konteks kajian ini ialah ruangan yang berada dalam lingkungan
rumah para pengajar yang dijadikan sebagai tempat belajar-mengajar. Kuttab yang
sudah merupakan kata jama’ masih di jama’kan menjadi katatib.[4] Dikenal ada dua jenis Kuttab. Pertama, kuttab yang
mengajarkan qiraah (membaca) dan kitabah (menulis),
terutama bagi anak-anak. Kedua, Kuttab yang
mengajarkan al-Qur’an dan mabadi’ (materi-materi
dasar) ajaran Islam. Pembahasan tentang kuttab disini memang sengaja penulis dahulukan,
mengingat kemunculan kuttab berdasarakan berbagai sumber lebih awal daripada
masjid.[5] Bahkan tradisi belajar di kuttab ini telah berlangsung sejak masa pra-
Islam.
-
Manazil (Rumah kediaman)
Tipe pendidikan
ini termasuk dalam kategori pendidikan yang tertua, bahkan lebih dulu ada
sebelum halaqah di masjid. Seperti yang telah penulis kemukakan diawal muqaddimah makalah ini, Nabi Muhammad SAW dan para pengikutnya menjadikan rumah
al-Arqam Bin Abi al-Arqam sebagai markas gerakan dan salah satu aktifitasnya
adalah pengajaran pokok-pokok ajaran agama dan penyampaian wahyu-wahyu Illahi
yang turun kepada Nabi Muhammad SAW. Selain Dar al-Arqam, baik dalam periode Makkah
maupun Madinah sebelum didirikannya masjid, Nabi Muhammad SAW menggunakan rumah
kediaman Beliau untuk kegiatan pendidikan. Maka berduyun-duyun kaum muslimin ke
rumah beliau untuk tujuan meminta pengarahan dan bimbingan, sehingga fungsi rumah
sebagai tempat peristirahat yang penuh dengan ketenangan dan kenyamanan,
sedikit banyak menjadi tereduksi. Hal ini
juga terjadi pada keluarga Rasul SAW, sekalipun Beliau tidak pernah
mengutarakan hal tersebut sampai akhirnya turun firman Allah, surat Al-ahzab : 53. Sejarah mencatat bahwa kediaman-kediaman
ulama yang ditempati sebagai forum kajian ilmiah antara lain adalah rumah Ibnu
Sina, al-Ghazali,[6] Ali bin Muhammad al-Fasihi, Ya’qub bin Killis, Abu Sulaiman al-Sijistani,
dan masih banyak lagi.
-
Masjid
Pendidikan Islam
dan masjid merupakan satu kesatuan yang integral, dimana masjid adalah Islamic center bagi segala kegiatan keagamaan, termasuk pendidikan di dalamnya. Mulai
zaman Nabi dengan masjid Quba’ dan Nabawi-nya hingga masjid Baghdad di masa
dinasti Abbasyi, masjid selalu menjadi alternatif utama dalam penyelenggarakan
pendidikan Islam.
-
Qusur (Istana) Para
Pejabat Pemerintah
Salah satu
orientasi pendidikan Islam adalah mempersiapkan peserta didik untuk menyongsong
masa depan mereka dengan sebaik-baiknya. Ada sebuah temuan menyebutkan bahwa di
istana-istana kediaman para khalifah dan pejabat pemerintah berlangsung
kegiatan pendidikan untuk putra-putra para bangsawan tersebut. Hanya saja,
sedikit perbedaan dengan lembaga-lembaga pendidikan yang ada di masa itu. Para
orang tua berwenang memilih dan menentukan materi yang diajarkan agar sesuai
dengan beban tanggungjawab yang kelak akan disandang oleh anak-anak mereka.
Para pengajar istana biasa disebut muaddib. Mereka antara
lain; al-Ahmar yang ditugaskan oleh khalifah Harun al-Rashid untuk putranya
al-Amin.
-
Hawanit al-Warraqin
(Toko-toko Penjual Buku)
Sebagai komparasi
untuk jenis pendidikan ini adalah pasar ‘Ukadz, Majnah dan Dzi al-Majaz di masa pra-Islam, dimana selain digelar transaksi perdagangan juga dibuka
ajang seni dan forum ilmiah, seperti pelantunan syi’ir, munadzarah (debat) dan khitobah. Hal ini tampaknya juga terjadi pada hawanit al-warraqin (toko-toko penjual buku). Selain menjalankan aktifitas bisnisnya, para
pemilik toko tidak semata-mata mencari laba karena mereka sesungguhnya adalah
sastrawan-sastrawan cerdas yang menyediakan tempat untuk bertukar pikiran
dengan para pengunjung yang menziarahi tokonya.
-
Al-Shalunat al-Adabiyah
Forum ilmiah
yang disebut shalunat amat populer di masa Amawi dan Abbasyi. Sebenarnya merupakan
pengembangan dari majelis-majelis al-Khulafa’ al-Rasyidin. Khalifah yang merupakan
pemimpin negara tertinggi selain mengurus masalah-masalah pemerintahan juga
memberikan fatwa-fatwa agama melalui forum masjid atau pun di luar masjid. Jika
kemudian khalifah mendapatkan kesulitan dalam menemukan solusi bagi persoalan
yang dihadapinya, beliau mengundang para sahabatnya untuk saling bertukar pikiran.[7] Disinilah titik temu antara majelis-majelis al-Khulafa’ al-Rasyidin
dengan shalunat adabiyyah yang populer setelahnya. Dikarenakan forum shalunat
ini melibatkan kepala negara (khalifah), maka banyak ketentuan-ketentuan
protokoler yang harus diperhatikan dan dipenuhi.
-
Perpustakaan
Para ulama dan
sarjana dari berbagai macam disipiln keilmuan, pada umumnya menulis buku-buku
dalam bidang konsentrasinya masing-masing, untuk selanjutnya diajarkan kepada
para penuntut ilmu. Bahkan para ulama dan sarjana tersebut memberikan
kesempatan kepada para penutut ilmu untuk mengakses buku-buku yang ada di
perpustakaan pribadi mereka. Disamping itu, berkembang pula perpustakaan-perpustakaan
yang bersifat umum yang diselenggrakan oleh pemerintah atau merupakan wakaf
dari para ulama dan sarjana. Bait al-hikmah di baghdad yang
didirikan oleh Khalifah Harun al-Rasyid merupakan contoh dari perpustakaan Islam
yang lengkap yang berisi ilmu-ilmu agama Islam dan bahasa arab, bermacam-macam
ilmu pengetahuan yang berkembang pada masa itu dan berbagai buku-buku
terjemahaan dari bahasa Yunani, Persia, India, Qibti dan Arami.[8]
-
al- Badiyah
Bahasa Arab
sampai menjelang kedatangan Islam tetap terpelihara kemurniannya, akan tetapi
kemudian tercemari oleh bahasa-bahasa jiran (tetangga)
sebagai akibat interaksi perdagangan yang mereka jalin. Kontaminasi bahasa yang
tidak bisa ditolerir tersebut lazim disebut dengan lahn. Karena frekwensi interaksi mereka yang demikian tinggi dengan para pendatang
ataupun sebaliknya, mereka yang menjadi pendatang di daerah-daerah tetangga.
Fenomena sosial ini sangat kontras jika dibandingkan dengan masyarakat badawi (pedesaan) yang bahasa mereka relatif lebih murni dan terjaga.[9] Realitas inilah yang kemudian mendorong para pelajar yang peduli akan orisinilatas
kebahasaan mereka kemudian pergi untuk belajar bahasa kepedalaman badiyah (pedalaman), bahkan tidak sedikit yang memutuskan untuk tinggal
sementara waktu disana.
B.
Proses
Transformasi Dari Masjid Ke Madrasah
Mengenai proses trasformasi dari masjid ke madrasah, berkembang
beberapa teori yang sepintas berbeda satu sama lain. Diantara teori yang ingin
dikemukakan pada bagian ini adalah pendapat George Makdisi. Dalam sejumlah
karya kesejarahannya, ia berkesimpulan bahwa perpindahan lembaga pendidikan Islam
dari masjid ke madrasah terjadi secara evolutif, gradual dan tidak langsung, akan
tetapi melalui tahapan perantara, yaitu masjid khan. Teori
ini agaknya menarik, karena mempertimbangkan lembaga masjid khan sebelum
lembaga-lembaga madrasah berkembang secara luas pada abad pertengahan. Teori Makdisi
ini penulis coba sandingkan dengan teori yang dikemukakan oleh Ahmad Shalabi.
1.
Tahapan
Tahapannya
Dalam kajiannya yang lebih terfokus pada Madrasah Nidzamiyah periode
pertengahan di baghdad, Makdisi mengajukan teori bahwa asal mula pertumbuhan
madrasah, yaitu ada tiga tahapan: Tahapan Masjid, Tahapan Khan, dan Tahapan Madrasah.
Pertama, tahapan masjid, berlangsung terutama pada abad-abad kedelapan dan
kesembilan. Masjid dalam konteks ini bukanlah masjid yang berfungsi sebagai
tempat jama’ah sholat bagi seluruh penduduk kota yang biasa dikenal dengan masjid jami’ atau masjid raya atau
catedral mosque atau congregatual mosque. Masjid
seperti ini biasanya diatur oleh negara dan tidak terbuka untuk pendidikan
agama bagi umum. Masjid yang dimaksud sebagai tempat pendidikan adalah masjid
biasa (masjid
college) yang disamping untuk tempat
jama’ah sholat, juga untuk majelis ta’lim (pendidikan).
Di baghdad pada masa itu terdapat beribu-ribu masjid jenis terakhir ini
diberbagai tempat yang menyebar. Para penguasa seperti Adud al Daulah (w. 965),
al-Sahib bin ‘Abbad (w. 995) dan Di’lil al Sijistani (w. 965) merupakan pelopor
yang mendukung perkembangan masjid untuk pendidikan. Tahapan kedua, lembaga Masjid Khan, yaitu masjid yang dilengkapi dengan bangunan khan (asrama, pemondokan) yang masih bergandengan dengan masjid.[10] Berbeda dengan masjid biasa, masjid khan menyediakan tempat penginapan
yang cukup representatif bagi para pelajar yang datang dari berbagai kota.
Tahapan ini mencapai perkembangan yang sangat pesat pada abad 10. Menurut
Makdisi, Badr bin Hasanawaih al Kurdi (w. 1015) yang menjadi gubernur di
beberapa wilayah di bawah kekuasaan Adud al Daulah mendirikan sekitar 3.000
masjid khan pada Nidzamiyah Baghdad, pernah aktif di masjid khan yang ditempati
oleh sekitar sepuluh atau dua puluh murid yang berguru kepadanya.
Setelah dua tahap perkembangan di atas barulah muncul madrasah yang
khusus diperuntukan sebagai lembaga pendidikan. Madrasah dengan demikian
menyatukan kelembagaan masjid biasa dengan masjid khan. Komplek madrasah
terdiri dari ruang belajar, ruang pondokan dan masjid. Menurut Makdisi,
perkembangan madrasah dalam polanya yang utuh dan kongkrit dipelopori oleh
Nidzam al-Mulk.[11] Hal ini tidak berarti bahwa Nidzam al-Mulk dengan Madrasah
Nidzamiyahnya.[12] Yang berdiri tahun 1076 M adalah orang pertama yang mendirikan
madrasah dalam sejarah Islam abad pertengahan. Apa yang menjadikan ia berjasa
dalam pengembangan madrasah adalah ia mempopulerkan pendidikan madrasah
bersamaan dengan reputasinya sebagai wazir rezim Malik Syah dalam kekuasaan
saljuk.[13]
Selain Makdisi, sarjana yang memberikan perhatian terhadap sejarah
kelembagaan madrasah adalah Ahmad Shalabi. Menurutnya, perkembangan dari masjid
ke madrasah terjadi secara langsung, tidak memakai lembaga perantara.[14] Perkembangan madrasah dapat dikatakan sebagai konsekuensi logis dari
semakin ramainya kegiatan pengajian di masjid yang fungsi utamanya adalah
tempat ibadah. Agar tidak mengganggu ketentraman dalam beribadah di masjid,
maka kegiatan pendidikan dibuatkan tempat khusus yang dikenal dengan madrasah.
akan tetapi, masjid yang dimaksudkan oleh Ahmad Shalabi ini kelihatannya
merupakan masjid yang telah mengalami modifikasi yang telah dilengkapi dengan
serambi-serambi belajar dan tempat-tempat pemondokan bagi mereka yang datang
dari jauh. Gambaran majid seperti ini menyerupai apa yang disebut Makdisi
sebagai masjid khan. Hal ini dapat dibuktikan dengan dimasukkannya (masjid)
jami’ Damaskus yang didirikan oleh al-Walid bin ‘Abd al-Malik dalam kategori
masjid secara umum, padahal masjid tersebut memiliki sifat Masjid Khan. Jika
demikian, tidak ada perbedaan prinsip antara kedua pendapat tersebut. Perbedaan
hanyalah pada rincian pentahapannya. Rupanya Ahmad Shalabi tidak begitu
membedakan jenis-jenis masjid.
2.
Faktor-Faktor
Yang Mempengaruhi Transformasi Pendidikan Dari Majid Ke Madrasah
Jika diamati lebih lanjut ternyata tempat-tempat pendidikan di atas,
kecuali madrasah bukan tempat yang dipersiapkan khusus untuk pendidikan. Data
diperoleh dari penuturan Ahmad Shalabi berikut, masyarakat muslim pada
masa-masa awal telah memperluas fungsi masjid. Mereka menjadikan masjid sebagai
tempat untuk ibadah, lembaga pengajaran, rumah pengadilan, aula pertemuan bagi ashkar (tentara) dan rumah penyambutan para duta.[15]
Fungsi masjid sebagai tempat pendidikan dalam perkembangannya
dipertimbangkan kembali, sehingga mendorong dibukanya lembaga-lembaga pendidikan
baru. Berkenaan dengan hal tersebut, terdapat sejumlah teori yang menjelaskan
alasan dipertimbangkannya kembali masjid sebagai tempat pendidikan, sehingga
terjadi transformasi lembaga pendidikan dari masjid kebentuk lainnya.
Beberapa alasan yang menjadikan penyelenggaraan pendidikan di masjid
dipetimbangkan lagi adalah : Pertama, kegiatan
pendidikan di masjid dianggap telah mengganggu fungsi utama lembaga itu sebagai
sarana ibadah. Dengan jelas Ahmad Shalabi mengatakan, sejak masa awal Islam
banyak orang berminat untuk mempelajari Islam. Bertambah tahun semakin banyak
orang yang menghadiri pertemuan untuk belajar ilmu (halaqoh ‘ilm). Dari setiap group pertemuan terdengar suara dari seorang guru yang
memberikan pelajarannya dan dari suara-suara peserta didik yang bertaya dan
berdiskusi. Maka timbullah suara-suara keras dari beberapa group pertemuan
tersebut. Sedikit banyak hal itu mengakibatkan gemuruh yang mengganggu
pelaksanaan ibadah sebagaimana mestinya. Jelas sekali bahwa masjid menjadi
sulit untuk dijadikan tempat ibadah dan tempat belajar sekaligus. Athiyyah
al-Abrasyi memiliki pandangan tidak jauh berbeda dengan Shalabi. Menurutnya,
anak-anak kecil yang belajar di masjid kurang menjaga diri dari najis dan
kotoran, padahal tanzih al-masajid (menjaga
kebersihan masjid) merupakan salah satu aspek yang sangat ditekankan oleh Baginda
Rasulullah SAW.
Kedua, berkembangnya kebutuhan ilmiah sebagai akibat dari perkembangan ilmu
pengetahuan. Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan, semakin banyak pula disiplin
ilmu yang bermunculan. Dalam kaitan ini, Ahmad Shalabi menyatakan bahwa ilmu
berkembang dengan berkembangnya zaman. Pengetahuan pun lebih maju lagi. Situasi
demikian dapat dimengerti sebab pada abad keempat - waktu yang dekat dengan
berdirinya madrasah - gerakan pemikiran berkembang dengan pesat.[16] Termasuk dalam kategori ini adalah apa yang dikemukakan oleh Adam Metz
bahwa pendirian madrasah berkaitan dengan diketemukannya metode pengetahuan,
sehingga masjid kurang dipertimbangkan sebagai tempat utama pendidikan.
Ketiga, timbulnya orientasi baru dalam menyelenggarakan pendidikan. Sebagian
guru mulai berfikir untuk mendapatkan rizqi melalui kegiatan pendidikan, dikatakan
bahwa ada diantara pengajar yang pekerjaannya sepanjang hari memang mengajar
dan karena itu berusaha untuk memperoleh penghasilan yang memadai. Untuk
menjamin akan hal itu, maka dibangunlah lembaga-lembaga lain yaitu madrasah
karena jaminan seperti itu tidak mengkin diperoleh di masjid.[17]
Pengungkapan teori-teori di atas atau mungkin ada teori lain yang bukan
untuk diperdebatkan yang ingin menunjukkan telah terjadi perkembangan kebutuhan
dan ilmu pengetahuan dalam masyarakat Islam di masa dinasti Abbasyi pada abad
keempat hijrah, sehingga masjid tidak lagi dianggap cocok untuk tempat
pendidikan, setidaknya dalam batas tertentu. Namun, satu hal yang perlu menjadi
catatan adalah bahwa dengan berdirinya madrasah tidak berarti kegiatan pendidikan
ditempat-tempat lain termasuk masjid, berhenti atau tergantikan. Semuanya tetap
berjalan dengan kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Disamping itu,
usaha-usaha pribadi ulama dan guru sufi dalam melakukan aktifitas pendidikan di
rumah kediaman mereka tetap berlangsung sampai sekarang.
III.
Madrasah Sebagai Awal Pelembagaan Pendidikan Islam
Secara Formal
Seperti penjelasan keterangan di atas, madrasah merupakan prestasi abad
kelima Hijriyah. Madrasah pertama yang didirikan pada abad kelima hijriyah
(ke-11 Masehi) itu adalah Madrasah Nidzamiyah yang didirikan pada tahun 457 H oleh
Nidzam al-Mulk. Akan tetapi, banyak bukti yang signifikan justru menunjukkan
bahwa madrasah telah berdiri sejak abad keempat hijriyah yang dihubungkan
dengan penduduk Naisabur. Hasan Abd al-‘Al yang secara khusus melakukan kajian
mengenai pendidikan Islam pada abad tersebut, memperkuat temuannya dengan
mengajukan data-data berdasarkan karya penulis-penulis abad keempat sendiri.
Beberapa sumber yang dia kutip antara lain, Ahsan al-Taqasim Fi Ma’rifat al-Aqalim
karya Maqdisi (w. 378 H), Tabaqat al-Syafi’iyyah al-Kubra karya al-Subki (w.
316-388) dan al-Rasail karya Badi’ al-Zaman al-Hamdani (w. 398 H). Bahkan
al-Hakim al-Naisaburi (w. 406 H) pengarang Tarikh Naisabur menyebutkan bahwa
Abu Ishaq al-Isfirayini (w. 418 H) adalah orang pertama yang mendirikan
madrasah di Naisabur.[18]
Namun demikian, tidak dapat disangkal bahwa pengaruh Madrasah
Nidzamiyah melampaui pengaruh madrasah-madrasah yang didirikan sebelumnya.
Sehingga tidak berlebihan, jika pendirian Madrasah Nidzamiyah dipandang sebagai
pembatas untuk membedakan dengan era pendidikan Islam sebelumnya.
Sebagai suatu ide, madrasah mempunyai pengaruh yang luas dan
monumental. M.M. Sharif dalam karyanya Muslim Thought: Its Origin and Achievement mengatakan, pendirian madrasah-madrasah di barat adalah hasil
inspirasi dan pengaruh madrasah Nidzamiyah. Hal ini dibuktikan bahwa tradisi
akademik Barat secara historis banyak mengambil keuntungan dari tradisi
madrasah.
Berbicara mengenai pendidikan madrasah, keterlibatan pemerintah tidak
bisa diabaikan begitu saja. Beberapa pejabat pemerintah yang sering disebut
memiliki kaitan dengan ide serta penyebaran adanya madrasah adalah Nidzam
al-Mulk (456-485 H), Nur al-Din Zanki (541-569 H), Soleh al-Ayyubi (564-589 H)
dan al-Mustansir Billah (623-640 H).
Madrasah tetap eksis dan hidup hingga era
modern. Akan tetapi, eksistensinya menjadi dipertanyakan ketika kurikulumnya
masih dimonopoli oleh al-‘Ulum al-Naqliyah (Islamic Sciences). Karena posisi madrasah yang menaruh jarak dengan sains modern, maka
madrasah sering disebut sebagai lembaga tradisional.
IV.
Kesimpulan
Lembaga Pendidikan Islam memiliki sejarah yang amat panjang, dimana
secara evolutif, gradual, tumbuh dan berkembang seiring dengan semakin majunya
keilmuan dan meningkatnya kebutuhan kaum muslimin. Dimulai dari kajian keilmuan
yang diselenggarakan di Katatib, Dar (rumah-rumah), masjid, Shalunat dan lain
sebagainya. Lembaga Pendidikan Islam akhirnya menemukan bentuknya pada masa
Abbasyi dalam wujud madrasah. Akhirnya, ada satu hal yang perlu kita renungkan
bersama, bagaimanakah format lembaga pendidikan Islam yang paling ideal untuk
menjawab tantangan zaman.......
DAFTAR RUJUKAN
Al-Abrasi, Muhammad ‘Athiyyah,
tt. Al-Tarbiyah
al-Islamiyyah, Kairo, al-Dar al-Qaumiyyah.
Shalabi, Ahmad, 1987. Al-Tarbiyah al-Islamiyyah; Nuzumuha,
Falsafatuha, Tarikhuha, Kairo, Maktabah al-Nahdlah
al-Misriyyah.
---------------------, 1987. al-Tarbiyah wa al-Ta’lim fi al-Fikr al-Islami, Kairo, Maktabah Nahdlah al Mishiriyyah.
---------------------, 1987. Al-Siyasah fi al-Fikr al-Islami, Kairo, Maktabah al-Nahdlah al-Mishiyyah.
----------------------, 1954. History of Muslim Education, Beirut, Dar al-Kasysyaf.
M.M. Syarif, 1975. Al-Fikr al-Islami, Manabi’uhu wa
Atsaruhu, terj. Ahmad Shalabi, Kairo,
Maktabah al-Nahdlah al-Mishriyyah.
Makdisi, George, 1981. The Rise Colleges, Institution of
Learning in Islam and The West, British,
Edinburgh University Press.
Al-Thabari, Muhammad bin Jarir, Tarikh al-Thabari III.
Abd al-‘Al, Hasan, 1978. Al-Tarbiyah al-Islamiyyyah fi
al-Qarn al-Rabi’ al-Hijri, Kairo, Dar
al-Fikr al-‘ibara.
Maksum, 1999. Madrasah : Sejarah dan
Perkembangannya, Jakarta, Logos Wacana Ilmu.
Zuhairi, dkk, 1997. Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta, Bumi Aksara.
Munawwir, Ahmad Warson, 1997. al-Munawwir; Qamus al-‘Arabi
al-indunisi, Surabaya, Pustaka Progresif.
[1] Maksum, 1999. Madrasah: Sejarah Dan Perkembangannya, Jakarta, Logos
Wacana Ilmu, h. 53-54. Ahmad Shalabi, 1987. Al-Tarbiyah, al-Islamiyah,
Nuzumaha, Falsafatuha, Tarikhuha, Kairo, Maktabah al-Nahdlah al-Mishriyah, h.
44.
[2] Maksum, 1999. Madrasah: Sejarah Dan Perkembangannya, h. 56-57.
[3] Shalabi, Ahmad, 1987. Al-Tarbiyah wa al-Ta’lim fi al-Fikr al-Islami,
Kairo, Maktabah al-Nahdlahal-Mishriyah, VIII, h. 45
[4] A.W. Munawwir, 1997. Al-Munawwir, Surabaya, Pustaka Progresif, XIV, h.
1187
[5] Salah satu sumber menyatakan bahwa kebutuhan umat terhadap ketrampilan
baca tulis di masa-masa awal kedatangan Islam begitu mendesak. Hal tersebut
dapat dicermati dari kebijakan Rasulullah SAW terhadap para tawanan perang
Badar.
[6] Lihat terjemahan (biografi) beliau dalam pengantar kitab Ihya’ ‘Ulum
al-Din.
[7] Shalabi, Ahmad, 1987. Al-Siyasah fi al-Fikr
al-Islami, Kairo, Maktabah al-Nahdlah al-Mishriyah
[8] Zuhairi, 1997. Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta,
Bumi Aksara, h. 98-99
[9] Karena alasan pula Ibunda Rasulullah mengirim Beliau
kepada Halimah dari Bani Sa’ad sebagai Ibu susuan.
[10] Makdisi, George, 1981. The
Rise of Colleges, Institution of
Learning in Islam, British, Edinburgh University Press, h. 23-34
[11] M.M. Sharif, 1975. Al-Fikr
al-Islami: Manabi’uhu Atharuhu, terj. Ahmad Shalabi, Cairo, Maktabah
al-Nahdlah al-Mishriyah, h.89-96
[12] Kurikulum Madrasah Nidzamiyah cenderung berorientai kepada studi-studi
teologi (luhut). Ruben Levy menyatakan, bahwa Universitas-universitas Eropa
yang kemudian bermunculan banyak yang meniru kurikulum Nidzamiyah”. Al-Ghazaly
tercatat sebagai salah seorang staf pengajar di Madrasah Nidzamiyah selama 4
tahun. Lihat M.M. Sharif, al-Fikr al-Islami, terj. Ahmad Shalabi, h. 89-96
[13]Maksum, Sejarah Madrasah, h. 58
[14]Shalabi, Ahmad, 1954. History of Muslim
Education, Beirut, Dar al-Kasysyaf, h. 257-259
[15] Shalabi, Ahmad, al-Tarbiyah al-Islamiyah, h. 102
[16] Al-‘al, Husain Abd, 1978. Al-Tarbiyah
al-Islamiyah fi al-Qorn Rabi’ al-Hijri, Kairo, Dar al-Fikr al-‘Arabi, h.
182i
[17] Shalabi, Ahmad, al-Tarbiyah al-Islamiyah,
h. 114
[18] Maksum, Madrasah: Sejarah Dan
Perkembangannya, h. 60
Tidak ada komentar:
Posting Komentar