Selasa, 06 Desember 2016



WANITA DAN KEPEMIMPINAN DALAM PERSPEKTIF AL-QUR’AN
Telaah Pemikiran Riffat Hasan Dan Wahbah Zuhayli

Oleh : Mashudi Zusro
Sekolah Tinggi Agama Islam Grobogan (STAIG)
Maszoesfizoes@ymail.com
Jl. Kapten Rusdiyat 1 Kablukan Danyang Kec. Purwodadi Kab. Grobogan


ABSTRAK
Term surat al-Nisa’ ayat 34 Qawwamuna ‘ala al-nisa mengandung beberapa pengertian. Pertama, Laki-laki berfungsi sebagai yang memerintah atau melarang komunitas perempuan seperti halnya fungsi pemimpin terhadap rakyatnya. Kedua, Laki-laki berfungsi sebagai komunitas yang menguasai, memerintah, menghukum atau memberi pengetahuan tentang etika yang luhur ketika wanita sedang melenceng. Hal ini terjadi karena komunitas laki-laki lebih mulia daripada komunitas perempuan. Dalam hal ini, konstruksi bangunan pemikiran kepemimpinan wanita yang diajukan Riffat Hasan dan Wahbah Zuhayli dapat dinyatakan sebagai konstruksi yang paradoks antagonis. Disatu sisi melalui karyanya: al-Qur’an al-Karim: Bunyatu al-Tashri’iyah wa Khasaisu al-Hadariyah dengan tegas menyatakan bahwa hak kepemimpinan di ranah domestik hanya menjadi otoritas laki-laki sedangkan di ranah publik, wanita punya hak untuk membangun relasi yang sama dengan pria. Akan tetapi, disisi lain dalam karya tafsirnya al-Tafsir al-Munir, Fi al-Aqidah wa al-Syari’ah wa al-Manhaj, Zuhayli menyatakan bahwa hak kepemimpinan hanya menjadi otoritas laki-laki tanpa memandang wilayah kuasanya. Artinya baik di ranah domestik maupun ranah publik, perempuan tidak berhak membangun relasi kuasa yang terkait dengan kepemimpinan.

Key Word :    wanita, kepemimpinan, perspektif Al-Qur’an, Pemikiran Riffat Hasan dan Wahbah Zuhayli

I.       Pendahuluan
Allah SWT menurunkan Islam ke muka bumi ini melalui risalah Nabi Muhammad SAW dengan kelengkapan values (nilai) universal yang terangkum dalam kalamullah (Al-Qur’an). Kitab ini sebagai pedoman dalam menjalankan hidup bagi seluruh manusia – khususnya umat Islam. Pada giliran selanjutnya nilai Al-Qur’an diterjemahkan oleh sebagian umat Islam sesuai dengan keadaan dan kemampuan intelektual – ulama muslim.  Yang pada akhirnya, penterjemahan nilai-nilai ini berbeda antara satu dengan yang lain sehingga menimbulkan perbedaan pandangan diantara aliran-aliran atau mazhab-mazhab dalam Islam. Bahkan pada perkembangan lebih lanjut, mengarah pada perpecahan (skisme). Keadaan ini menurut catatan sejarah telah menimbulkan dilema, di satu sisi umat Islam sudah – tidak utuh lagi, tetapi di sisi lain, hal ini menimbulkan lonjakan perkembangan pemikiran dan kemajuan keilmuan.
Karena kelengkapan dan kesempurnaan ajaran Islam inilah sehingga dalam catatan historis perkembangan Islam berlangsung cepat dan fantastik. Hanya dalam rentang waktu kurang lebih 23 tahun Nabi Muhammad SAW telah berhasil menancapkan Islam di Makkah dan Madinah, serta kurang lebih seratus tahun sejak kelahiran beliau, Islam telah menancap di sebagian besar Jazirah Arabia. Bahkan pada abad kedua Hijriah, Islam telah berhasil menguasai berbagai bidang di seluruh dunia, baik militer, ekonomi, sosial, ilmu pengetahuan dan teknologi maupun pendidikan. Dalam lapangan pendidikan inilah Islam berhasil mencetak dan menumbuhkan ulama-ulama, intelektual muslim yang tangguh serta diakui pada waktu itu sampai sekarang, khususnya intelektual yang hidup dalam jaman kebesaran Khilafah Abbasiyah di Baghdad (Iraq) dan Khilafah Amawiyah di Andalusia (Spanyol).
Negeri kita ini mungkin tepat di laqobi dengan negeri celoteh (baca: banyak bicara), negerinya manusia yang suka ngrumpi – kasak kusuk hingga musisi Iwan Fals menjuluki negerinya “manusia setengah dewa” (baca: serba setengah) alias mogol (bahasa jawa). Sebagaian besar dari masyarakat Indonesia, umat Islam sebenarnya berada pada posisi maju kena mundur kena “serba salah” (rewel). Pertama, jumlah yang mayoritas akan menimbulkan tentang citra antara Islam dan Indonesia. Orang dengan mudah mempertukarkan kedua istilah seolah-olah Islam dapat dipersamakan begitu saja dengan Indonesia. Indonesia dibayangkan sebagai negara Islam, seperti halnya Arab Saudi atau bahkan Iran hanya karena mayoritas penduduknya beragama Islam. Akibatnya, kedua, pandangan tentang masyarakat Islam Indonesia menjadi bias dan menyimpang dari realitas empirisnya. Gambaran salah bukan hanya dimiliki orang-orang atau pengamat asing, karena kaum muslimin Indonesia sendiri seringkali kurang tepat menilai Islam di tengah lautan Indonesia yang ragampesona. Pandangan kalangan luar Islam Indonesia umumnya bergerak pada skala negatif pesimistis. Kesalahan-kesalahan ditingkat “Indonesia” dilimpahkan sebagai tanggungjawab penduduk “Islam” Indonesia dalam hubungannya dengan kemajemukan bangsa, umpamanya, kita sering mempersoalkan emansipasi wanita menurut Islam. Gambaran sekilas mungkin bisa dilihat dalam film Indonesia berjudul “di balik reformasi 1998”. Praktek anarkhisme politik Indonesia adalah cermin dari ajaran kekanak-kanakan Islam yang lekat dengan unsur ekslusif - primordial – sektarian. Islam juga menyebabkan keterbelakangan dan kemiskinan, karena agama ini dianggap kurang memiliki dimensi asketisme-duniawi, adalah semacam etika protestan dalam gagasan Weber. Dan orang-orang Islam miskin yang tidak mampu menahan diri itulah yang terekam dengan jelas dalam tayangan televisi yang menjarah masyarakat minoritas. Disinilah posisi serba salah yang dimaksud. Sia-sia menolak tuduhan karena sebagian penjarah hampir pasti pemeluk agama Islam. Sebaliknya kalangan-dalam-Islam telah menilai masyarakat mereka secara terburu-buru dan optimistik, karena percaya agamanya benar, dan mereka hadirkan Islam begitu saja ketengah masyarakat tanpa saringan rasionalisasi serta kurang mempertimbangkan adab sosial serta norma yang dianut masyarakat setempat. Terlalu yakin oleh banyaknya pemeluk Islam, mereka malahan berfikir seolah-olah semua orang beragama Islam. Dalam kenyataannya, pemeluk Islam yang terburu-buru ini “mendempetkan” tolok ukur teologis dengan rujukan sosiologis dari masyarakat Islam. Dalam hal ini, perlu kiranya dijelaskan dulu apa yang dimaksud dengan istilah kalangan-dalam-Islam. Adalah pemeluk Islam yang patuh menjalankan perintah agamanya dalam kehidupan sehari-hari dengan pandangan hidup sesuai dengan agama yang dianut. Clifford Gertz, menggunakan istilah Islam abangan bagi kelompok ini untuk membedakan dengan pemeluk Islam priyayi.[1] Cara pandang yang seperti ini, melahirkan berbagai konstruksi formulasi yang berbeda sepanjang sejarah peradaban Islam Indonesia. Umpamanya, emansipasi wanita dalam ranah kepemimpinan wilayah domestik maupun dalam ranah publik. Diskursus tentang kepemimpinan wanita Islam Indonesia, bak kacang goreng, kemrenyah (bahasa jawa) dibicarakan, baik dikalangan masyarakat grossroot maupun dalam diskusi seminar.
Dalam tradisi klasik, secara mutlak hak kepemimpinan wanita berada dalam posisi yang diskriminatif, karena kepemimpinan seolah-olah hanya menjadi hak otoritatif mutlak laki-laki. Akan tetapi, konstruksi kepemimpinan wanita dalam hukum kontemporer, memunculkan dua pemahaman berbeda. Pertama, kepemimpinan hanya menjadi hak laki-laki, baik wilayah domestik maupun wilayah publik. Kedua, kepemimpinan bagi laki-laki hanya berada dalam wilayah domestik saja karena dalam wilayah publik, termasuk di dalamnya kepemimpinan dalam sebuah negara, hak politik wanita sama dengan laki-laki.[2]
Riffat Hasan dan Wahbah Zuhayli yang termasuk dalam peta intelektual muslim kontemporer, ikut berperan secara proaktif dalam mencetuskan konstruksi hukum Islam yang terkait dengan kepemimpinan wanita. Akan tetapi, dalam kontribusinya Riffat dan Zuhayli mengajukan dua konstruksi yang sulit dimaknai secara komprehensif. Disatu sisi, hak kepemimpinan dimaknai sebagai hak yang hanya dimiliki oleh otoritas kaum laki-laki, sedangkan disisi lain terbuka lebar bagi kaum wanita dalam sektor publik akan tetapi hanya terkait dalam wilayah domestik. Kalau ditilik lebih jauh lagi, tulisan Riffat Hasan pada prinsipnya menuduh kaum laki-laki menjajah kaum wanita secara in-human, dan karenanya dianggap bertentangan dengan esensialitas Islam dalam melihat kedudukan keduanya.[3] Selama ini, bagi Riffat, kaum wanita-muslim khususnya-sebenarnya diinjak hak serta martabatnya. Dan masih menurut Riffat, hal itu terjadi karena banyak hadits yang justru melegitimasi perlakuan subordinatif seperti tersebut. Namun, setelah diteliti hadits-hadits tersebut diragukan kesahihannya. Pada dataran teologis inilah gugatan Riffat ditempatkan. Dalam kaitan ini, pertanyaan yang muncul kemudian adalah bagaimana sesungguhnya Islam melihat kedudukan kaum laki-laki atas kaum wanita baik secara posisional maupun fungsional?
Telaah ini bertujuan untuk mendiskripsikan perspektif mufasir klasik dan kontemporer, dan lebih spesifiknya corak pemikiran Riffat Hasan dan Wahbah Zuhayli tentang kepemimpinan wanita. Dengan demikian, hasil telaah pemikiran di atas diharapkan menambah khasanah pustaka keislaman dan memberi nilai kontributif bagi pengembangan pemikiran Islam dengan tidak menepis at-Turath al-Islamiyah yang telah dibangun oleh para pendahulu (baca:mujtahid), khususnya dalam bidang pemikiran fiqh. Dan sumber data primer yang digunakan adalah Clifford Geertz; abangan, Priyayi dalam Masyarakat Jawa, Wahbah Zuhayli; Kitab al-Tafsir al-Munir: Fi al-A‘qidah wa al-syari’ah wa al-manhaj dan al-Qur’an al-Karim: Bunyatu al-Tashri’iyah wa Khasaisu al-Hadariyah; DR. Nasharuddin Baidan; Tafsir bi al-Ra’yi: Upaya Penggalian Konsep Wanita dalam al-Qur’an, Syafiq Hasyim; Editor, Menakar Harga Perempuan: Eksplorasi Lanjut atas Hak-Hak Reproduksi Perempuan dalam Islam, Ulumul Qur’an; Perempuan dalam Syari’ah: Perspekstif Feminis dalam Penafsiran Islam, Argumen Supremasi Atas Perempuan: Penafsiran Klasik Qs. Al-Nisa’ :34, Feminisme dan al-Qur’an: Percakapan dengan Riffat Hasan, Ratna Megawangi; Membiarkan Berbeda (Sudut Pandang Baru Tentang Relasi Gender), KH. Hanif Muslich, Lc: Wanita Dan Kepemimpinan. Sedangkan sumber sekunder adalah buku-buku, majalah, jurnal atau sejenisnya yang sesuai dengan tema bahasan. Data yang sudah terkumpul dan terseleksi akan dianalisis dengan menggunakan metode deskriptif, komparatif, sintesis dan analisis isi.

II.      Konstruksi Bangunan Pemikiran Islam
Bangunan pemikiran Islam terbelah menjadi beberapa dimensi yang sarat dengan signifikansinya masing-masing, termasuk syari’ah klasik dengan segala implikasinya. Berkenaan dengan itu, berbagai literatur tafsir yang terdapat dalam syari’ah klasik dengan tegas tidak memperbolehkan wanita untuk menduduki jabatan tertinggi dalam kekuasaan negara. Hal ini didasarkan pada ayat al-Qur’an surat al-Nisa’ ayat 34. Term Qawwamuna ‘ala al-nisa;[4] mengandung beberapa pengertian sebagai berikut :
1.      Laki-laki berfungsi sebagai yang memerintah atau melarang komunitas perempuan seperti halnya fungsi pemimpin terhadap rakyatnya.[5]
2.      Laki-laki berfungsi sebagai komunitas yang menguasai, memerintah, menghukum, atau memberi pengetahuan tentang etika yang luhur ketika wanita sedang melenceng. Hal ini terjadi karena komunitas laki-laki lebih mulia daripada komunitas perempuan.[6]
Disamping berdasarkan ayat di atas juga dikuatkan oleh sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Turmudzi, Nasa’i, dan Ahmad bin Hanbal. Hadits tersebut melahirkan dua penafsiran. Pertama, menunjukkan tidak adanya kewenangan bagi perempuan untuk memberi keputusan hukum kepada umat Islam. Kedua, sebagai berita bahwa orang, kelompok hingga sebuah negara tidak akan mendapat kemakmuran bila menguasakan kepemimpinannya kepada perempuan.
Dalam lembaran syari’ah kontemporer, teori kepemimpinan wanita terpetakan menjadi dua kutub pemikiran, masing-masing mengajukan formulasi yang berbeda.[7] Pertama, aliran modern konservatif yang dimotori oleh cendikiawan muslim yang masih dengan teguh memegang tradisi syari’ah klasik tanpa melakukan dialog kritis dengan latar belakang kodifikasi syari’ah pendahulunya. Kedua, para cendikiawan neo-modernis sebagai kelompok pembaharu yang bukan saja menerima apa adanya terhadap kodifikasi syari’ah klasik, akan tetapi juga dibarengi dengan dialog kritis terhadap latar belakang pengungkapan teks-teks syari’ah tersebut untuk selanjutnya mendekonstruksi wacana kepemimpinan wanita yang tidak lagi relevan dengan transportasi modernitas. Dua kutub pemikiran ini, melahirkan penafsiran berbeda dalam konstruksi kepemimpinan wanita. Kelompok pertama, kepemimpinan tetap menjadi otoritas komunitas laki-laki, karena persyaratan laki-laki sebagai yang harus dipenuhi bagi pemimpin kedaulatan, pemimpin tertinggi, atau kekuasaan tertinggi dalam struktur pemerintahan atau negara. Dan ini didasarkan suatu hadits sebagaimana yang tersebut di atas. Disamping itu, kondisi realitas empirik dalam sejarah masa sahabat dengan jelas mengelustrasikan bahwa kepemimpinan sebagai hak otoritas laki-laki. Begitu juga wanita masih mempunyai hak-hak politik yang harus dipenuhi, seperti al-Intikhab, hak al-Ghazwiyah, maupun hak politik lain di luar wilayah kepemimpinan tertinggi. Kelompok kedua, dengan semangat egalitarianisme antara laki-laki dan perempuan dalam kebijakan hak-hak politik, maka wanita berhak menjadi pemimpin bagi seluruh komunitas dalam wilayah publik. Surat al-Nisa’ : 34 hanyalah terkait dengan kepemimpinan dalam wilayah domestik. Dan khusus terkait dengan kehidupan keluarga, yang sama sekali tidak terkait dengan kehidupan politik secara umum maupun hak-hak politik, sedangkan hadits sebagaimana tersebut di atas, hanya terkait dengan pemerintahan yang bentuk kedaulatanya monarkhis, karenanya bila bentuk pemerintahannya republik maka hak kepemimpinan juga menjadi hak yang boleh diperebutkan antara laki-laki dan perempuan.
Kepemimpinan dalam surat al-Nisa’ ayat 34 tidak lebih dari kedudukan bagi laki-laki yang hanya terfokus pada wilayah domestik, pertimbangannya, laki-laki mempunyai hak otoritatif kepemimpinan dan hak untuk memaksa komunitas lain. Oleh sebab itu, Islam tidak melarang atau menghalangi wanita untuk memasuki berbagai faktor sesuai dengan keahliannya, seperti menjadi guru, menteri, pengusaha, hakim, bahkan bila memenuhi syarat yang ditentukan-seperti yang ada pada laki-laki-wanita berhak menduduki jabatan sebagai Kepala Negara, asalkan tugas sebagai komunitas yang mengurusi rumah tangga tidak terbengkalai dan mendapat izin dari sang suami.[8]

III.    Konstruksi Pemikiran Riffat Hasan Dan Wahbah Zuhayli
Perspektif yang dibangun Riffat Hasan Wahbah Zuhayli terasa begitu kental perbedaannya dalam membangun konstruksi pemikirannya, terutama dalam hal kepemimpinan wanita di tingkat wilayah domestik ataupun wilayah publik. Untuk menelaah secara substantif kedua pemikiran tersebut, maka kita perlu membuka kembali buku besar umat Islam, yakni al-Qur’anul al-Karim, sebelum kita melihat dasar rujukan yang lain seperti Hadits, Ijma’, qiyas dan lain-lain. Logika berfikir seperti ini harus kita pegang teguh dan kita tradisikan dalam menginterpretasikan setiap persoalan perspektif etika Al-Qur’an ataupun As-Sunnah.
Zuhayli memberikan pemaknaan dalam surat al-Nisa’ ayat 34 adalah setiap laki-laki merupakan pemimpin bagi wanita, posisinya di atas perempuan, menjadi hakim baginya, memberi pendidikan etika padanya jika keluar dari ajaran yang lurus dan sebagai pemegang kekuasaan dan kedaulatan di atas peran wanita. Zuhayli juga mengulas berbagai pertimbangan yang melatarbelakangi dominasi laki-laki dibanding perempuan, seperti laki-laki mempunyai bentuk fisik yang sempurna, lebih kuat pengamatannya dalam menyelesaikan masalah, lebih kuat nalar dan argumentasinya. Disamping itu, laki-laki sebagai kominitas yang khusus, yang dapat menerima risalah kenabian, sebagai yang paling berhak mengumandangkan syair-syair seperti adzan, iqomah, khutbah jum’ah, shalat jum’ah dan jihad .[9] Dan hak khusus yang dimiliki oleh laki-laki juga mencakup talaq, kebebasan berpoligami serta lainnya. Konsepsi Zuhayli menegaskan, bahwa kepemimpinan baik di wilayah domestik maupun publik menjadi otoritas laki-laki. Akan tetapi, dalam wacana lain, Zuhayli dengan tegas mengakui semangat egalitarian Islam dan keadilan gender antara laik-laki dan perempuan di ranah publik. Hal ini terlihat ketika Zuhayli menyatakan bahwa, pertama, Islam sangat menggariskan adil dalam memberlakukan wanita dan melarang hegemoni terhadap mereka, memuliakan, memberikan kebebasan dalam melakukan aktivitas ibadah serta mendekatkan diri kepada Allah sebagai halnya laki-laki, hal ini diilustrasikan dalam surat al-Ahzab ayat 35, al-Taubah ayat 72. Kedua, kadangkala al-Qur’an menyebutkan pria dan wanita dengan posisi yang sama, ini diilustrasikan dalam ayat yang dimulai dengan kalimat “Yaa Ayyuhal-ladhiina Aamanu (wahai orang-orang yang beriman)” dan “Yaa Ayyuhan-naas (wahai sekalian manusia). Dan terkadang juga disebut secara khusus, menyebut wanita secara bersambung dengan laki-laki, hal ini terilustrasikan dalam surat al-Maidah ayat 38 “al-Sariq wa al-Sariqoh” atau bahkan sebaliknya, berdasarkan pada surat al-Nur ayat 2 “al-zaniyah wa al-zani”. Dari berbagai alasan tersebut memberikan satu pemahaman kongkrit bahwa Islam penuh dengan nilai-nilai egalitarian dan keadilan antara komunitas laki-laki dan perempuan. Dan ketika ditarik dalam kepemimpinan wanita sebagai implementasi prinsip di atas, dapat diajukan pemaknaan bahwa kepemimpinan laki-laki hanya berlaku di ruang domestik, bukan wilayah publik. Namun prinsip nilai Islam yang dikembangkan oleh Zuhayli tersebut, baik esensi maupun substansinya direduksi oleh pertanyaan yang lain sehingga peran wanita untuk memimpin sangat teralienasi baik di ranah publik maupun ranah domestik, dan otoritas kepemimpinan menjadi hak otoritas laki-laki.
Berbeda dengan perspsektif yang dibangun oleh Riffat Hasan yang berjudul “Teologi Perempuan dalam Islam Sejajar di Hadapan Allah”, ini seakan-akan menyentak kita untuk kembali menggugah diri dan bertanya, adilkah perlakuan kaum laki-laki terhadap kaum perempuan dalam segala aspek kehidupan dan lebih jauh lagi kita diajak bertanya, adakah perlakuan itu sesuai dengan konsep atau ajaran Islam. Dalam al-Qur’an surat al-Nisa’ ayat 34 disebutkan bahwa “kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita. Oleh sebab itu, Allah telah melebihkan sebagian mereka (baca:laki-laki) atas sebagian yang lain (baca:perempuan)” kemudian di ayat sebelumnya dari surat al-Nisa’ayat 11 menegaskan bahwa “pembagian waris untuk anak-anakmu, yaitu bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua anak perempuan.”. dari ayat-ayat tersebut, secara eksplisit Allah melebihkan kaum laki-laki - dalam hal-hal tertentu - atas kaum wanita. Itu artinya, Allah menciptakan kaum laki-laki sebagai pemimpin kaum wanita karena Allah melebihkan kaum laki-laki dalam hal kemampuan leadership (bakat kepemimpinan). Namun demikian, dihadapan Allah mereka itu sama dan yang membedakan hanya tingkatan ketaqwaannya. Kalau demikian, apakah Islam tidak adil, apakah dengan demikian bisa dikatakan bahwa dalam Islam kaum wanita sebagai makhluk kedua dalam ciptaan-Nya dan makhluk pertama dalam kesalahan dan dosa sebagaimana yang dikatakan oleh Riffat. Persoalan ini jelas tidak bisa disederhanakan begitu saja sebab Allah menyatakan bahwa kedua makhluk laki-laki dan perempuan adalah sama, kecuali kadar ketaqwaannya yang membedakan. Persoalannya, kita mau taat atau tidak kepada ketentuan mutlak tersebut. Ataukah kita akan mencari dalih pembenaran atas suatu realitas dengan menyesuaikan hukum Allah dengan realitas sosial. Padahal hukum Allah adalah bersifat universal dan eternal dan itu telah kita sepakati bersama.

IV.    Esensi Konstruksi Pemikiran Riffat Hasan Dan Wahbah Zuhayli
Bangunan pemikiran kepemimpinan wanita yang diajukan Riffat Hasan dan Wahbah Zuhayli dapat dinyatakan sebagai konstruksi yang paradoks antagonis. Disatu sisi melalui karyanya: al-Qur’an al-Karim: Bunyatu al-Tashri’iyah wa Khasaisu al-Hadariyah dengan tegas menyatakan bahwa hak kepemimpinan di ranah domestik hanya menjadi otoritas laki-laki, sedangkan di ranah publik wanita punya hak untuk membangun relasi yang sama dengan pria. Akan tetapi, disisi lain dalam karya tafsirnya “al-Tafsir al-Munir”: fi al-Aqidah wa al-Syari’ah wa al-Manhaj” Zuhayli menyatakan bahwa hak kepemimpinan hanya menjadi otoritas laki-laki tanpa memandang wilayah kuasanya. Dus, artinya baik di ranah domestik maupun ranah publik, perempuan tidak berhak membangun relasi kuasa yang terkait dengan kepemimpinan.
Dan bagi Riffat Hasan, dalam tulisannya yang berjudul “Teologi Perempuan dalam Islam Sejajar di Hadapan Allah”. Keberadaan perempuan hanyalah nomor dua dalam kehidupan ini, dan ini sama halnya menempatkan wanita pada posisi non bargaining alias surgo nunut neraka katut (bahasa jawa). Secara in human posisi wanita yang demikian bertentangan dengan esensialitas Islam dalam melihat keduanya. Bagi Riffat Hasan, menurutnya, kaum wanita-muslim-khususnya, sebenarnya diinjak hak dan martabatnya dengan mengacu pada hadits yang justru melegitimasikan perlakuan subordinatif walaupun keshahihan dari hadits-hadits tersebut masih diragukan. Dalam tataran teologis inilah Riffat Hasan kembali menegaskan konstruksi pemikirannya.
Kita memang tidak dapat menutup mata, sering terjadi subordinasi kaum laki-laki terhadap kaum wanita. Wanita hanya dianggap sebagai obyek seksual dan bukan pada tataran manusia sepenuhnya. Akan tetapi, jika pada tataran pelaksanaannya demikian, maka persepsi komunitas dan emansipasi sosial itulah yang mestinya diperbaharui atau bahkan dirombak. Dan segala macam falsafah tradisional yang merendahkan mereka harus dihilangkan. Wanita seharusnya ditempatkan sebagai mitra setianya laki-laki, sebab Allah menciptakan segala sesuatu saling berpasang-pasangan agar saling melengkapi. Dengan demikian, betapapun realitasnya berbeda, Islam tetap menempatkan wanita pada posisi terhormat. Wanita adalah ibu dari segenap bangsa, dan ia adalah tiang dari negara. Oleh sebab itu, dimana ada laki-laki yang sukses disebelahnya pasti ada wanita yang bijak mendampinginya.


DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an al-Karim, surat an-Nisa’ ayat 34

Budiman, Arief, 1982. Pembagian Kerja Secara Seksual (Teori Pembangunan Wanita dalam Masyarakat), Jakarta, Gramedia.

Baidan, Nashruddin, DR, 1999. Tafsir bi al-Ra’yi : Upaya Penggalian Konsep Wanita dalam al-Qur’an, Pustaka Pelajar; Menakar Harga Perempuan: Eksplorasi Lanjut atas Hak-Hak Reproduksi Perempuan dalam Islam, Cetakan I, Mizan.

Baiddhawy, Zakiyuddin, 1997. Wacana Teologis Feminisme (Perspektif Agama-agama, Geografis, dan Teori-teori, Yogyakarta, Pustaka Pelajar

Dhofier, Zamakhsyari, 1977. al-Kasysyaf, Jilid I, Beirut, Darl al-Fikr.

Engineer, Asghar Ali, 1994. Hak-Hak Perempuan dalam Islam, Terjemahan oleh Farid Wajidi dan Cici Farkha Assegaf, Yogyakarta, Bentang.

Fakih, Mansour, DR, 1999. Analisis Gender Dan Transformasi Sosial, Cet.III, Yogyakarta, Pustaka Pelajar.

Geertz, Clifford, 1989. abangan, Priyayi dalam Masyarakat Jawa, terj. Aswab Mahasin, Jakarta, Pustaka Jaya.

Ghulsyani, Mahdi, Dr, 1990. Filsafat Sains Menurut Al-Qur’an, Cet. III, Bandung, Mizan.

Jurnal Ulumul Qur’an Vol.4.

Muslich, Hanif, KH, Lc, 2015. Wanita Dan Kepemimpinan, Ceramah dalam rangka Haul KH. Dhofir Ke-47 di Pondok Pesantren Salafiyah Futuhiyah Karanganyar Godong Grobogan.
Umar, Nasaruddin, DR, 1999. Argumen Kesetaraan Jender, Perspektif Al-Qur’an, Jakarta, Paramadina.

Zuhayli, Wahbah. Kitab al-Tafsir al-Munir: fi al-‘aqidah wa al-syari’ah wa al-manhaj.


[1] Geertz, Clifford, 1989, abangan, Priyayi dalam Masyarakat Jawa, terj. Aswab Mahasin, Jakarta, Pustaka Jaya, h. 7
[2] Zuhayli, Wahbah, Kitab al-Tafsir al-Munir: fi al-‘aqidah wa al-syari’ah wa al-manhaj.
[3] Jurnal Ulumul Qur’an No.4
[4] Al-Qur’an al-Karim, surat an-Nisa’ ayat 34
[5] Dhofier, al-Zamakhsyari, 1977, al-Kasysyaf, Jilid I, Beirut, Darl al-Fikr, h.523
[6] Engineer, Asghar Ali, 1994, Hak-Hak Perempuan dalam Islam, Terjemahan oleh Farid Wajidi dan Cici Farkha Assegaf, Yogyakarta, Bentang, h. 701
[7] Budiman, arief, 1982. Pembagian Kerja Secara Seksual (suatu teori pembangunan wanita dalam masyarakat), Jakarta, Gramedia
[8] Al-Malibari, Zayn al-Din ibn ‘Abd al-Aziz, tt, Fath al-Mu’in, Bandung, Syarikat al-Ma’arif, h.60
[9] Muslich, Hanif,KH, Lc, Wanita Dan Kepemimpinan, Ceramah dalam rangka Haul KH. Dhofir Ke-47 di Pondok Pesantren Salafiyah Futuhiyah Karanganyar Godong Grobogan, 29 Maret 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar