WANITA DAN KEPEMIMPINAN DALAM PERSPEKTIF AL-QUR’AN
Telaah
Pemikiran Riffat Hasan Dan Wahbah Zuhayli
Oleh : Mashudi Zusro
Sekolah Tinggi Agama Islam
Grobogan (STAIG)
Maszoesfizoes@ymail.com
Jl. Kapten Rusdiyat 1 Kablukan
Danyang Kec. Purwodadi Kab. Grobogan
ABSTRAK
Term surat al-Nisa’ ayat 34 Qawwamuna ‘ala al-nisa mengandung beberapa pengertian. Pertama, Laki-laki berfungsi sebagai
yang memerintah atau melarang komunitas perempuan seperti halnya fungsi
pemimpin terhadap rakyatnya. Kedua,
Laki-laki berfungsi sebagai komunitas yang menguasai, memerintah, menghukum
atau memberi pengetahuan tentang etika yang luhur ketika wanita sedang
melenceng. Hal ini terjadi karena komunitas laki-laki lebih mulia daripada
komunitas perempuan. Dalam hal ini, konstruksi bangunan pemikiran kepemimpinan
wanita yang diajukan Riffat Hasan dan Wahbah Zuhayli dapat dinyatakan sebagai
konstruksi yang paradoks antagonis. Disatu sisi melalui karyanya: al-Qur’an
al-Karim: Bunyatu al-Tashri’iyah wa Khasaisu al-Hadariyah dengan tegas
menyatakan bahwa hak kepemimpinan di ranah domestik hanya menjadi otoritas
laki-laki sedangkan di ranah publik, wanita punya hak untuk membangun relasi
yang sama dengan pria. Akan tetapi, disisi lain dalam karya tafsirnya al-Tafsir
al-Munir, Fi al-Aqidah wa al-Syari’ah wa al-Manhaj, Zuhayli menyatakan bahwa
hak kepemimpinan hanya menjadi otoritas laki-laki tanpa memandang wilayah
kuasanya. Artinya baik di ranah domestik maupun ranah publik, perempuan tidak
berhak membangun relasi kuasa yang terkait dengan kepemimpinan.
Key
Word : wanita,
kepemimpinan, perspektif Al-Qur’an, Pemikiran Riffat Hasan dan Wahbah Zuhayli
I. Pendahuluan
Allah
SWT menurunkan Islam ke muka bumi ini melalui risalah Nabi Muhammad SAW dengan
kelengkapan values (nilai) universal
yang terangkum dalam kalamullah (Al-Qur’an). Kitab ini sebagai pedoman dalam
menjalankan hidup bagi seluruh manusia – khususnya umat Islam. Pada giliran
selanjutnya nilai Al-Qur’an diterjemahkan oleh sebagian umat Islam sesuai
dengan keadaan dan kemampuan intelektual – ulama muslim. Yang pada akhirnya, penterjemahan nilai-nilai
ini berbeda antara satu dengan yang lain sehingga menimbulkan perbedaan
pandangan diantara aliran-aliran atau mazhab-mazhab dalam Islam. Bahkan pada
perkembangan lebih lanjut, mengarah pada perpecahan (skisme). Keadaan ini menurut catatan sejarah telah menimbulkan
dilema, di satu sisi umat Islam sudah – tidak utuh lagi, tetapi di sisi lain,
hal ini menimbulkan lonjakan perkembangan pemikiran dan kemajuan keilmuan.
Karena
kelengkapan dan kesempurnaan ajaran Islam inilah sehingga dalam catatan
historis perkembangan Islam berlangsung cepat dan fantastik. Hanya dalam
rentang waktu kurang lebih 23 tahun Nabi Muhammad SAW telah berhasil
menancapkan Islam di Makkah dan Madinah, serta kurang lebih seratus tahun sejak
kelahiran beliau, Islam telah menancap di sebagian besar Jazirah Arabia. Bahkan
pada abad kedua Hijriah, Islam telah berhasil menguasai berbagai bidang di
seluruh dunia, baik militer, ekonomi, sosial, ilmu pengetahuan dan teknologi
maupun pendidikan. Dalam lapangan pendidikan inilah Islam berhasil mencetak dan
menumbuhkan ulama-ulama, intelektual muslim yang tangguh serta diakui pada
waktu itu sampai sekarang, khususnya intelektual yang hidup dalam jaman
kebesaran Khilafah Abbasiyah di Baghdad (Iraq) dan Khilafah Amawiyah di
Andalusia (Spanyol).
Negeri
kita ini mungkin tepat di laqobi dengan negeri celoteh (baca: banyak bicara),
negerinya manusia yang suka ngrumpi – kasak kusuk hingga musisi Iwan Fals
menjuluki negerinya “manusia setengah dewa” (baca: serba setengah) alias mogol (bahasa jawa). Sebagaian besar
dari masyarakat Indonesia, umat Islam sebenarnya berada pada posisi maju kena
mundur kena “serba salah” (rewel). Pertama, jumlah yang mayoritas akan
menimbulkan tentang citra antara Islam dan Indonesia. Orang dengan mudah mempertukarkan
kedua istilah seolah-olah Islam dapat dipersamakan begitu saja dengan
Indonesia. Indonesia dibayangkan sebagai negara Islam, seperti halnya Arab
Saudi atau bahkan Iran hanya karena mayoritas penduduknya beragama Islam.
Akibatnya, kedua, pandangan tentang
masyarakat Islam Indonesia menjadi bias dan menyimpang dari realitas
empirisnya. Gambaran salah bukan hanya dimiliki orang-orang atau pengamat
asing, karena kaum muslimin Indonesia sendiri seringkali kurang tepat menilai
Islam di tengah lautan Indonesia yang ragampesona. Pandangan kalangan luar
Islam Indonesia umumnya bergerak pada skala negatif pesimistis.
Kesalahan-kesalahan ditingkat “Indonesia” dilimpahkan sebagai tanggungjawab
penduduk “Islam” Indonesia dalam hubungannya dengan kemajemukan bangsa,
umpamanya, kita sering mempersoalkan emansipasi wanita menurut Islam. Gambaran
sekilas mungkin bisa dilihat dalam film Indonesia berjudul “di balik reformasi
1998”. Praktek anarkhisme politik Indonesia adalah cermin dari ajaran
kekanak-kanakan Islam yang lekat dengan unsur ekslusif - primordial – sektarian.
Islam juga menyebabkan keterbelakangan dan kemiskinan, karena agama ini
dianggap kurang memiliki dimensi asketisme-duniawi,
adalah semacam etika protestan dalam gagasan Weber. Dan orang-orang Islam
miskin yang tidak mampu menahan diri itulah yang terekam dengan jelas dalam
tayangan televisi yang menjarah masyarakat minoritas. Disinilah posisi serba
salah yang dimaksud. Sia-sia menolak tuduhan karena sebagian penjarah hampir
pasti pemeluk agama Islam. Sebaliknya kalangan-dalam-Islam telah menilai
masyarakat mereka secara terburu-buru dan optimistik, karena percaya agamanya
benar, dan mereka hadirkan Islam begitu saja ketengah masyarakat tanpa saringan
rasionalisasi serta kurang mempertimbangkan adab sosial serta norma yang dianut
masyarakat setempat. Terlalu yakin oleh banyaknya pemeluk Islam, mereka malahan
berfikir seolah-olah semua orang beragama Islam. Dalam kenyataannya, pemeluk
Islam yang terburu-buru ini “mendempetkan”
tolok ukur teologis dengan rujukan sosiologis dari masyarakat Islam. Dalam hal
ini, perlu kiranya dijelaskan dulu apa yang dimaksud dengan istilah kalangan-dalam-Islam.
Adalah pemeluk Islam yang patuh menjalankan perintah agamanya dalam kehidupan
sehari-hari dengan pandangan hidup sesuai dengan agama yang dianut. Clifford
Gertz, menggunakan istilah Islam abangan bagi kelompok ini untuk membedakan
dengan pemeluk Islam priyayi.[1] Cara pandang yang seperti ini, melahirkan berbagai
konstruksi formulasi yang berbeda sepanjang sejarah peradaban Islam Indonesia.
Umpamanya, emansipasi wanita dalam ranah kepemimpinan wilayah domestik maupun
dalam ranah publik. Diskursus tentang kepemimpinan wanita Islam Indonesia, bak
kacang goreng, kemrenyah (bahasa
jawa) dibicarakan, baik dikalangan masyarakat grossroot maupun dalam diskusi seminar.
Dalam
tradisi klasik, secara mutlak hak kepemimpinan wanita berada dalam posisi yang
diskriminatif, karena kepemimpinan seolah-olah hanya menjadi hak otoritatif
mutlak laki-laki. Akan tetapi, konstruksi kepemimpinan wanita dalam hukum
kontemporer, memunculkan dua pemahaman berbeda. Pertama, kepemimpinan hanya menjadi hak laki-laki, baik wilayah domestik
maupun wilayah publik. Kedua,
kepemimpinan bagi laki-laki hanya berada dalam wilayah domestik saja karena
dalam wilayah publik, termasuk di dalamnya kepemimpinan dalam sebuah negara,
hak politik wanita sama dengan laki-laki.[2]
Riffat
Hasan dan Wahbah Zuhayli yang termasuk dalam peta intelektual muslim
kontemporer, ikut berperan secara proaktif dalam mencetuskan konstruksi hukum
Islam yang terkait dengan kepemimpinan wanita. Akan tetapi, dalam kontribusinya
Riffat dan Zuhayli mengajukan dua konstruksi yang sulit dimaknai secara
komprehensif. Disatu sisi, hak kepemimpinan dimaknai sebagai hak yang hanya
dimiliki oleh otoritas kaum laki-laki, sedangkan disisi lain terbuka lebar bagi
kaum wanita dalam sektor publik akan tetapi hanya terkait dalam wilayah domestik.
Kalau ditilik lebih jauh lagi, tulisan Riffat Hasan pada prinsipnya menuduh
kaum laki-laki menjajah kaum wanita secara in-human,
dan karenanya dianggap bertentangan dengan esensialitas Islam dalam melihat
kedudukan keduanya.[3] Selama ini, bagi Riffat, kaum wanita-muslim khususnya-sebenarnya
diinjak hak serta martabatnya. Dan masih menurut Riffat, hal itu terjadi karena
banyak hadits yang justru melegitimasi perlakuan subordinatif seperti tersebut.
Namun, setelah diteliti hadits-hadits tersebut diragukan kesahihannya. Pada
dataran teologis inilah gugatan Riffat ditempatkan. Dalam kaitan ini,
pertanyaan yang muncul kemudian adalah bagaimana sesungguhnya Islam melihat
kedudukan kaum laki-laki atas kaum wanita baik secara posisional maupun
fungsional?
Telaah ini bertujuan untuk
mendiskripsikan perspektif mufasir klasik dan kontemporer, dan lebih
spesifiknya corak pemikiran Riffat Hasan dan Wahbah Zuhayli tentang
kepemimpinan wanita. Dengan demikian, hasil telaah pemikiran di atas diharapkan
menambah khasanah pustaka keislaman dan memberi nilai kontributif bagi
pengembangan pemikiran Islam dengan tidak menepis at-Turath al-Islamiyah yang telah dibangun oleh para pendahulu
(baca:mujtahid), khususnya dalam
bidang pemikiran fiqh. Dan sumber data primer yang digunakan adalah Clifford Geertz;
abangan, Priyayi dalam Masyarakat Jawa, Wahbah Zuhayli; Kitab al-Tafsir
al-Munir: Fi al-A‘qidah wa al-syari’ah wa al-manhaj dan al-Qur’an al-Karim:
Bunyatu al-Tashri’iyah wa Khasaisu al-Hadariyah; DR. Nasharuddin Baidan; Tafsir
bi al-Ra’yi: Upaya Penggalian Konsep Wanita dalam al-Qur’an, Syafiq Hasyim; Editor,
Menakar Harga Perempuan: Eksplorasi Lanjut atas Hak-Hak Reproduksi Perempuan
dalam Islam, Ulumul Qur’an; Perempuan dalam Syari’ah: Perspekstif Feminis dalam
Penafsiran Islam, Argumen Supremasi Atas Perempuan: Penafsiran Klasik Qs.
Al-Nisa’ :34, Feminisme dan al-Qur’an: Percakapan dengan Riffat Hasan, Ratna Megawangi;
Membiarkan Berbeda (Sudut Pandang Baru Tentang Relasi Gender), KH. Hanif
Muslich, Lc: Wanita Dan Kepemimpinan. Sedangkan sumber sekunder adalah
buku-buku, majalah, jurnal atau sejenisnya yang sesuai dengan tema bahasan.
Data yang sudah terkumpul dan terseleksi akan dianalisis dengan menggunakan
metode deskriptif, komparatif, sintesis dan analisis isi.
II. Konstruksi
Bangunan Pemikiran Islam
Bangunan
pemikiran Islam terbelah menjadi beberapa dimensi yang sarat dengan
signifikansinya masing-masing, termasuk syari’ah klasik dengan segala
implikasinya. Berkenaan dengan itu, berbagai literatur tafsir yang terdapat
dalam syari’ah klasik dengan tegas tidak memperbolehkan wanita untuk menduduki
jabatan tertinggi dalam kekuasaan negara. Hal ini didasarkan pada ayat
al-Qur’an surat al-Nisa’ ayat 34. Term Qawwamuna
‘ala al-nisa;[4] mengandung beberapa pengertian sebagai berikut :
1.
Laki-laki berfungsi
sebagai yang memerintah atau melarang komunitas perempuan seperti halnya fungsi
pemimpin terhadap rakyatnya.[5]
2.
Laki-laki berfungsi
sebagai komunitas yang menguasai, memerintah, menghukum, atau memberi pengetahuan
tentang etika yang luhur ketika wanita sedang melenceng. Hal ini terjadi karena
komunitas laki-laki lebih mulia daripada komunitas perempuan.[6]
Disamping
berdasarkan ayat di atas juga dikuatkan oleh sebuah hadits yang diriwayatkan
oleh Imam Bukhari, Turmudzi, Nasa’i, dan Ahmad bin Hanbal. Hadits tersebut
melahirkan dua penafsiran. Pertama,
menunjukkan tidak adanya kewenangan bagi perempuan untuk memberi keputusan
hukum kepada umat Islam. Kedua,
sebagai berita bahwa orang, kelompok hingga sebuah negara tidak akan mendapat
kemakmuran bila menguasakan kepemimpinannya kepada perempuan.
Dalam
lembaran syari’ah kontemporer, teori kepemimpinan wanita terpetakan menjadi dua
kutub pemikiran, masing-masing mengajukan formulasi yang berbeda.[7] Pertama,
aliran modern konservatif yang dimotori oleh cendikiawan muslim yang masih
dengan teguh memegang tradisi syari’ah klasik tanpa melakukan dialog kritis
dengan latar belakang kodifikasi syari’ah pendahulunya. Kedua, para cendikiawan neo-modernis sebagai kelompok pembaharu
yang bukan saja menerima apa adanya terhadap kodifikasi syari’ah klasik, akan
tetapi juga dibarengi dengan dialog kritis terhadap latar belakang pengungkapan
teks-teks syari’ah tersebut untuk selanjutnya mendekonstruksi wacana
kepemimpinan wanita yang tidak lagi relevan dengan transportasi modernitas. Dua
kutub pemikiran ini, melahirkan penafsiran berbeda dalam konstruksi
kepemimpinan wanita. Kelompok pertama,
kepemimpinan tetap menjadi otoritas komunitas laki-laki, karena persyaratan
laki-laki sebagai yang harus dipenuhi bagi pemimpin kedaulatan, pemimpin
tertinggi, atau kekuasaan tertinggi dalam struktur pemerintahan atau negara.
Dan ini didasarkan suatu hadits sebagaimana yang tersebut di atas. Disamping
itu, kondisi realitas empirik dalam sejarah masa sahabat dengan jelas
mengelustrasikan bahwa kepemimpinan sebagai hak otoritas laki-laki. Begitu juga
wanita masih mempunyai hak-hak politik yang harus dipenuhi, seperti
al-Intikhab, hak al-Ghazwiyah, maupun hak politik lain di luar wilayah kepemimpinan
tertinggi. Kelompok kedua, dengan
semangat egalitarianisme antara laki-laki dan perempuan dalam kebijakan hak-hak
politik, maka wanita berhak menjadi pemimpin bagi seluruh komunitas dalam
wilayah publik. Surat al-Nisa’ : 34 hanyalah terkait dengan kepemimpinan dalam
wilayah domestik. Dan khusus terkait dengan kehidupan keluarga, yang sama
sekali tidak terkait dengan kehidupan politik secara umum maupun hak-hak
politik, sedangkan hadits sebagaimana tersebut di atas, hanya terkait dengan
pemerintahan yang bentuk kedaulatanya monarkhis, karenanya bila bentuk
pemerintahannya republik maka hak kepemimpinan juga menjadi hak yang boleh
diperebutkan antara laki-laki dan perempuan.
Kepemimpinan
dalam surat al-Nisa’ ayat 34 tidak lebih dari kedudukan bagi laki-laki yang hanya
terfokus pada wilayah domestik, pertimbangannya, laki-laki mempunyai hak otoritatif
kepemimpinan dan hak untuk memaksa komunitas lain. Oleh sebab itu, Islam tidak
melarang atau menghalangi wanita untuk memasuki berbagai faktor sesuai dengan
keahliannya, seperti menjadi guru, menteri, pengusaha, hakim, bahkan bila
memenuhi syarat yang ditentukan-seperti yang ada pada laki-laki-wanita berhak
menduduki jabatan sebagai Kepala Negara, asalkan tugas sebagai komunitas yang
mengurusi rumah tangga tidak terbengkalai dan mendapat izin dari sang suami.[8]
III. Konstruksi
Pemikiran Riffat Hasan Dan Wahbah Zuhayli
Perspektif
yang dibangun Riffat Hasan Wahbah Zuhayli terasa begitu kental perbedaannya
dalam membangun konstruksi pemikirannya, terutama dalam hal kepemimpinan wanita
di tingkat wilayah domestik ataupun wilayah publik. Untuk menelaah secara
substantif kedua pemikiran tersebut, maka kita perlu membuka kembali buku besar
umat Islam, yakni al-Qur’anul al-Karim, sebelum kita melihat dasar rujukan yang
lain seperti Hadits, Ijma’, qiyas dan lain-lain. Logika berfikir seperti ini harus
kita pegang teguh dan kita tradisikan dalam menginterpretasikan setiap
persoalan perspektif etika Al-Qur’an ataupun As-Sunnah.
Zuhayli
memberikan pemaknaan dalam surat al-Nisa’ ayat 34 adalah setiap laki-laki
merupakan pemimpin bagi wanita, posisinya di atas perempuan, menjadi hakim
baginya, memberi pendidikan etika padanya jika keluar dari ajaran yang lurus dan
sebagai pemegang kekuasaan dan kedaulatan di atas peran wanita. Zuhayli juga
mengulas berbagai pertimbangan yang melatarbelakangi dominasi laki-laki
dibanding perempuan, seperti laki-laki mempunyai bentuk fisik yang sempurna,
lebih kuat pengamatannya dalam menyelesaikan masalah, lebih kuat nalar dan
argumentasinya. Disamping itu, laki-laki sebagai kominitas yang khusus, yang
dapat menerima risalah kenabian, sebagai yang paling berhak mengumandangkan
syair-syair seperti adzan, iqomah, khutbah jum’ah, shalat jum’ah dan jihad .[9] Dan hak khusus yang dimiliki oleh laki-laki juga
mencakup talaq, kebebasan berpoligami serta lainnya. Konsepsi Zuhayli
menegaskan, bahwa kepemimpinan baik di wilayah domestik maupun publik menjadi
otoritas laki-laki. Akan tetapi, dalam wacana lain, Zuhayli dengan tegas
mengakui semangat egalitarian Islam dan keadilan gender antara laik-laki dan
perempuan di ranah publik. Hal ini terlihat ketika Zuhayli menyatakan bahwa, pertama, Islam sangat menggariskan adil
dalam memberlakukan wanita dan melarang hegemoni terhadap mereka, memuliakan, memberikan
kebebasan dalam melakukan aktivitas ibadah serta mendekatkan diri kepada Allah
sebagai halnya laki-laki, hal ini diilustrasikan dalam surat al-Ahzab ayat 35,
al-Taubah ayat 72. Kedua, kadangkala
al-Qur’an menyebutkan pria dan wanita dengan posisi yang sama, ini
diilustrasikan dalam ayat yang dimulai dengan kalimat “Yaa Ayyuhal-ladhiina Aamanu (wahai orang-orang yang beriman)” dan “Yaa Ayyuhan-naas (wahai sekalian
manusia)”. Dan terkadang juga disebut
secara khusus, menyebut wanita secara bersambung dengan laki-laki, hal ini
terilustrasikan dalam surat al-Maidah ayat 38 “al-Sariq wa al-Sariqoh” atau bahkan sebaliknya, berdasarkan pada
surat al-Nur ayat 2 “al-zaniyah wa
al-zani”. Dari berbagai alasan tersebut memberikan satu pemahaman kongkrit bahwa
Islam penuh dengan nilai-nilai egalitarian dan keadilan antara komunitas
laki-laki dan perempuan. Dan ketika ditarik dalam kepemimpinan wanita sebagai
implementasi prinsip di atas, dapat diajukan pemaknaan bahwa kepemimpinan
laki-laki hanya berlaku di ruang domestik, bukan wilayah publik. Namun prinsip
nilai Islam yang dikembangkan oleh Zuhayli tersebut, baik esensi maupun
substansinya direduksi oleh pertanyaan yang lain sehingga peran wanita untuk
memimpin sangat teralienasi baik di ranah publik maupun ranah domestik, dan
otoritas kepemimpinan menjadi hak otoritas laki-laki.
Berbeda
dengan perspsektif yang dibangun oleh Riffat Hasan yang berjudul “Teologi
Perempuan dalam Islam Sejajar di Hadapan Allah”, ini seakan-akan menyentak kita
untuk kembali menggugah diri dan bertanya, adilkah perlakuan kaum laki-laki
terhadap kaum perempuan dalam segala aspek kehidupan dan lebih jauh lagi kita
diajak bertanya, adakah perlakuan itu sesuai dengan konsep atau ajaran Islam.
Dalam al-Qur’an surat al-Nisa’ ayat 34 disebutkan bahwa “kaum laki-laki adalah
pemimpin bagi kaum wanita. Oleh sebab itu, Allah telah melebihkan sebagian
mereka (baca:laki-laki) atas sebagian yang lain (baca:perempuan)” kemudian di
ayat sebelumnya dari surat al-Nisa’ayat 11 menegaskan bahwa “pembagian waris
untuk anak-anakmu, yaitu bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua
anak perempuan.”. dari ayat-ayat tersebut, secara eksplisit Allah melebihkan
kaum laki-laki - dalam hal-hal tertentu - atas kaum wanita. Itu artinya, Allah
menciptakan kaum laki-laki sebagai pemimpin kaum wanita karena Allah melebihkan
kaum laki-laki dalam hal kemampuan leadership
(bakat kepemimpinan). Namun demikian, dihadapan Allah mereka itu sama dan yang
membedakan hanya tingkatan ketaqwaannya. Kalau demikian, apakah Islam tidak
adil, apakah dengan demikian bisa dikatakan bahwa dalam Islam kaum wanita
sebagai makhluk kedua dalam ciptaan-Nya dan makhluk pertama dalam kesalahan dan
dosa sebagaimana yang dikatakan oleh Riffat. Persoalan ini jelas tidak bisa
disederhanakan begitu saja sebab Allah menyatakan bahwa kedua makhluk laki-laki
dan perempuan adalah sama, kecuali kadar ketaqwaannya yang membedakan.
Persoalannya, kita mau taat atau tidak kepada ketentuan mutlak tersebut. Ataukah
kita akan mencari dalih pembenaran atas suatu realitas dengan menyesuaikan
hukum Allah dengan realitas sosial. Padahal hukum Allah adalah bersifat
universal dan eternal dan itu telah kita sepakati bersama.
IV. Esensi
Konstruksi Pemikiran Riffat Hasan Dan Wahbah Zuhayli
Bangunan
pemikiran kepemimpinan wanita yang diajukan Riffat Hasan dan Wahbah Zuhayli
dapat dinyatakan sebagai konstruksi yang paradoks antagonis. Disatu sisi
melalui karyanya: al-Qur’an al-Karim: Bunyatu al-Tashri’iyah wa Khasaisu
al-Hadariyah dengan tegas menyatakan bahwa hak kepemimpinan di ranah domestik
hanya menjadi otoritas laki-laki, sedangkan di ranah publik wanita punya hak
untuk membangun relasi yang sama dengan pria. Akan tetapi, disisi lain dalam
karya tafsirnya “al-Tafsir al-Munir”: fi al-Aqidah wa al-Syari’ah wa al-Manhaj”
Zuhayli menyatakan bahwa hak kepemimpinan hanya menjadi otoritas laki-laki
tanpa memandang wilayah kuasanya. Dus, artinya baik di ranah domestik maupun ranah
publik, perempuan tidak berhak membangun relasi kuasa yang terkait dengan
kepemimpinan.
Dan
bagi Riffat Hasan, dalam tulisannya yang berjudul “Teologi Perempuan dalam
Islam Sejajar di Hadapan Allah”. Keberadaan perempuan hanyalah nomor dua dalam
kehidupan ini, dan ini sama halnya menempatkan wanita pada posisi non
bargaining alias surgo nunut neraka katut
(bahasa jawa). Secara in human posisi
wanita yang demikian bertentangan dengan esensialitas Islam dalam melihat
keduanya. Bagi Riffat Hasan, menurutnya, kaum wanita-muslim-khususnya, sebenarnya
diinjak hak dan martabatnya dengan mengacu pada hadits yang justru melegitimasikan
perlakuan subordinatif walaupun keshahihan dari hadits-hadits tersebut masih
diragukan. Dalam tataran teologis inilah Riffat Hasan kembali menegaskan konstruksi
pemikirannya.
Kita
memang tidak dapat menutup mata, sering terjadi subordinasi kaum laki-laki
terhadap kaum wanita. Wanita hanya dianggap sebagai obyek seksual dan bukan
pada tataran manusia sepenuhnya. Akan tetapi, jika pada tataran pelaksanaannya
demikian, maka persepsi komunitas dan emansipasi sosial itulah yang mestinya
diperbaharui atau bahkan dirombak. Dan segala macam falsafah tradisional yang
merendahkan mereka harus dihilangkan. Wanita seharusnya ditempatkan sebagai
mitra setianya laki-laki, sebab Allah menciptakan segala sesuatu saling
berpasang-pasangan agar saling melengkapi. Dengan demikian, betapapun
realitasnya berbeda, Islam tetap menempatkan wanita pada posisi terhormat.
Wanita adalah ibu dari segenap bangsa, dan ia adalah tiang dari negara. Oleh
sebab itu, dimana ada laki-laki yang sukses disebelahnya pasti ada wanita yang bijak
mendampinginya.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an al-Karim,
surat an-Nisa’ ayat 34
Budiman, Arief, 1982. Pembagian Kerja Secara Seksual
(Teori Pembangunan Wanita dalam Masyarakat), Jakarta, Gramedia.
Baidan, Nashruddin, DR, 1999. Tafsir bi al-Ra’yi : Upaya
Penggalian Konsep Wanita dalam al-Qur’an, Pustaka Pelajar; Menakar Harga
Perempuan: Eksplorasi Lanjut atas Hak-Hak Reproduksi Perempuan dalam Islam,
Cetakan I, Mizan.
Baiddhawy, Zakiyuddin, 1997. Wacana Teologis Feminisme
(Perspektif Agama-agama, Geografis, dan Teori-teori, Yogyakarta, Pustaka
Pelajar
Dhofier, Zamakhsyari, 1977. al-Kasysyaf, Jilid I, Beirut,
Darl al-Fikr.
Engineer, Asghar Ali, 1994. Hak-Hak Perempuan dalam
Islam, Terjemahan oleh Farid Wajidi dan Cici Farkha Assegaf, Yogyakarta,
Bentang.
Fakih, Mansour, DR, 1999. Analisis Gender Dan
Transformasi Sosial, Cet.III, Yogyakarta, Pustaka Pelajar.
Geertz, Clifford, 1989. abangan, Priyayi dalam Masyarakat
Jawa, terj. Aswab Mahasin, Jakarta, Pustaka Jaya.
Ghulsyani, Mahdi, Dr, 1990. Filsafat Sains Menurut
Al-Qur’an, Cet. III, Bandung, Mizan.
Jurnal Ulumul Qur’an Vol.4.
Muslich, Hanif, KH, Lc, 2015. Wanita Dan Kepemimpinan,
Ceramah dalam rangka Haul KH. Dhofir Ke-47 di Pondok Pesantren Salafiyah
Futuhiyah Karanganyar Godong Grobogan.
Umar, Nasaruddin, DR, 1999. Argumen Kesetaraan Jender,
Perspektif Al-Qur’an, Jakarta, Paramadina.
Zuhayli, Wahbah. Kitab al-Tafsir al-Munir: fi al-‘aqidah
wa al-syari’ah wa al-manhaj.
[1] Geertz, Clifford, 1989, abangan, Priyayi dalam Masyarakat Jawa, terj. Aswab
Mahasin, Jakarta, Pustaka Jaya, h. 7
[6] Engineer, Asghar Ali, 1994, Hak-Hak Perempuan dalam Islam, Terjemahan oleh
Farid Wajidi dan Cici Farkha Assegaf, Yogyakarta, Bentang, h. 701
[7] Budiman, arief, 1982. Pembagian Kerja Secara Seksual (suatu teori
pembangunan wanita dalam masyarakat), Jakarta, Gramedia
[8] Al-Malibari, Zayn al-Din ibn ‘Abd al-Aziz, tt, Fath al-Mu’in, Bandung,
Syarikat al-Ma’arif, h.60
[9] Muslich, Hanif,KH, Lc, Wanita Dan Kepemimpinan, Ceramah dalam rangka Haul
KH. Dhofir Ke-47 di Pondok Pesantren Salafiyah Futuhiyah Karanganyar Godong
Grobogan, 29 Maret 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar